Menciptakan kader atau keder
Dalam satu kesempatan setelah perkuliahan (sore) jam pertama selesai, dalam keadaan lapar melilit, kucoba meredam dengan mengunjungi warung mbo Rum salah satu kantin di bilangan kampus Universitas Balikpapan. Setelah melalui penyesuaian dengan kantong dan penyesuaian dengan kebutuhan energi untuk dapat bertahan di jam kuliah berikutnya akhirnya kupiih segelas kopi pahit dan 3 (tiga) buah gorengan, sanggar, tempe dan singkong. Kopi kupilih karena mengandung caffeine yang dapat memompa adrenalin, sanggar karena mengandung vitamin c dan dapat dengan segera mengembalikan energi, tempe karena mengandung protein dan singkong karena mengandung karbohidrat, setidaknya meski berada dalam delima kekurangan uang aku tidak boleh kehilangan akal untuk menyuplai energi pembangkit tubuhku.
Kupilih beranda kantin sebagai peraduanku menikmati kopi dan gorengan, karena tempat ini memberikan kesempatan pandangan mataku untuk tidak terbatasi sekat kecuali cakrawala yang sore itu sedikit demi sedikit menghilang terhapus senja, ditengah desingan azan magrib dan gemuru Mahasiswa yang hendak memanjakan diri seperti aku, dan menghamburkan uang recehnya, konsentrasiku terpecah oleh dua sosok yang tepat bersebrangan denganku, tempat aku menjinakan perut kelaparan yang telah bercampur dengan badan gemetaran, aku kenali dengan baik kedua sosok tersebut, satu teman kelasku (tidak perlu kusebutkan namanya, selanjutnya kusebut si junior) dan yang satu adalah mahasiswa senior (senior bukan SEnang Istri ORang, melainkan kaka tingkat yang jauh lebih dahulu kuliah di UNIBA, dan telah memiliki pengaruh bagi mahasiswa di bawahnya setidaknya temanku itu).
Dalam diskusi yang telah berlangsung lama tersebut, kutangkap percakapana sebagai berikut :
Si Junior : bagaimana caranya mendorong kepatuhan, ketundukan adik-adik tingkat terhadap abang” tanyanya dengan mimik wajah super serius dan penuh rasa ingin tahu.
Senior : itu gampang, ada satu prinsip dalam membangun kepatuhan junior terhadap senior, dan itu kamu bisa gunakan ketika ada perkaderan kelak” tukasnya sambil menghisap rokok dalam dengan ekspresi wajah jumbawa
Si Junior : “seperti apa prinsip itu bang” tannyanya dengan wajah serius mencari tahu, sehingga tampak guratan keluguan yang membuat si senior semkin jumbawa
Senior : “prinisip ini sering ku gunakan untuk menciptakan kader di kampus ini, sangat efektif dan terbukti berhahasil”
Si Junior : “seperti apa? “ kali ini dengan mimik bloon, wajah penasaran yang membuat senior makin jumbawa dan semakin diatas angin.
Senior : “sederhana, prinsip pertama jenior selalu salah, kedua senior selalu benar dan ketiga jika senior salah kembali ke pasal dua” katanya dengan Bangga diikuti seruputan kopi, sang jeniorpun membarengi dengan bahasa tubuh tercerahkan (manggut-manggut).
Percakapan senior – junior itu sontak membuat saya kaget, hampir disertai dengan semburan kopi bercampur dengan singkong goreng karena tawa yang dengan sekuat tenaga saya paksa untuk tidak meledak mendengar oborolan tersebut, dengan segera kuhabiskan makanan yang ada dan dengan cepat kuseruput kopi kemudian pergi meninggalkan meja mencari tempat untuk bisa melepaskan tawa.
“Prinsip orang gila” pekiku dalam hati,
Peristiwa itu menghantarkan aku pada satu ulasan Kang Jalal (Jalaludin Rakhmat) dalam bukunya yang diberi judul REKYASA SOSIAL (REKSOS) yang pernah kubaca sekitar tahun 2004 dan mengingatkan aku pada matakuliah Logika Hukum Pa Nasir pada semester III (tiga), Kang Jalal dalam buku tersebut berujar bahwa perubahan social yang kita dambakan tidaklah mungkin terjadi ketika kita masih terjebak dalam bentuk-bentuk kesalahan berfikir (fallacy). Buku tersebut dan mata kuliah logika yang aku ikuti, membuat aku berkesimpulan bahwa sesat-sesat fakir yang menghinggap dalam individu dan kemudian menjadi persepsi umum di masyarakat, merupakan problem penghambat terhadap perwujudan perubahan untuk keadilan sosal, maka konsekuensi yang harus ditempuh ketika ingin mewujudkan perubahan social adalah melepaskan diri dan masyarakat dari berbagai bentuk sesat fakir.
Berbekal referensi tersebut aku mencoba menganalisa prinsip pamungkas Senior yang diturunkan kepada si junior, dengan menggunakan referensi Kang Jalal dan Matakulah Logika kutemukan bentuk sesat fakir terdapat dalam prinsip mahasiswa dalam cuplikan percakapan SENIOR - JÚNIOR diatas. Menurutku terjadi kontradiksi antara prinsip 1, 2 dan 3. Pada prinsip 1, disebutkan bahwa jenior selalu salah, hal ini melahirkan kesimpulan bahwa setiap hal yang keluar dari jenior pasti salah termasuk penilaian/pengakuan junior terhadap prinsip 2 bahwa senior itu selalu benar adalah salah. Prinsip 1 jika dihadap-hadapkan dengan prinsip 2 akhirnya tidak pernah ketemu, ketika semua yang keluar dari junior adalah salah, lantas apa artinya prinsip ke2, bahwa senior selalu benar ketika kebenaranya tidak mendapatkan pengakuan dari se Juniot, begitu juga dengan prinsip 3, sedikit lebih tegas ada delegitimasi prinsip 1 terhadap prinsip 2 dan 3.
Dalam pendekatan rasionalitas, prinsip ini mengalami problem logis karena terdapat pertentangan internal antar prinsip, sehingga aku berkesimpulan hanya orang-orang yang tidak rasional yang menciptakan dan mengakui prinsip ini, dan prinsip ini masuk dalam kategori kesesatan berfikir inkonsisten (fallacy of inconsistency), mungkin juga bisa dimasukan dalam kategori kesalahan berfikir yang disandarkan atas kekuasaan, senioritas (fallacy of appealing to force).
Dalam sastra propaganda (saya lupa pengarangnya), kesalahan berfikir memang cenderung digunakan oleh kelompok tertentu untuk membangun posisi (kekuasaan). Dalam hubungan Senior-Junior, prinsip ‘sesat’ tersebut didengungkan untuk menjaga dan melanggengkan kesenioran, sehingga bisa tetap diterima pengaruhnya, kemudian memberikan keleluasaan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu, atau bisa kita katakan bahwa tindakan ini sebagai proses feodalisasi. Ada status quo dibalik kesalahan berfikir.
Dari sisi pembangunan kebudayaan, prinsip tersebut merupakan gambaran anti kemajuan dan kemandekan dimana kreativitas, inovasi dan temuan-temaun junior dikebiri oleh praktek feodal Senior, lebih keji prinsip tersebut bersifat diskriminatif, unequal, dan meletakan dasar persaingan yang tidak sehat. Melihat penerapan prinsip tersebut pada mahasiswa di kampus dan implikasinya terhadap permajuan budaya kritis-akademis sebagai budaya siswa yang bergelar maha (baca, mahasiswa), menjadikan fikiran Kang Jalal kontekstual diberlakukan terhadap kondisi kemahasiswaan di UNIBA, bahwa perubahan social yang kita cita-citakan “terwujudnya keadilan social di Kampus UNIBA” adalah mustahil ketika dibangun dengan etika kebudayaan yang melemahkan generasi untuk menjadi jauh lebih baik. Secara tidak langsung Senior dan Junior dalam cuplikan diataslah yang menyebabkan pembumian nilai-nilai ideologis kepada perlawanan di kampus UNIBA mandek.
Bersebrangan dengan prinsip “sesat” yang menjadi pembahasan tulisan ini saya teringat ungkapan brilian Nietzche seorang eksistensialis, “anda tidak becus menjadi murid jika tetap menjadi murid” aku menyimpulkan bahwa seorang murid yang becus ketika mampu melampui guru-gurunya, dan guru yang becus adalah mereka yang menciptakan generasi jauh melampaui dirinya, atau mungkin jika mau sedikit berkompromi pandangan senioritas harus di destruksi kepada nilai yang lebih filosofis, dimana titik pijaknya adalah kualitatif (rasionalitas, ide) bukan kuantitatif (angkatan tua dan angkatan muda), dengan demikian kita menciptakan satu system pembangunan kebudayaan yang egaliter dimana semua orang adalah subjek, semua orang berlomba untuk menjadi yang terbaik tanpa intimidasi dengan berbagai bentuk, yang mungkin dengan seperti itu dinamika mahasiswa di UNIBA bukan untuk mencptakan keder melainkan kader.
Sungai Terik, 23 Februari 2010
Terus Menulis
Pena
Hari Dermanto
Kupilih beranda kantin sebagai peraduanku menikmati kopi dan gorengan, karena tempat ini memberikan kesempatan pandangan mataku untuk tidak terbatasi sekat kecuali cakrawala yang sore itu sedikit demi sedikit menghilang terhapus senja, ditengah desingan azan magrib dan gemuru Mahasiswa yang hendak memanjakan diri seperti aku, dan menghamburkan uang recehnya, konsentrasiku terpecah oleh dua sosok yang tepat bersebrangan denganku, tempat aku menjinakan perut kelaparan yang telah bercampur dengan badan gemetaran, aku kenali dengan baik kedua sosok tersebut, satu teman kelasku (tidak perlu kusebutkan namanya, selanjutnya kusebut si junior) dan yang satu adalah mahasiswa senior (senior bukan SEnang Istri ORang, melainkan kaka tingkat yang jauh lebih dahulu kuliah di UNIBA, dan telah memiliki pengaruh bagi mahasiswa di bawahnya setidaknya temanku itu).
Dalam diskusi yang telah berlangsung lama tersebut, kutangkap percakapana sebagai berikut :
Si Junior : bagaimana caranya mendorong kepatuhan, ketundukan adik-adik tingkat terhadap abang” tanyanya dengan mimik wajah super serius dan penuh rasa ingin tahu.
Senior : itu gampang, ada satu prinsip dalam membangun kepatuhan junior terhadap senior, dan itu kamu bisa gunakan ketika ada perkaderan kelak” tukasnya sambil menghisap rokok dalam dengan ekspresi wajah jumbawa
Si Junior : “seperti apa prinsip itu bang” tannyanya dengan wajah serius mencari tahu, sehingga tampak guratan keluguan yang membuat si senior semkin jumbawa
Senior : “prinisip ini sering ku gunakan untuk menciptakan kader di kampus ini, sangat efektif dan terbukti berhahasil”
Si Junior : “seperti apa? “ kali ini dengan mimik bloon, wajah penasaran yang membuat senior makin jumbawa dan semakin diatas angin.
Senior : “sederhana, prinsip pertama jenior selalu salah, kedua senior selalu benar dan ketiga jika senior salah kembali ke pasal dua” katanya dengan Bangga diikuti seruputan kopi, sang jeniorpun membarengi dengan bahasa tubuh tercerahkan (manggut-manggut).
Percakapan senior – junior itu sontak membuat saya kaget, hampir disertai dengan semburan kopi bercampur dengan singkong goreng karena tawa yang dengan sekuat tenaga saya paksa untuk tidak meledak mendengar oborolan tersebut, dengan segera kuhabiskan makanan yang ada dan dengan cepat kuseruput kopi kemudian pergi meninggalkan meja mencari tempat untuk bisa melepaskan tawa.
“Prinsip orang gila” pekiku dalam hati,
Peristiwa itu menghantarkan aku pada satu ulasan Kang Jalal (Jalaludin Rakhmat) dalam bukunya yang diberi judul REKYASA SOSIAL (REKSOS) yang pernah kubaca sekitar tahun 2004 dan mengingatkan aku pada matakuliah Logika Hukum Pa Nasir pada semester III (tiga), Kang Jalal dalam buku tersebut berujar bahwa perubahan social yang kita dambakan tidaklah mungkin terjadi ketika kita masih terjebak dalam bentuk-bentuk kesalahan berfikir (fallacy). Buku tersebut dan mata kuliah logika yang aku ikuti, membuat aku berkesimpulan bahwa sesat-sesat fakir yang menghinggap dalam individu dan kemudian menjadi persepsi umum di masyarakat, merupakan problem penghambat terhadap perwujudan perubahan untuk keadilan sosal, maka konsekuensi yang harus ditempuh ketika ingin mewujudkan perubahan social adalah melepaskan diri dan masyarakat dari berbagai bentuk sesat fakir.
Berbekal referensi tersebut aku mencoba menganalisa prinsip pamungkas Senior yang diturunkan kepada si junior, dengan menggunakan referensi Kang Jalal dan Matakulah Logika kutemukan bentuk sesat fakir terdapat dalam prinsip mahasiswa dalam cuplikan percakapan SENIOR - JÚNIOR diatas. Menurutku terjadi kontradiksi antara prinsip 1, 2 dan 3. Pada prinsip 1, disebutkan bahwa jenior selalu salah, hal ini melahirkan kesimpulan bahwa setiap hal yang keluar dari jenior pasti salah termasuk penilaian/pengakuan junior terhadap prinsip 2 bahwa senior itu selalu benar adalah salah. Prinsip 1 jika dihadap-hadapkan dengan prinsip 2 akhirnya tidak pernah ketemu, ketika semua yang keluar dari junior adalah salah, lantas apa artinya prinsip ke2, bahwa senior selalu benar ketika kebenaranya tidak mendapatkan pengakuan dari se Juniot, begitu juga dengan prinsip 3, sedikit lebih tegas ada delegitimasi prinsip 1 terhadap prinsip 2 dan 3.
Dalam pendekatan rasionalitas, prinsip ini mengalami problem logis karena terdapat pertentangan internal antar prinsip, sehingga aku berkesimpulan hanya orang-orang yang tidak rasional yang menciptakan dan mengakui prinsip ini, dan prinsip ini masuk dalam kategori kesesatan berfikir inkonsisten (fallacy of inconsistency), mungkin juga bisa dimasukan dalam kategori kesalahan berfikir yang disandarkan atas kekuasaan, senioritas (fallacy of appealing to force).
Dalam sastra propaganda (saya lupa pengarangnya), kesalahan berfikir memang cenderung digunakan oleh kelompok tertentu untuk membangun posisi (kekuasaan). Dalam hubungan Senior-Junior, prinsip ‘sesat’ tersebut didengungkan untuk menjaga dan melanggengkan kesenioran, sehingga bisa tetap diterima pengaruhnya, kemudian memberikan keleluasaan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu, atau bisa kita katakan bahwa tindakan ini sebagai proses feodalisasi. Ada status quo dibalik kesalahan berfikir.
Dari sisi pembangunan kebudayaan, prinsip tersebut merupakan gambaran anti kemajuan dan kemandekan dimana kreativitas, inovasi dan temuan-temaun junior dikebiri oleh praktek feodal Senior, lebih keji prinsip tersebut bersifat diskriminatif, unequal, dan meletakan dasar persaingan yang tidak sehat. Melihat penerapan prinsip tersebut pada mahasiswa di kampus dan implikasinya terhadap permajuan budaya kritis-akademis sebagai budaya siswa yang bergelar maha (baca, mahasiswa), menjadikan fikiran Kang Jalal kontekstual diberlakukan terhadap kondisi kemahasiswaan di UNIBA, bahwa perubahan social yang kita cita-citakan “terwujudnya keadilan social di Kampus UNIBA” adalah mustahil ketika dibangun dengan etika kebudayaan yang melemahkan generasi untuk menjadi jauh lebih baik. Secara tidak langsung Senior dan Junior dalam cuplikan diataslah yang menyebabkan pembumian nilai-nilai ideologis kepada perlawanan di kampus UNIBA mandek.
Bersebrangan dengan prinsip “sesat” yang menjadi pembahasan tulisan ini saya teringat ungkapan brilian Nietzche seorang eksistensialis, “anda tidak becus menjadi murid jika tetap menjadi murid” aku menyimpulkan bahwa seorang murid yang becus ketika mampu melampui guru-gurunya, dan guru yang becus adalah mereka yang menciptakan generasi jauh melampaui dirinya, atau mungkin jika mau sedikit berkompromi pandangan senioritas harus di destruksi kepada nilai yang lebih filosofis, dimana titik pijaknya adalah kualitatif (rasionalitas, ide) bukan kuantitatif (angkatan tua dan angkatan muda), dengan demikian kita menciptakan satu system pembangunan kebudayaan yang egaliter dimana semua orang adalah subjek, semua orang berlomba untuk menjadi yang terbaik tanpa intimidasi dengan berbagai bentuk, yang mungkin dengan seperti itu dinamika mahasiswa di UNIBA bukan untuk mencptakan keder melainkan kader.
Sungai Terik, 23 Februari 2010
Terus Menulis
Pena
Hari Dermanto
Komentar
Posting Komentar