Sidang Pertamaku: dikerjai “Hakim” dan “Seniorku"





Sekira pukul 10.00 Phoncellku berbunyi, panggilan dari Bang Piatur

“Har, maaf saya tidak bisa sidang, kamu aja ya, tabrak aja har” Ujarnya dibalik telepon, mendengar pernyataannya dunia serasa runtuh, bagiamana tidak ini adalah sidang pertamanku,  meski sudah dinyatakan lulus dalam ujian Advokat pada tahun 2011, dan dinyatakan sebagai Advokat Magang pada maret 2012 oleh organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) baru di awal tahun 2013 aku menyentuh dunia peradilan, bertindak sebagai Penasehat Hukum. Berbeda dengan teman-teman seangkatan, mereka sudah sangat akrab dengan pengadilan, mereka sudah mengenal panitera, hakim, jaksa, jurus sita dengan sangat baik. 

Hari itu kurasakan, aku bukan lagi aktor persidangan sebagaimana yang pernah kualami dalam mimpi, bukan lagi penonton persidangan yang pernah kulakukan ketika masih berstatus sebagai mahasiswa, bukan juga aktor persidangan pada peradilan semu, kali ini aku benar-benar bertindak sebagai aktor sebenarnya dalam mata rantai penegakan hukum, aku benar-benar bertindak sebagai penasehat hukum dalam perkara pidana (nama terdakwa dan nomor perkara sengaja tidak dicantumkan) meski hanya berstatus sebagai Advokat Magang. 

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, saat itu aku hanya tahu nama Jaksa Penuntut Umum yang akan mendakwa orang yang akan kudampingi, berbekal nomor seluler yang diberikan oleh penyidik lakalantas polres balikpapan aku menghubungi dan menemui Jaksa Penuntut Umum, untuk berkenalan dan memberikan informasi soal keberadaanku sebagai salah seorang penasehat hukum yang akan mendampingi dia menghadapi sidang dakwaan hari itu. 

Mundur 2 (dua) jam sebelum telepon dari Pak Piatur, karena tidak memiliki Toga, pagi dihari persidangan aku meminjam toga Penasehat Hukum milik Fakultas Hukum Universitas Balikpapan, toga yang biasa digunakan dalam praktik mata kuliah Peradilan Semu, alhamdulillah dipinjamkan, meski Toga yang dimiliki Fakultas Hukum tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan menteri Kehakiman Nomor M07.UM.01.06 Tahun1983, tgl 16 Desember 1983, tentang atribut pejabat peradilan dan penasehat hukum, toga itu tetap saya bawa, sembari menunggu toga kiriman dari Yudi Akhiruddin, seorang teman yang statusnya sama denganku, Advokat Magang. 

Tidak seperti di film-film hukum yang menjadi santapanku, ternyata waktu pelaksanaan persidangan dengan apa yang disampaikan Penuntut Umum padaku berbeda. Jam 10 pagi saya sudah berada di Pengadilan Negeri Balikpapan, belum ada siapa-siapa, termasuk dia yang akan saya dampingi, dia beserta tahanan lainnya baru datang sekira pukul 11.30, dan untuk sampai pada saat dia disidangkan kami harus menunggu antrian, dalam masa menunggu itu Yudi Akhiruddin datang ke pengadilan dengan membawakan toga yang kupesan.

Sekira pukul 13.20 Jaksa yang akan mendakwa dia menyampaikan sidang dengan agenda pembacaan dakwaan akan dimulai, aku benar-benar gugup, karena sebagai Advokat Magang yang teregister sejak bulan maret 2012 sampai dengan akhir tahun 2012 tidak pernah sekalipun aku bersidang. Saya memahami hukum acara pidana sebatas pada teori bangku kuliah dan buku teks wajib mata kuliah, keadaan ini tentu menyebabkankukebingungan, bagaimana tatacaranya memasuki persidangan, dan berbicara kepada hakim, dan menyampaikan pembelaan aku tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti, ditambah tidak hadirnya Pak Piatur yang entah memang berhalangan atau dia sedang menguji mentalku, maka sempurnalah kekalutanku. 

Sebelum memasuki ruang sidang kusempatkan berkomunikasi dengan dia yang akan kudampingi, dihadapannya aku berlaga seperti penasehat hukum yang sudah berpraktik hukum setidaknya 2 (dua) tahun, memberi nasihat, arahan dan menjawab pertanyaannya tentang suasana persidangan, meski disisi lain bukan dia sebenarnya yang membutuhkan Pendamping melainkan aku, yang masih hijau, gugup, kalut dan berkeringatan menghadapi persidangan. Pada saat itu kurasakan kami berada dalam suasana kebatinan yang sama, persidangan saat itu adalah pengalaman pertama kami menjadi aktor nyata dalam dunia peradilan pidana, yang berbeda dia sebagai terdakwa dan aku sebagai Penasehat Hukum. 

Gamat-gamat kugunakan Toga yang dibawakan Yudi Akhiruddin, kusembunyikan keraguanku dengan cara memaku senyum di wajah, dan bertindak biasa, tidak jauh dari tempatku berdiri mengenakan toga di depan ruang sidang sudah duduk seorang hakim, dengan perawakan kurus, kulit pucat, dan wajah yang dipasang tidak bersahabat, mengenai wajah yang demikian mungkin sengaja dilakukan untuk menimbulkan kesan berwibawa, tapi yang kudapati berbeda, dia dengan perawakannya telah menyebabkan ruang sidang terasa angker dan mengerikan. 

Kuperhatikan dari tempatku mengenakan toga, matanya mengawasiku, begitu tajam dan membunuh mentalku. “pengacara dari mana ini” itu yang tertangkap dari sorot matanya. 
“sidang perkara pidana Nomor ...... atas nama terdakwa .... dengan ini dinyatakan terbuka dan dibuka untuk umum” Ucapnya dengan suara yang memecah keriuhan benakku, seketika saja kegaduhan yang terjadi diluar ruang sidang, suara hilir mudik para jaksa, panitera, dan pengacara yang mencari ruang sidang, mencari hakim, mencari panitera dan gosip-gosip yang terjadi diluar sidang hilang, yang ada hanya suaranya “Saudara Terdakwa silahkan maju” ucap yang mulia lantang, kuperhatikan dia berdiri dituntun telunjuk Penuntut Umum untuk duduk dikursi pesakitan dihadapan yang mulia, saat dia berdiri naluri mendorongku untuk bergerak menuju kursi yang berada dibelakang meja yang bertuliskan penasehat hukum, kembali dari sudut mataku kuperhatikan mata tajamnya mengawasiku, kegugupan menguasaiku, “gubrak” badanku menyenggol meja Penasehat Hukum, seketika aku melirik yang Mulia ada senyum tipis tergurat diwajahnya, senyum itu membunuhku. 
“Apakah saudara terdakwa dalam keadaan sehat”
“Sehat pak”
“Apakah terdakwa bersedia untuk mengikuti persidangan pada hari ini”
“bersedia pak”
“Apakah pada persidangan ini saudara didampingi penasehat hukum” tanya yang Mulia
“Ia Pak” jawabnya sembari menatap wajahku,
“Saudara Penasehat Hukum, bisa tunjukkan legalitas saudara” Ujar yang Mulia, dengan sigap aku bergerak membawa berkas surat kuasa, beserta lampirannya, yakni fotokopi kartu Advokat beserta fotokpoi Berita Acara Sumpah sebagai Advokat milik Pak Piatur, dan fotokopi kartu Izin Sementara Praktik Advokat miliku. setelah menyerahkan legalitas tersebut saya langsung kembali ketempatku, belum sempat pantatku merapat, mendarat dengan sempurna dikursi penasehat hukum, suara lantangnya kembali terdengar.
“Siapa nama saudara”
“Hari Dermanto yang mulia”
“Dalam keterangannya anda belum dinyatakan sebagai Advokat, Saudara masih Advokat Magang, saudara belum bisa bertindak sendiri sebagai penasihat hukum” katanya lantang, dengan tatapan tajam diikuti senyum “licik” dengan kesan bahagia telah mengerjaikan dihadapan JPU, Terdakwa yang kudampingi, serta pengunjung sidang yang umumnya adalah terdakwa pidana yang sedang mengantri untuk disidang olehnya beserta keluarga terdakwa. 

Bagai petir di siang bolong, suasana siang itu terkhusus ruang sidang, terkhusus tempat dimana aku duduk begitu mencekam, meski aku sudah membangun psikologis yang teraktual dalam wajah yang meminta diampuni, dimaafkan dan dimaklumi tapi dia tetap abai, tanpa peduli dengan kalimatnya, sorot matanya, dan senyum bengisnya dan dipadukan dengan kulit pucatnya dia tidak memberi ampun. 

Setelah kalimatnya selesai, saya terdiam sesaat, selang lima detik, kugelorakan semangatku kutentang matanya, kupaku senyum tanda ketenangan dan kunyatakan padanya “emmm eh emmmm maaf yang mulia Pak Piatur berhalangan hadir pada persidangan hari ini, untuk diketahui memang saya belum seutuhnya menjadi Advokat, tapi saya sudah dinyatakan lulus dalam ujian Advokat” kataku membalas.

“benar, tapi dalam fotokopi identitas saudara menyebutkan bahwa saudara belum bisa melakukan praktik sendiri” katanya membalas, diikuti sorot mata dan senyum yang membunuh, jika pada kalimat yang pertama bagai petir di siang bolong, kalimat yang kedua membuatku merasakan sengatan petir.
“bagaimana saudara Penuntut Umum, apakah saudara keberatan, terdakwa didampingi Hari Dermanto” lanjutnya
“tidak yang mulia, mungkin kita dapat melanjutkan persidangan” jawab Penuntut Umum dengan sangat bijaksana, mengobati perasaanku yang goyah dan kehilangan pegangan.
“baik karena saudara Penuntut Umum tidak keberatan kita lanjutkan persidangan ini, tapi saya ingatkan kepada saudara agar pada persidangan berikutnya Advokat Pendamping saudara hadir dalam persidangan” kata yang mulia,
“baik yang mulia” jawabku dengan pertahanan terakhir.
Kemudian persidangan dilanjutkan kepada pemeriksaan identitas terdakwa dan pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut Umum. Setelah sidang dinyatakan ditutup yang diakhiri ketukan palunya, baru aku bisa merasakan kelegahan, terbebas dari cengkramannya. 

Pemeriksaan terhadap terdakwa terus berlanjut dengan agenda-agenda persidangan berikutnya, pada persidangan berikutnya aku tidak menempati janjiku untuk hadir bersama Advokat Pendamping, karena tidak ada protes dari yang Mulia maka proses penanganan perkara dipersidangan aku hadiri sendiri bahkan sampai dengan sidang putusan. Majelis hakim yang memeriksa perkara ternyata tidak terlalu peduli dengan statusku sebagai Advokat Magang dengan izin praktik sementara. 

Patut diduga sikap yang mulia pada saat itu didasari karena belum sempat sarapan dan ketika hendak makan siang jaksa dan panitera sudah memintanya untuk menyidangkan perkara alhasil aku menjadi korban kenakalannya, atau dia sedang menguji mentalku sebagai pendatang baru yang akan memasuki gelanggang peradilan, sebagaimana yang dilakukan Pak Piatur membiarkanku terjerumus dalam kolam agar aku secara mandiri belajar mengimplementasikan teori-teori hukum yang selama ini kumiliki hingga aku bisa berenang menyusuri dan menyelami kolam itu sendiri tanpa harus didampingi. 

Kasus itu memberikan banyak pembelajaran, membentuk mentalku, dan memberanikanku untuk menangani perkara-perkara setelahnya,  dan setelah aku di Sumpah Sebagai Advokat kini aku merasakan begitu hebatnya perbuatan yang mulia dan pak pitur pada saat itu, tentunya penghargaan buat Mas Aditya, Penuntut Umum pada yang dengan sangat baik tidak menolakku pada sidang perdana, serta terhadap terdakwa yang kudampingi yang mempercayakan kasusnya padaku hingga akhir persidangan. Trims

Balikpapan, 2 Juli 2015


HD

Komentar

Postingan Populer