Sufisme Semu

Catatan di buang sayang :
Terperangkap dalam post – realitas


Sore itu, minggu (18/10/09) sekitar pukul 17an di bilangan ringroad tepatnya di kawasan DOME sepulang merelaksasi diri berwisata di kapal perang angkatan laut Tentara Negara Indonesia (TNI) Kapal Republik Indonesia (KRI) Teluk Penyu. Bersama ayyub dan Hamrin Hakim, sekedar duduk bergosip dari hal-hal terkait dengan pola komunikasi senior junior yang di praktekan dalam pendidikan di TNI, hingga membangun persepsi bagaimana lembaga bantuan hukum (LBH) Pos Balikpapan yang bersama kita kawal bisa dikembangkan secara simultan, dan keberlanjutan HMPS Hukum, hingga sampai pada hal remeh temeh: mengomentari pengunjung DOME yang saat itu datang dengan berbagai gaya.

Lama berdiskusi, sesekali memanjakan mata pada sosok muda dan mudi elok, brondong, siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 2 (selanjutnya disingkat : SMADA) yang kebetulan sore itu memadati gedung DOME dalam perhelatan pekan seni memperingati ulang tahun sekolah mereka (yang kuketahui dari seorang tukang sapu berumur kurang lebih 31 tahun). Tidak tanggung-tanggung perayaan ulang tahun salah satu sekolah yang memiliki kredibilitas yahud di balikpapan ini mendatangkan LYLA Band (selanjutnya sebut saja Lyla), yang aku tidak kenali sebelumnya atau mengaguminya secara detail : tahu warna favorit, nama anggota band, makanan favorit, tempat dan tanggal lahir, ciuman pertama mereka dan sebagainya.

Lyla, yang menurut Tribun kaltim edisi senin 19 oktober, terkenal karena lagu mantan kekasih, yang kerap di perdengarkan di radio-radio melayu cengeng seantero balikpapan dan tv nasional yang menjual absurditas (post realis) dalam tayangan music specialnya. Setelah serangkaian acara pentas seni yang merupakan acara sempalan di sudahi, bahana gedung mengelo-elo (baca. Elu-elukan), menggue-guekan Lyla Band menyeruak keluar tanpa mau dibendung, mereka sudah tidak sabar untuk melihat wajah-wajah kece, kiyut, tampan dan sosok personel LYLA.

Bagai candu mereka histeris tanpa henti, memanggil nama band tersebut, memanggil nama vokalis band tersebut : Naga. Gemuruh, yang ditimbulkan dari hasrat kolektif tersebut tidak berhenti, “mereka ekstase” pekikku dalam hati, Lyla telah menggerus eksistensi mereka, mereka meniada tereduksi oleh hasrat untuk melihat Lyla secara langsung, karena selama ini wajah, suara dan semua hal tentang mereka hanya menjadi penghias layar kaca (televisi), wara-wiri di radio local, dinikmati melalui phonsel genggam berteknologi tinggi, atapun penghias mimpi basah. Lyla menjadi realitas absolute saat itu, hasrat mereka telah mengkudeta keberadaan mereka oleh keberadaan yang tidak jelas riil atau tidaknya.

Gila, yang mana yang riil? Fikiranku semakin tidak berkompromi ketika master ceremoni (MC) meneriakan “kita sambut Lyla Band”, disusul menyebut nama personel mereka satu persatu, DOME tidak berhenti bergemuruh bagai ombak terus bersaut tidak henti dari lagu ke lagu, tidak mengenal lelah, semakin kehilangan kesadaran, ekstase. Lyla sukses membuat mereka “orgasme” berlipat-lipat hingga kepuncak kenikmatan, DOME semakin dipadati oleh mereka yang sedari tadi berada di sekitar, menyeruak masuk, menembus pagar polisi dan panitia yang harus kewalahan, melawan kesaktian mereka yang telah dikendalikan alam bawah sadarnya: hasrat melihat, mendengar dan merasakan Lyla.

Fenomena apa ini? Lyla menjadi magnet, pusat dari pelampiasan hasrat, kenyataan tersebut membawa saya pada kesimpulan (bukan bermaksud conclusion jumping), bahwa kita telah masuk ke dalam fase post-realitas, dimana eksistensi absurd menjadi terasa lebih riil, inilah budaya massa (populis) abad ini hubungan antar subyek dalam realitas dipertemukan oleh hasrat kata seseorang dalam sebuah buku, terasa menyempurna ketika bergerak kepada absurditas. Inikah spiritualisme hari ini?

Seperti Logika sufistik (kalo boleh menyebutnya seperti itu) hubungan mereka yang meng-elu-elukan dan meng-gue-guekan dengan anak-anak Lyla, mereka menyempurna ketika kesadaran tentang diri menghilang digantikan dengan kesadaran semua tentang DIA (yang dianggap sebagai sumber kesempurnaan), diri adalah ketidakjelasan sementara dia adalah kejelasan, diri meniada ketika tidak menterjemahkan sifat-sifat DIA kedalam diri.

Realitas post-industrial laiknya sebuah fenomena sufistik, yang membedakan adalah subjek untuk menjadi DIA atau menjadi AKU. Dalam post-industrial sumber penyempurnaan diri adalah absruditas (ekonomistik, simbol trand) yang melahirkan hedonisme, pragmatisme sedangkan dalam dunia penyempurnaan sufistik sumber yang menjadi subjek adalah apa yang disebut pemilik kesempurnaan (Tuhan dan sebagainya) yang melahirkan sifat asketisme, penafian dunia dan sebagainya.

Tetapi mau tidak mau, suka atau tidak suka fenomena Lyla dalam perayaan pentas seni SMADA, melahirkan pertanyaan : mungkinkah Tuhan sudah menjadi absurd?

Komentar

Postingan Populer