Impelementasi Perma Nomor 2 tahun 2012?
27 Februari 2012 merupakan hari istimewa
bagi masyarakat kecil, tidak mampu dan para pencari keadilan, hal ini
disebabkan karena Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor
2 tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Substansi PERMA ini menjawab keluhan
(kritik) masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang kerap tidak
memenuhi rasa keadilan, sebagaimana kerap kita temukan proses peradilan dan putusan
hakim menyamaratakan antara pelaku tindak pidana dengan tingkat kerugian yang sangat
besar dan berdampak buruk bagi masyarakat luar, dengan pelaku tindak pidana dengan
tingkat kerugian yang sangat kecil dan tidak berdampak luas bagi banyak orang,
yang terkadang perbuatan tersebut hanya dipicu (didasari) kebutuhan untuk
bertahan hidup.
Terbitnya
PERMA ini, melahirkan konsekuensi bagi ketua pengadilan dalam menerima
pelimpahan perkara Pencurian, Penipuan, Penggelapan,
Penadah, pengrusakan dari
Penuntut Umum, untuk terlebih dahulu memperhatikan nilai uang atau barang yang menjadi objek perkara,
apabila nilai barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,-- (dua juta lima ratus
ribu rupiah) maka sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) Perma a quo maka ketua pengadilan segera
menetapkan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan
acara cepat sebagaimana diatur dalam pasal 205 – 210 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, dan apabila terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan maka Ketua Pengadilan tidak menetapkan
penahanan ataupun perpanjangan penahanan (pasal 2 ayat (3) Perma a quo).
Diharapkan kasus-kasus “spele” tidak lagi diproses melalui hukum
acara biasa dengan rangkaian persidangan yang panjang bahkan terkadang dengan
biaya yang jauh lebih besar dari perbuatan kejahatan yang dilakukan, melainkan pemeriksaan
perkara dilakukan dengan hukum acara cepat yang dapat diputus dalam satu hari,
bahkan terhadap pelaku yang dalam proses pemeriksaan di kepolisian dan
kejaksaan telah ditahan maka dalam pemeriksaan perkara di pengadilan
sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (3) PERMA ini ketua Pengadilan di minta
untuk tidak menetapkan Penahanan ataupun Perpanjangan Penahanan.
Keberadaan PERMA ini tidak bermaksud
mendelegitimasi sistem peradilan dalam memberikan efek jerah bagi pelaku
kejahatan, bukan juga melegitimasi tindakan kejahatan pencurian, penggelapan,
penipuan dan penadahan yang ada dimasyarakat. Bukan juga bentuk kompromi,
terhadap rendahnya putusan pengadilan pelaku tindak pidana korupsi, dan
maksimalnya hukuman bagi tindakan kejahatan masyarakat meskipun nilai kerugian
yang ditimbulkan sangat rendah. Melainkan sebagai respon kebutuhan publik
terhadap sistem peradilan yang memberikan keadilan.
Jauh
Panggang dari Api
Sejak PERMA tersebut diterbitkan tanggal 27
Februari 2012 sampai dengan saat ini belum pernah terdengar Pengadilan Negeri
Balikpapan memeriksa, mengadili dan memutus seseorang yang melakukan perbuatan
pidana dengan kategori yang diatur dalam PERMA No. 2 tahuun 2012 kemudian
disidangkan dengan pendekatan PERMA tersebut. Tidak ada yang berubah dalam
proses peradilan pada Pengadilan Negeri Balikpapan terhadap mereka.
Ada beberapa kasus pencurian, pengrusakan,
penadahan yang masuk dalam kriteria untuk diperiksa, diadili dan diputus dengan
pendekatan Perma ini, tetapi dalam praktek peradilan masih menggunakan hukum
acara biasa. Kami menemukan seorang ibu yang anak perempuannya didakwa mencuri
baju dengan nilai tidak lebih dari 200 ribu di toko tempat dia bekerja, seorang
bapa-bapa yang melakukan pencurian kayu,
dan adapulan yang melakukan pengrusakan telepon celular tetapi diperiksa,
diadili dan diputus dengan hukum acara biasa.
Jika merujuk pada pendekatan teoritik,
dalam hukum pidana kita mengenal apa yang disebut dengan restorative justice suatu
pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan
keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata
acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses
dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara
pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki
makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam
proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi
terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi
meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.
Seperti kasus yang saat ini ditangani Pos Bantuan
Hukum (POSBAKUM) Universitas Balikpapan, kami menangani perkara pengrusakan
barang berupa poncell yang nilainya tidak lebih dari Rp. 1.000.000,-- (satu
juta rupiah) pada pemeriksaan dikepolisian telah dilakukan langkah-langkah restorative
justice oleh pihak kepolisian dalam bentuk perdamaian,
ganti kerugian dan pernyataan kerelaan korban atas perbuatan pelaku. Tetapi
langkah restorative tersebut tidak
menyelesaikan permasalahan hukum antar para pihak, sebaliknya perkara ini tetap
diteruskan oleh pihak kepolisian kepada kejaksaan sehingga perkara yang telah
selesai dengan pendekatan restorative justice ditingkat kepolisian tetap harus diperiksa di pengadilan.
Melalui kasus-kasus tersebut kami merasakan
langsung bagaimana penegak hukum (polisi dan jaksa) dan khusunya Pengadilan Negeri
Balikpapan tidak afirmatif terhadap
semangat restorative justice, penegakan
hukum masih menggunakan cara-cara konservatif,
yang pada akhirnya membuat kami harus melakukan upaya pengingatan kepada ketua
Pengadilan dan Hakim yang memeriksa perkara klien kami bahwa ada Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 tahun 2012 yang menjadi standar bagi ketua pengadilan
dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara remeh temeh.
Dengan pendekatan tafsir a contrario, jika Mahkamah Agung
beranggapan bahwa terbitnya PERMA No. 2 tahun 2012 sebagaimana tertuang dalam
konsederannya dimaksudkan untuk memudahkan
penegak hukum khususnya hakim, untuk memberikan keadilan terhadap perkara yang
diperiksa, diadili dan diputusnya, berdasarkan hal tersebut maka terhadap perkara
yang masuk dalam kategori PERMA tersebut kemudian diperiksa, diadili dan
diputus dengan hukum acara biasa maka hal tersebut merupakan bentuk tindakan
pengadilan yang tidak memberikan keadilan.
Ketika Mahkamah Agung berharap bahwa dengan
diterbitkannya PERMA ini akan memperbaiki citra pengadilan (hakim) yang kerap
memproses dan memutus perkara dengan mengabaikan rasa keadilan masyarakat, maka
dengan tidak diimplementasikannya PERMA ini sejak diberlakukannya 1 (satu)
tahun lalu sebaliknya semakin memperburuk citra pengadilan.
Komentar
Posting Komentar