Orang Kecil Mencari Penegak Keadilan
Beberapa waktu lalu seorang ibu
meminta bantuan saya untuk dapat mendampingi adiknya yang menjadi tersangka
kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban jiwa. setelah medengar
cerita ibu tersebut akhirnya saya dan beberapa teman memutuskan untuk menjadi
penerima kuasa mendampingi yang bersangkutan dalam proses pemeriksaan ditingkat
kepolisian dan kejaksaan. Sayangnya, ketika kami menerima kuasa tersebut proses
pemeriksaan yang bersangkutan ditingkat kepolisian sudah sampai pelimpahan
berkas tahap pertama sehingga tidak banyak yang bisa kami perbuat dalam membela
hak-hak yang bersangkutan, jamak terjadi pelanggaran hak tersangka dilakukan
Polisi ketika tidak didampingi kuasa hukum.
Meurut kami (para penerima kuasa),
meskipun kasus tersebut menimbulkan korban jiwa (meninggal dunia), hukuman yang
akan diterima tersangka tidak akan berat, disebabkan ada beberapa hal-hal yang
meringankan : pertama pihak keluarga
telah melakukan upaya perdamaian terhadap keluarga korban dengan membayar
sejumlah uang dan mengganti motor yang rusak, kedua peristiwa terjadi bukan disebabkan oleh faktor kelalaian
tersangka seorang melainkan ada faktor yang berasal dari pihak korban dan pihak
lain (pengandara lain yang menabrak korban hingga akhirnya meninggal).
Di luar dari sepengetahuan kami pada saat proses pemeriksaan akan masuk persidangan, ternyata istri tersangka telah melakukan pendekatan dengan jaksa, pendekatan untuk mengurangi tuntutan terhadap yang bersangkutan dengan menawarkan sejumlah uang, hal yang sejak awal tidak kami perkenankan untuk dilakukan, karena upaya tersebut menurut kami merupakan perbuatan suap-menyuap.
Awalnya saya mengira tindakan
tersebut merupakan inisiatif istri tersangka, ternyata tindakan tersebut
dilakukan atas permintaan (desakan) bos tersangka, pada dasarnya tersangka
tidak mengamini langkah “suap”, karena setiap uang yang dikeluarkan bosnya
menjadi beban utang bagi dirinya, sehingga ketika dia keluar dari penjara dia
akan masuk penjara baru yakni kewajiban membayar hutang terhadap bosnya, yang
menurutnya total yang harus dia ganti sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
“Kepanikan keluarga tersangka
yang tidak siap menerima anggota keluargaya menjadi terpidana dalam waktu yang
lama, terkadang membuat keluarga melakukan segala cara sekalipun melanggar
hukum untuk membebaskan yang bersangkutan atau setidaknya mengurangi masa
hukumannya. Sebalinya psikologi “panik” keluarga tersangka (calon terpidana)
tidak sedikit dimanfaatkan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim bahkan
pengacaranya) untuk meraup keuntungan. Atau dengan logika sebaliknya, jika
pihak keluarga calon terpidana tenang menghadapi situasi keluarganya yang akan
menjadi terpidana dengan hukuman seberat apapun maka polisi, jaksa, hakim dan
bahkan kuasa hukumnya akan melakukan tindakan yang membuat keluarga menjadi
panik sehingga tujuannya tercapai.
Terhadap kasus yang kami tangani
tersebut kepanikan keluarga (orang tua, kaka dan istri) justru yang melatarbelakangi
praktek “suap” tersebut. Kepanikan bersinergi dengan jaksa yang tidak memiliki
integritas maka terjadilah kesepakatan yang melanggar hukum, yakni pengurangan
tuntutan. Menyedihkan, ketika kami tahu dan kemudian melarang istri tersangka
meneruskan rencana “suap” tersebut, dia tidak mempedulikan kami, tidak hanya
membuat kesepakatan dengan jaksa, atas anjuran jaksa dia menemui hakim, bisa
ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Secara pribadi saya sedih
sekaligus marah. Sedih, melihat dia (istri calon terpidana tersebut) secara
tidak langsung turut berkontribusi menyebabkan bobroknya (moral) penegak(an)
hukum dan mengetahui jaksa beserta hakim menerima penghinaan terhadap jabatanya
sebagai penegak hukum dengan “menawar dan menerima suap”. Marah, mengetahui dia
mengabaikan nasihat kami (yang diminta sebagai kuasa hukum meski tidak sampai pada
proses persidangan).
“Seandainya saya tidak menunda
kuliah¸ dia (tersangka) akan mendapatkan kuasa hukum di persidangan tanpa harus
melakukan “suap” upaya yang melanggar hukum” kalimat yang terngiang dalam benak
ketika mengingat peristiwa itu.
Paradigma Kosmis
Saya percaya
dengan paradigma butterfly effect
yang dikemukakan Muhsin Labib yang menyatakan bahwa kepakan sayap kupu-kupu di
hutan amazon menyebabkan puting beliung di Amerika Serikat, sekecil apapun
perbuatan manusia akan berdampak pada kehidupan alam semesta.
Itu yang
terjadi, lemahnya penegakan hukum bisa jadi disebabkan dari keberadaan kita
pada aktivis mahasiswa hukum. Para aktivis mahasiswa hukum dalam semesta penegakan
hukum merupakan mikrokosmos sedangkan
dunia penegakan hukum diluar dirinya adalah (makrokosmos), ketika aktivis mahasiswa hukum yang memiliki
kesadaran bahwa penegakan hukum dapat terjadi jika hakim, jaksa, pengacara dan
polisi memiliki integritas justru menunda kelulusanya untuk menjadi penegak hukum, maka perbuatan tersebut
telah mempengaruhi dunia (alamsemesta) penegakan hukum, dimana dunia penegakan hukum
mengalami defisit Hakim, jaksa, Polisi dan Pengacara yang memiliki integritas.
Hasilnya masyarakat menjadi korban, hak mereka untuk mendapatkan keadilan tidak
terpenuhi.
Sehingga ketika
mahasiswa yang memiliki kesadaran membela dan mendorong akses bantuan hukum
bagi mereka yang papa dan buta hukum harus mengulang semester yang menyebabkan
kelulusannya tertunda sampai beberapa tahun, pada dasarnya dia sedang
membiarkan dunia penegakan hukum (makrokosmos)
dikuasai penegak hukum yang berasal dari mahasiswa yang tidak memiliki
kepedulian terhadap orang-orang kecil, papa dan buta hukum, dan turut serta
melanggengkan penindasan, juga turut menyebabkan masyarakat yang buta hukum
terjerumus dalam lingkaran setan bobroknya penegakan hukum.
Membiarkan
nilai jelek yang menyebabkan tertundanya kelulusan merupakan perbuatan kecil
dan invidual tetapi sebagaimana butterfly
effect dia tetap memiliki pengaruh besar terhadap alam semesta. Sulit membayangkan jika aktivis mahasiswa hukum secara
beramai-ramai bangga dengan nilai jelek kemudian menyebabkan kelulusannya
tertunda?
Komentar
Posting Komentar