Potret Penegakan Hukum Lingkungan di Kaltim
Meskipun rezim undang-undang Nomor 23 tahun 1997 pengelolaan lingkungan hidup (UU PLH) telah diganti dengan rezim undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UU PPLH), sebagai upaya untuk menjawab dan mempertegas posisi pemerintah jika berhadapan dengan pilihan kepentingan penegakan hukum dan kepentingan investasi, dalam kenyataannya perubahan rezim undang-undang lingkungan hidup, tidak sertamerta merubah watak pelaksana pemerintahan, penegakan hukum lingkungan masih berada di belakang kepentingan modal (investasi). Pada akhirnya perubahan rezim UU lingkungan, dipertanyakan apakah benar dapat mengkoreksi persoalan yang ditimbulkan dari rezim hukum sebelumnya?
Dalam rezim hukum UU PLH, terdapat pasal-pasal yang berbau perlindungan terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, perlindungan terhadap pelaku kejahatan lingkungan tersebut melalui asas subsidiaritas, yang menyebutkan bahwa ketentuan hukum pidana didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat (penjelasan alinea 11). Dengan pendekatan argumentum a contrario maka terhadap tindakan perorangan, badan hukum yang menyebabkan kerusakan lingkungan tidak dipidana ketika sanksi administrasi dan perdata telah dilaksanakan, pendekatan asas subsidiaritas untuk menghindari pemidanaan pernah terjadi di Balikpapan dalam kasus pencemaran lantung yang dilakukan oleh kapal Panos G tahun 2004 (Muhammad Muhdar: Tribun kaltim, 13 juni 2009).
Keberadaan asas ini menyebabkan pasal-pasal pidana yang semuanya adalah kejahatan dalam UU PLH seakan seperti macan kertas, garang tetapi tidak dapat diberlakukan. Sehingga siapapun yang melakukan perbuatan pencemaranan dan pengrusakan lingkungan, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, menyebabkan luka berat bahakan kematian, sangat mungkin terhindar dari jerat pidana dengan dalih telah melakukan pelaksanaan sanksi administrasi dan perdata. Asas subsidiaritas yang terdapat dalam UU PLH merupakan asas hukum yang “dititipan” untuk melindungi rezim modal/investasi, tidak salah ketika ada ungkapan satir bahwa UU PLH dibentuk untuk melindungi kekuatan modal dari pemidanaan atas kejahatan lingkungan yang dilakukan.
UU PLH yang selama ini menjadi alat berlindung bagi pengusaha selama kurang lebih 12 (dua belas) tahun akhirnya di tumbangkan dengan disahkanya UU PPLH. Dengan pendekatan bahwa hukum sebagai sarana untuk mengkontrol dan merubah tatanan masyarakat, pelaku usaha dalam pemerinhta dalam memanfaatkan sumber daya alam, maka asas-asas yang dapat menyebabkan posisi penegakan hukum lingkungan tidak memiliki posisi tawar dalam berhadapan dengan kekuatan modal dieliminasi. Asas subsidiaritas diganti dengan asas premium remidium yang tidak membebaskan pelaku kejahatan lingkungan dari sanksi pidana meski telah dikenakan sanksi admnisitrasi, sebagaimana tertuang dalam pasal 78 UU PPLH, sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. keberadaan asas yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut menutup ruang “dilindunginya” pelaku kejahatan lingkungan dari sanksi Pidana.
UU PPLH dalam prakteknya di kaltim
Bagaimanapun idealnya substansi UU PPLH menggantikan rezim UU PLH, dalam pelaksanaannya tetap terjadi kompromi dalam penegakan hukum, tercatat beberapa kasus kejahatan lingkungan yang terjadi pada rezim UU PPLH (diatas 2009) tetapi penanganannya masih dengan pendekatan UU PLH. Sebagaimana pelanggaran yang dilakukan pengembang Citra Bukit Indah (CBI) di Balikpapan yang melakukan kegiatan pembukaan blahan perumahan sementara belum memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) (tribun, 28 juli 2010), begitu juga dengan pembangunan perumahan halal Square di Bontang berjalan meskin tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak memiliki dokumen unit kelola lingkungan dan unit pemantauan lingkungan (UKL-UPL) (tribun 5 dan 6 mei, 2011), dan pembangunan coastal road di kawasan penajam paser utara yang di laksanakan meski belum memiliki Amdal.
Pendekatan pemerintah terhadap kasus tersebut masih menggunakan pendekatan UU PLH, dengan menghentikan kegiatan usaha (sementara) sembari memberikan kesempaatan kepada pengembang untuk melengkapi perizinan yang belum dimiliki kemudian tanpa sanksi apapun mempersilahkan pelaku usaha untuk melanjutkan aktivitas setelah syarat-syarat perijinan di lengkapi. Paradigma tersebut merupakan paradigma rezim UU PLH yang telah diganti, dalam rezim hukum lingkungan yang berlaku saat ini, UU PPLH, menyebutkan bahwa kegiatan usaha bisa dilakukan setelah badan hukum memperoleh izin usaha/kegiatan (pasal 40 ayat (1) UU PPLH), izin usaha kegiatan dapat diperoleh setelah memiliki izin lingkungan (pasal 36 ayat (1) UU PPLH), dan izin lingkungan sebagaimana pasal 36 ayat (1) UU PPLH dapat diperoleh setelah pelaku usaha memiliki dokumen amdal (pasal 22 ayat (1) dan (2) UU PPLH) dan dokumen UKL-UPL (pasal 34 UU PPLH) yang legal. faktanya, tanpa kelengkapan tersebut kegaitan usaha terus berjalan tanpa konsekuensi hukum.
Pendekatan pemerintah dalam mengatasi pengembang atau pelaku usaha “nakal” tersebut sangat bertentangan dengan amanah dalam UU PPLH. Pemerintah secara admnisitratif diamanahkan untuk memberikan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat (2) UU PPLH berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan; atau pencabutan izin lingkungan. Pemerintah juga di amanahkan untuk melakukan upaya hukum perdata sebagaimana diatur dalam pasal 90 UU PPLH, mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
yang tidak kalah penting dalam UU PPLH AMDAL, UKL-UPL, dan Izin Lingkungan, tidak hanya syarat administratif dalam melakukan satu kegiatan usaha, pelanggaran terhadap pasal-pasal yang berhubungan dengan hal tersebut merupakan unsur Pidana dalam hal ini adalah kejahatan, (lihat pasal 36 ayat (1) jo Pasal 109, pasal 40 ayat (1) jo Pasal 111 ayat (2)), tidak hanya mengancam pidana pelaku usaha, UU PPLH juga mengancam pidana (kejahatan) kepada Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (pasal 112 UU PPLH).
Sungguh sangat disayangkan, meski rezim UU PPLH memiliki alat pengikat norma yang baik, dalam pelaksanaannya penegakan hukum lingkungan masih bisa dikompromikan, kejahatan lingkungan masih terabaikan, tanpa sanksi administratif dan perdata. Banyak yang menaruh harapan besar bahwa lahirnya UU PPLH dapat mengikis pengaruh modal dalam kebijakan pengelolaan lingkungan, fakta yang ada perubahan UU ternyata tidak mempengaruhi perubahan perilaku pemerintah dalam penanganan persoalan lingkungan. ataukah kita harus membenarkan sebuah adagium sebaik apapun hukum yang ada jika berada ditangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab hanya menjadi macan ompong.
HD
Dalam rezim hukum UU PLH, terdapat pasal-pasal yang berbau perlindungan terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, perlindungan terhadap pelaku kejahatan lingkungan tersebut melalui asas subsidiaritas, yang menyebutkan bahwa ketentuan hukum pidana didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat (penjelasan alinea 11). Dengan pendekatan argumentum a contrario maka terhadap tindakan perorangan, badan hukum yang menyebabkan kerusakan lingkungan tidak dipidana ketika sanksi administrasi dan perdata telah dilaksanakan, pendekatan asas subsidiaritas untuk menghindari pemidanaan pernah terjadi di Balikpapan dalam kasus pencemaran lantung yang dilakukan oleh kapal Panos G tahun 2004 (Muhammad Muhdar: Tribun kaltim, 13 juni 2009).
Keberadaan asas ini menyebabkan pasal-pasal pidana yang semuanya adalah kejahatan dalam UU PLH seakan seperti macan kertas, garang tetapi tidak dapat diberlakukan. Sehingga siapapun yang melakukan perbuatan pencemaranan dan pengrusakan lingkungan, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, menyebabkan luka berat bahakan kematian, sangat mungkin terhindar dari jerat pidana dengan dalih telah melakukan pelaksanaan sanksi administrasi dan perdata. Asas subsidiaritas yang terdapat dalam UU PLH merupakan asas hukum yang “dititipan” untuk melindungi rezim modal/investasi, tidak salah ketika ada ungkapan satir bahwa UU PLH dibentuk untuk melindungi kekuatan modal dari pemidanaan atas kejahatan lingkungan yang dilakukan.
UU PLH yang selama ini menjadi alat berlindung bagi pengusaha selama kurang lebih 12 (dua belas) tahun akhirnya di tumbangkan dengan disahkanya UU PPLH. Dengan pendekatan bahwa hukum sebagai sarana untuk mengkontrol dan merubah tatanan masyarakat, pelaku usaha dalam pemerinhta dalam memanfaatkan sumber daya alam, maka asas-asas yang dapat menyebabkan posisi penegakan hukum lingkungan tidak memiliki posisi tawar dalam berhadapan dengan kekuatan modal dieliminasi. Asas subsidiaritas diganti dengan asas premium remidium yang tidak membebaskan pelaku kejahatan lingkungan dari sanksi pidana meski telah dikenakan sanksi admnisitrasi, sebagaimana tertuang dalam pasal 78 UU PPLH, sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. keberadaan asas yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut menutup ruang “dilindunginya” pelaku kejahatan lingkungan dari sanksi Pidana.
UU PPLH dalam prakteknya di kaltim
Bagaimanapun idealnya substansi UU PPLH menggantikan rezim UU PLH, dalam pelaksanaannya tetap terjadi kompromi dalam penegakan hukum, tercatat beberapa kasus kejahatan lingkungan yang terjadi pada rezim UU PPLH (diatas 2009) tetapi penanganannya masih dengan pendekatan UU PLH. Sebagaimana pelanggaran yang dilakukan pengembang Citra Bukit Indah (CBI) di Balikpapan yang melakukan kegiatan pembukaan blahan perumahan sementara belum memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) (tribun, 28 juli 2010), begitu juga dengan pembangunan perumahan halal Square di Bontang berjalan meskin tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), tidak memiliki dokumen unit kelola lingkungan dan unit pemantauan lingkungan (UKL-UPL) (tribun 5 dan 6 mei, 2011), dan pembangunan coastal road di kawasan penajam paser utara yang di laksanakan meski belum memiliki Amdal.
Pendekatan pemerintah terhadap kasus tersebut masih menggunakan pendekatan UU PLH, dengan menghentikan kegiatan usaha (sementara) sembari memberikan kesempaatan kepada pengembang untuk melengkapi perizinan yang belum dimiliki kemudian tanpa sanksi apapun mempersilahkan pelaku usaha untuk melanjutkan aktivitas setelah syarat-syarat perijinan di lengkapi. Paradigma tersebut merupakan paradigma rezim UU PLH yang telah diganti, dalam rezim hukum lingkungan yang berlaku saat ini, UU PPLH, menyebutkan bahwa kegiatan usaha bisa dilakukan setelah badan hukum memperoleh izin usaha/kegiatan (pasal 40 ayat (1) UU PPLH), izin usaha kegiatan dapat diperoleh setelah memiliki izin lingkungan (pasal 36 ayat (1) UU PPLH), dan izin lingkungan sebagaimana pasal 36 ayat (1) UU PPLH dapat diperoleh setelah pelaku usaha memiliki dokumen amdal (pasal 22 ayat (1) dan (2) UU PPLH) dan dokumen UKL-UPL (pasal 34 UU PPLH) yang legal. faktanya, tanpa kelengkapan tersebut kegaitan usaha terus berjalan tanpa konsekuensi hukum.
Pendekatan pemerintah dalam mengatasi pengembang atau pelaku usaha “nakal” tersebut sangat bertentangan dengan amanah dalam UU PPLH. Pemerintah secara admnisitratif diamanahkan untuk memberikan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat (2) UU PPLH berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan; atau pencabutan izin lingkungan. Pemerintah juga di amanahkan untuk melakukan upaya hukum perdata sebagaimana diatur dalam pasal 90 UU PPLH, mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
yang tidak kalah penting dalam UU PPLH AMDAL, UKL-UPL, dan Izin Lingkungan, tidak hanya syarat administratif dalam melakukan satu kegiatan usaha, pelanggaran terhadap pasal-pasal yang berhubungan dengan hal tersebut merupakan unsur Pidana dalam hal ini adalah kejahatan, (lihat pasal 36 ayat (1) jo Pasal 109, pasal 40 ayat (1) jo Pasal 111 ayat (2)), tidak hanya mengancam pidana pelaku usaha, UU PPLH juga mengancam pidana (kejahatan) kepada Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (pasal 112 UU PPLH).
Sungguh sangat disayangkan, meski rezim UU PPLH memiliki alat pengikat norma yang baik, dalam pelaksanaannya penegakan hukum lingkungan masih bisa dikompromikan, kejahatan lingkungan masih terabaikan, tanpa sanksi administratif dan perdata. Banyak yang menaruh harapan besar bahwa lahirnya UU PPLH dapat mengikis pengaruh modal dalam kebijakan pengelolaan lingkungan, fakta yang ada perubahan UU ternyata tidak mempengaruhi perubahan perilaku pemerintah dalam penanganan persoalan lingkungan. ataukah kita harus membenarkan sebuah adagium sebaik apapun hukum yang ada jika berada ditangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab hanya menjadi macan ompong.
HD
Komentar
Posting Komentar