Perlindungan Hukum Bagi PKL

Oleh : Hari Dermanto
Penggiat Bantuan Hukum Struktural, Lembaga Bantuan Hukum Kalimantan Timur Pos Balikpapan

Penertiban pedagang kaki lima (PKL) kerap kali terjadi di kota Balikpapan dengan alasan bertentangan dengan pasal 3 huruf i peraturan daerah kota Balikpapan Nomor 31 tahun 2000, tentang ketertiban umum (Perda Ketertiban), yang berisi larangan berjualan dengan kendaraan berjalan yang merubah fungsi fasilitas pasar atau komplek perdagangan, sebagaimana juga tertuang dalam pasal 4 huruf c menyebutkkan bahwa dilarang melakukan kegiatan usaha dengan menggelar menempatkan, menumpuk barang dagangan, dan sejenisnya di atas parit, trotoar, di jalan umum kecuali mendapatkan izin dari Kepala Daerah.

Atas dasar kepentingan dan ketertiban umum serta keindahan kota Balikpapan sebagaimana tertuang dalam perda ketertiban Umum kota Balikpapan, pemerintah menertibkan PKL dengan cara-cara yang terkadang dengan kekerasan, merusak barang dagangan sampai dengan perlakuan kasar terhadap pedagang, sebagaimana kerap terjadi pada PKL lapangan merdeka, PKL toko utama, PKL pasar pandansari dan di beberapa tempat di kota Balikpapan. Perda Ketertiban umum kota Balikpapan seolah menjadi syarat lahirnya tindak kekerasan terhadap pedagang oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Dalam rumusan sosiologi terdapat hubungan korelatif antara keberadaan sektor pekerjaan formal dengan lahirnya pekerjaan informal. Setidaknya ada 3 pendapat (teori) sebagaimana berikut : pertama sektor informal ada karena industri formal terbatas dalam meyerap tenaga kerja, kedua sektor informal telah lama ada dan merupakan model ekonomi tradisional yang mandiri dan tahan terhadap krisis, sedangkan sektor formal adalah model ekonomi modern, dan ketiga sektor informal dan sektor formal sesungguhnya kesatuan yang terpadu, keberadaan sektor formal akan memicu lahirnya sektor informal (Anne Friday Safaria, 4-5 : 2003).

Tumbuh berkembangnya sektor informal (PKL) di Balikpapan, tidak terlepas dari kondisi ketenagakerjaan di kota balikapapan. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Sosial (Disnakersos) kota Balikpapan, bahwa jumlah pencari kerja sampai dengan mei 2009 adalah 22.268 orang dan jumlah pencari kerja yang terserap adalah 1.168 orang, data kondisi pencari kerja kota Balikpapan tersebut menggambarkan bahwa pemerintah kota Balikpapan belum mampu menciptakan kebijakan yang membuka lapangan pekerjaan disektor formal untuk menampung jumlah pencari kerja di kota Balikpapan. Ketidak seimbangan antara jumlah pencari kerja dengan ketersediaan lapangan pekerjaan formal yang kemudian melahirkan konsekuensi logis lahirnya sektor pekerjaan informal salah satunya adalah Pedagang kaki lim (PKL).

Keberadaan PKL di kota Balikpapan harus dilihat sebagai efek dari ketidakmampuan pemerintah kota Balikpapan dalam menciptakan lapangan kerja di sektor formal, disisi lain selain reaksi atas terbatasnya lapangan pekerjaan disketor formal keberadaan PKL harus dilihat sebagai perekonomian yang tumbuh untuk menjangkau keterbatasan ekonomi sebagian besar buruh/pekerja di Kota Balikpapan mengingat bahwa upah minimum kota balikpapan tahun 2010 adalah Rp. 1.075.000,00/bulan jauh lebih kecil dengan kebutuhan hidup layak (KHL) kota Balikpapan sebesar Rp. 1.300.000,00/bulan.

Penertiban PKL di kota Balikpapan harus dibarengi dengan kebijakan yang mampu membuka lahirnya sektor formal, PKL sebagai pelaku kerja harus diketahui mendapatkan perdilindungan sebagaimana diatur dalam pasal 28A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Perubahan yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (UU HAM) menyebutkan bahwa setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak, Pasal 38 ayat (2) UU HAM menyebutkan bahwa setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

Berdasarkan aturan yang melindungi keberadaan PKL tersebut, Penertiban atas dasar ketertiban dan kepentingan umum serta keindahan Kota Balikpapan dengan pendekatan kekerasan dan perlakuan kasar, merupakan tindakan yang tidak bisa ditolerir sebagai tindakan untuk penegakan perda. Penertiban PKL tanpa disertai dengan perubahan kebijakan disektor ketenagakerjaan kota Balikpapan tidak akan berarti apa-apa, sebaliknya merupakan problem yang akan melahirkan benih-benih perlawanan PKL terhadap Pemerintah kota Balikpapan.

Harus dipahami bahwa tindakan kekerasan dan pengrusakan terhadap barang-brang PKL dengan dasar Perda ketertiban umum tidak melahirkan kekebalan hukum aparat satpol PP, karena tindakan kekerasan terhadap PKL harus dipandang sebagai tidak kejahatan (perbuatan melawan hukum) yakni penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan pengrusakan barang dagangan PKL harus dipandang sebagai perbuatan kejahatan yakni menghancurkan atau merusakan barang yang bertentangan dengan pasal 406 KUHP yang dapat dilaporkan kepada yang berwajib, pemahaman ini untuk mendorng satu penerapan Perda Ketertiban umum tetap menghormati azas kemanfaatan dan hak-hak asasi yang melekat pada PKL. Pasal-pasal dalam perda ketertiban kota Balikpapan harus di tafsirkan lebih kontekstual sehingga pelaksanaan Perda ketertiban umum oleh Pemerintah Kota Balikpapan memperpertimbangkan sebab-sebab lahirnya sektor infromal Pedagang Kaki Lima.

Disisi lain, penerapan Perda Ketertiban Umum kota Balikpapan seolah-olah seperti mata pisau yang berlaku tajam kebawah (ke orang-orang kecil) dan tumpul keatas (elit kekuasaan). Perda ketertiban begitu efektif terhadap PKL dan Barang danganganya, sebaliknya terhadap pelanggaran Perda Ketertiban kota Balikpapan yang dilakukan elit kekuasaan berupa pemasangan sepanduk-sepanduk (BALIHO) yang tidak berada sesuai dengan tempatnya sebagaimana diatur dalam pasal 3 huruf c perda ketertiban seolah-oleh tidak berlaku.

LBH Pos Balikpapan, 19 April 2010

Komentar

Postingan Populer