Bilangan Yang Tak Terputus
Anakku sayang selamat ulang tahun
ya,
Sungguh menyenangkan melihatmu
tumbuh, mendegar cerita-cerita yang kau karang, membaca tulisan-tulisan dengan
kalimat yang tersusun dari kata-kata sebagaimana di buku meski belum
benar-benar tertata, mendengar kau ucapkan kata “menyebalkan” setiap kau kami
goda atau ketika kau protes kami, ratapan manjamu, merasakan marahmu padaku, tatapan
penuh cinta padaku, harapmu, ketawa lepasmu (terbahak), mendengar kau ucapkan
cita-citamu, kesabaranmu, ketabahanmu, argumentasimu, protesmu, bahasamu yang
mirip orang tua sebagaimana yang dinyatakan omahmu, bahkan kedewasaanmu dalam
melihat permasalahan. Ach Anakku sayang aku sungguh mencintaimu sepenuh hatiku.
Aku menuliskan ini di bilik rapat
kantor bapak, di saat semua penghuni sedang tertidur, sesekali aku tersenyum,
tapi lebih banyak menangis, perasaanku dikuasai rindu, rindu padamu, pada adikmu,
aku terlibat dalam emosi saat menuliskan ini, janji sudah terpatri maka tak
bisa tidak aku harus menyelesaikan tulisan ini.
Surat Pertamamu
Satu malam ketika pulang kerja,
tiba-tiba kau lari ke kamar bersembunyi, aku tahu, jika kau seperti itu pasti
ada hal yang tidak kusetujui telah kau lakukan, aku tidak langsung mendatangimu
di kamar, aku bertanya pada Mamamu, darinya aku tahu jika siang tadi kau
mengumpat dengan kata-kata kasar kepada Mamamu. Mengetahui itu kuputuskan
mengambil tindakan yang tidak biasa, jika sebelumnya aku akan datangi kamu di
peraduan dan mengajak bicara, saat itu kuambil keputusan mendiamkanmu.
Keputusan ini kuambil dengan
sangat beratnya, aku harus mendiamkanmu, itu sesuatu yang sebenarnya tidak
sanggup aku lakukan. Dimulai malam semenjak aku tahu apa yang kau lakukan, aku
mendiamkanmu, beberapa kali kita kontak mata, aku tahu ada upayamu meminta maaf
tapi kau takut untuk memulai, akupun demikian ada keinginan kuat dalam diriku
untuk memelukmu seperti biasa dan mengajak ngobrol tapi aku tahan diriku untuk
melakukan itu. Sehari berlalu, kau menunjukan sikap protes ketika mata kita
beradu kau memberikan aku mimik marah, mata tajam, diikuti tangan yang
bersilang di dada, menyikapi itu aku hanya memberi tatapan datar tanpa ekspresi.
Tidak terasa 2 (dua) malam
berlalu, sampai di hari ketiga, seperti biasa kau pergi sekolah pagi, saat itu
kau masih dikelas dua semester 2 (dua), bersama raisah, tidak lama berselang,
sekitar jam 9 pagi saat aku hendak berangkat ke sekolah, aku mendegar suaramu
dari kejauhan bersama Raisah, teman karibmu, dan satu temanmu yang lain
kulitnya hitam dan berjilbab. Aku tidak melihatmu, hanya mendegar suaramu
memberi instruksi pada kedua temanmu, perkiraanku saat itu kamu memberi
instruksi dari depan rumah Raisah “kasih sudah” katamu dari kejauhan,
kuperhatikan dari dalam rumah, temanmu yang berkulit hitam dan berjilbab
mendekat ke pintu rumah, setelah jaraknya kurang dari 2 (dua) meter dari pintu
rumah dia melempar benda ke dalam rumah, dan dari jauh kau berteriak “pergi
dulu ya asalammualaikum”.
“beh ada kertas di lempar
temannya zahra” kata mamamu mengangkat, sembari membuka kertas yang dilipat
dua.
“hasil ulanganya kah, mungkin dia
takut ngasih karena nilainya jelek” kataku menanggapi, kemudian mendekati mamamu.
“bukan, ini surat dari anakmu untuk kita” kata mamamu setelah membuka isinya.
Terdapat dua lembar kertas, satu
kau tujukan padaku, yang satu pada mamamu, tidak banyak kata yang kau tuliskan
dalam surat itu, seperti biasanya, ada sebuah gambar hati, diikuti kata-kata
“aku sayang papa, sayang mama, maaf ya ma, aku janji gak nakal lagi”
kata-katamu dalam surat itu, tiba-tiba perasaanmu mengharu biru membacanya, air
mataku menitih saat itu, pun dengan mamamu, matanya nanar, kau benar-benar
pandai menyentuh perasaan kami untuk menyayangimu nak.
Kau tahu nak, surat yang kau
buat, bapak simpan, dan kerap kali bapak baca, dan satu ketika pernah bapak
pamerkan pada rekan-rekan bapak, “dasar anaknya seniman” kata mba Ecy, pun
dengan Prapti teman Bapak. Surat yang kau buat membuat kebekuan diantara kita
mencair.
Menjadi Pendongeng
“Bapak Pulang, waktunya
bercerita” teriakmu, ketika aku pulang di hari jumat, memang beberapa bulan
belakangan, jumat malam menjadi waktu khusus bagiku untuk mendongeng, tidak
jarang kau minta aku mengungkapkan cerita masa kanak-kanakku yang konyol, atau
cerita pesananmu. Mengenai bercerita, mamamu sering menceritakan padaku, ketika
dia menceritakan kisah-kisah seperti bawang merah-bawang puting, timun emas,
malin kundang, dan cerita lainnya, selalu diakhiri dengan perasaan syahdu “aku
janji gak akan nakal sama mama” kata mamamu mencontohkan kalimatmu setelah
mendengar cerita rakyat darinya.
Sedangkan pada kesempatanku,
kebagian di jumat malam, seperti biasanya setelah aku siap, kamu dan adikmu
sudah berkumpul di peraduan, dengan antusias dan penuh semangat, tidak jarang
kau meminta untuk mematikan lampu. Kesempatan bercerita di malam hari sering
kumanfaatkan untuk menuturkan kisah-kisah serem, tujuanku sederhana biar kalian
merapat disisiku, memelukku erat, sedangkan adikmu mungkin belum terlalu
mengerti tentang cerita-cerita serem yang kusampaikan, karena melihat gerakanmu
yang merapat padaku, biasanya dia akan ikut.
Sebagai pembuka biasanya aku
bercerita tentang kisah-kisah seram yang pernah kulewati, tentang kehidupan
masa kecilku ketika tinggal diperkampungan km. 6, yang dekat dengan hutan, yang
kala malam selalu terdengar derap langkah orang lalu lalang akan tetapi tidak
pernah terlihat pemilik derap langkah tersebut, atau gedoran pada dinding rumah
yang kerap menghantui kala malam akan tetapi tidak pernah terlihat siapa yang
melakukan gedoran, atau peristiwa-peristiwa seram yang dialami pihak lain yang
belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, akan tetapi dalam rangka memenuhi
kepentinganku ku olah sedemikian rupa membuatmu terbawa pada suasana cerita,
kemudian merapat padaku.
“ach bapak bercanda” katamu,
ketika mendengar ceritaku yang sudah mulai terlewat berlebihan, atau “Pak
cerita pengalaman konyol bapak waktu kecil”pintamu ketika rasa seram
menguasaimu “atau ach bapak terlalu drama” katamu ketika aku membuat cerita
yang jauh dari fakta-fakta. Tidak jarang disela ceritaku kau memotong agar aku,
mamamu dan adikmu (Zakkiya) mendengar ceritamu, biasanya kau akan bercerita
tentang negeri impian, yang aku tangkap berasal dari buku-buku berbimu, atau
mainanmu, atau cerita lain yang kau karang sendiri.
Pada saat aku bercerita, kadang
suasana seram yang kubuat, atau rasa penasaran yang kuciptakan buyar oleh
tingkah Zakkiya, adikmu, dia kerap memotong dengan bernyanyi sendiri, yang
membuat kamu berteriak “Aliya diam nah, bapak lagi cerita” atau “Aliya kaka
lagi cerita itu loh” atau “aliya diam de, mama lagi cerita” sergapmu menimpali
aksi Zakkiya, yang kerap memotong dengan lagu “selimut tetangga”, “you are
beautifulnya Chibi-chibi”, “tersenyum lagi chibi-chibi” dan beberapa lagu
dangdut yang dinyanyikan pedangdut “Dangdut Academy Indosiar”, membuat aku dan
mamamu terkekeh karena ulah itu.
Jika aku dan mamamu sudah tertawa
karena ulah Zakkiya itu, berlanjut dengan reaksinya yakni menangis, alhasil
ceritaku, ceritamu, cerita mamamu terpotong karena kita harus menenangkan dia,
diikuti lampu dinyalakan dan sesi bercerita selesai, atau jika Zakkiya
kooperatif biasanya cerita selesai ditutup dengan tidurmu, sementara adikmu
masih terus aktif dengan kesenangannya.
Aku senang ketika mendengarmu
bercerita nak, aku merasakan ide-idemu berkembang, bahkan pernah di satu waktu
aku membaca karanganmu, meski sangat berbau berby, tapi kamu sudah berani
menuangkan gagasanmu, idemu, dan kreatifitasmu, bahasamu bagus untuk anak
seusiamu, pun ketika kamu bertutur nak, sebagaimana juga dengan adikmu. Karena
baik pada saat aku bercerita, atau mamamu bercerita di Jumat malam kami tidak
menggunakan bahasa cadel, meski kadang-kadang caraku bercerita kau anggap
berlebihan “Bapak lebay” teriakmu ketika aku dalam bercerita dengan metode
Deklamasi, bernyanyi, terkadang berpuisi.
Perang Tari
“Pak aku punya tarian baru, ayo
kita bettel” ujarmu, sembari menunjukan tarian yang kau katakan baru, tanpa mau
menunggu aku menaggalkan baju kerjaku, atau membasuh muka, melihatmu antusias
aku menyambut tantanganmu.
“Ok, mana tarian barumu, tunjukan
padaku” ujarku dengan wajah serius, sembari menunjuk wajahmu. Dan pertarungan
antara kamu dan aku yang disaksikan Zakkiya dan Mamamupun terjadi. Kamu, dengan
hanya menggunakan kaos dalam, dan celana rock warna warni berjingkrak-jingkrak,
melompat berputar, ada perpaduan antara pop
dance dengan ballet dalam
tarianmu.
“sekarang giliran bapak” ujarmu
menantangkau menandingi tari kreasi buatanmu. Tanpa ragu aku
berjingkrak-jingkrak, kupadukan goyang shuffel,
pogo ska dan senam kesehatan jasmani yang menumpuk dalam alam bawah sadarku.
Biasanya pertarungan berakhir
dengan pernyataan kekalahanku, dan beberapa kesempatan kau mengakui
ketangguhanku. Dalam banyak pertarungan tari, biasanya si kecil Zakkiya turut
berpartisipasi, memelukmu dari belakang, atau iku berjogad-joged yang membuat kegaduhan
seantero rumah, karena sajian lucu lagi menggemaskan dari gerak badanya yang
gemuk melompat, meliuk, ketika kita semua tertawa biasanya dia menangis.
Si Pemalu Yang Mulai Berani
Bebebrapa kali aku pulang
mendapatkan kabar dari Mamamu, kamu menangis disekolah, mengenai menangis
sering kali terjadi dengan banyak alasan, dikerjai temanlah, pensil dipinjam
tidak dikembalikan temanmu, uang saku hilang, diabaikan temanmu, ditegur guru,
teman baikmu tidak bermain denganmu saat disekolah melainkan dengan teman yang
lain, takut dengan teman tertentu, tidak sanggup menyelesaikan tugas dan lain
sebagainya.
Untuk mengatasi itu kerap kali
kita terlibat dalam obrolan berdua di kamar, kadang untuk membangun rasa
percaya dirimu aku sengaja bercerita tentang kisahku ketika masih mengenyam
pendidikan di sekolah dasar yang membuat kamu antusias, bahkan terkadang kau
meminta aku menceritakan kisah-kisah yang sama yang kau sukai yang kau sebut
“cerita konyol”. Dalam urusan sekolah aku sering sampaikan kepadamu “Nak Bapak
gak persolahkan tentang hasil apa yang kau dapat, selagi kau berusaha dengan
keras, maksimal dan itu yang kau dapat, itu lebih baik, sekolah bukan
satu-satunya jalan untuk hidup” ujarku, yang kadang kau jadikan pembenar
menjawab keluhan Mamamu yang protes dengan nilai ujian matematikamu, “kata bapa
bla bla bla....” (kau mengutip argumenku)
Berangsur kamu mulai berubah,
menurut info terpercaya (dari Mamamu yang mendapat info dari gurumu”
menyebutkan masuk 3 (tiga) bulan di kelas 3 (tiga) kamu mulai berani tampil
bertanya, menyampaikan kegelisahanmu, dan menjawab pertanyaan gurumu. Pekerjaan-pekerjaan
Rumah yang biasa kau abaikan (tidak kamu kumpul meski sudah dikerjakan)
tersampaikan pada gurumu dengan baik, bagiku itu indikasi, kamu sudah bisa
memperbaiki masalah-masalah kecilmu.
Berbagi bikin Happy
“ma aku minta uang sangu lebih ya
hari ini” katamu disatu pagi ketika hendak berangkat ke sekolah
“untuk apa Ra?” ujar mamamu,
sembari merapihkan bajumu
“hari ini aku mau traktir
temanku, karena kemaren temanku belikan aku es” jawabmu, diikuti senyum dan
mata penuh harap untuk dikabulkan. Mengetahui niatmu, tidak ada penolakan
Mamamu untuk menolak permintaanmu.
Dilain kesempatan ketika aku
membawakan oleh-oleh, makanan kecil ketika aku melakukan perjalanan pekerjaan
ke luar kota, kelebihan makanan yang ku bawakan keesokan paginya selalu kau
minta ijin dariku untuk kamu bawa ke sekolah untuk dibagikan keteman-teman di
kelasmu. Gak pernah kami bisa menolak kemauanmu. Pun dengan alat tulismu, aku
selalu mendapat cerita kalo kamu sering meminjamkan alat tulis kepunyaanmu
kepada teman-temanmu.
Kamu selalu bersemangat berbagi,
terkadang ketika kita makan diwarung kalian selalu bersemangat meminta uang
untuk dimasukan ke kotak amal, kalian tidak mau memasukan uang kecil, aku
senang dengan pertumbuhanmu, pertumbuhan Zakkiya, sungguh aku bahagia bisa
menyaksikan dengan dekat pertumbuhanmu, pertumbuhan kalian.
Mural, Arsitek kemudian Designer
teringat 2 (dua) tahun
belakangan, kau sangat suka melukis, menggambar, mencorat-coret dinding, tempat
dimana kita tinggal selalu dipenuhi dengan guratan tanganmu, aktifitas
corat-coretmu itu kau sebut dengan “berkreasi” yang kemudian menular ke
Zakkiya, adikmu yang manis itu. Dinding rumah sepanjang kalian jangkau penuh
dengan guratan, yang kunyatakan sebagai buah karya. Setelah dinding tidak cukup
lagi, kegemaranmu menggambar beralih kepada buku gambar, buku lukis, atau buku
mewarnai, “kreasimu” semakin membaik, semakin luar biasa, dari melukis dinding,
ke mewarnai, kemudian membuat gambar sendiri.
Disuatu pagi ketika bangun tidur
Mamamu menunjukan padaku design kamar yang kamu idamkan, yang membuat aku akan
berusaha keras untuk mewujudkan itu anakku, terpatri dalam hatiku jika satu
saat aku membuat rumah aku sediakan satu kamar untuk kau kreasikan menurut
kehendakmu, pun dengan Zakkiya adikmu. Untuk mendukungmu, kala libuar sekolah
kita selalu ke Toko Buku yang ada di Balikpapan, biasanya Mamamu akan membeli
buku masakan yang gak pernah sekalipun di coba, aku membeli buku hukum, Zakkiya
membeli puzzle dan Pledo, sedangkan kamu buku gambar, buku design dan buku
gambar rumah. Kalian selalu meminta jumlah buku yang sama dengan yang ku beli,
yang belakangan telah membuat rak buku kita gak cukup lagi menampung padatnya
buku-buku kita.
Anakku sayang selamat ulang tahun
yak, angka delapan menurut fengshui cina angka keberuntungan, angka yang tidak
terputus. Semoga hubungan kita terus tersambung ya nak, sungguh Bapak sangat
menyayangi kalian. Tumbulah jadi Perempuan yang cerdas, kreatif, percaya diri,
kuat dan tangguh anakku.
Kuselesaikan tulisan ini kala
berada di Rumah Omahmu di ITCI
20.13 (waktu laptop bapak)
25 Nopember 2015
Bapakmu
Komentar
Posting Komentar