Pengalaman Mudik : Bosku Supirku

Syukur tak terhingga kepada Allah SWT penolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan itu yang saya panjatkan atas nikmat yang diberikannya melalui perantaraan kekasihnya.

22 agustus 2011 kontrak saya sebagai tenaga hukum di Bank Dhanarta berakhir yang bertepatan dengan akan berakhirnya bulan Ramadhan, bertepatan dengan cuti bersama (libur hari raya iedul fitri), dan bertepatan dengan budaya nasional Indonesia ketika puasa berada di 10 hari terakhir yakni mudik. Dengan demikian saya harus menyiapkan diri untuk meninggalkan kota Bontang yang saya huni selama kurang lebih 6 (enam) bulan menuju kampung halaman yang kebetulan berdekatan dengan kampong halaman Direktur Utama Bank Dhanarta, Wasis, mantan bos saya selama 6 (enam) bulan.

Beberapa waktu sebelum memasuki bulan Ramadhan Pa Wasis pernah menawarkan ajakan mudik bareng, ketika tanggal 23 agustus saya bertemu denganya untuk mengutarakan pamit karena masa kerja saya yang telah berakhir, ajakan mudik bareng dia disampaikan lagi “Gimana har, ke Paser barengkah?” katanya disela obrolan, saya terdiam sejenak ketika tawaran tersebut disampaikan lagi, seperti tidak percaya bahwa tawaran yang pernah disampaikan sebelum ramadhan bukan basa-basi, “kalo memang mau kita berangkat minggu subuh, jalan santai aja karena ada anak-anak” lanjutnya, “mobilnya muat ajakah pa?” Tanyaku, “tenang aja, kalo cuma bertujuh insyaAllah cukup, nanti kita atur untuk anak-anak duduk di kursi bagian belakang, ibu-ibunya di tengah, kita didepan, insyaAllah cukup” katanya meyakinkanku dengan senyum khasnya diikuti usapankedua telapak tangan ke wajah, “jika memang bapa berkenan dan tidak merepotkan saya ikut” kataku, “nanti gimana mau saya jemput di messkah?” katanya lagi, “mungkin sebakinya saya yang ketempat bapa, sekalian mengembalikan motor kantor”saranaku (kebetulan rumah pa Wasis dengan kantor tidak terlalu jauh bahkan bisa dikatakan sangat dekat).

Karena rencana kepergian hari minggu subuh maka saya dan istri merencanakan mengajak anak kami Raisah Zahra untuk memanfaatkan hari sabtu (hari terakhir kami) untuk memancing di kawasan Danau Permai, tempat bersantai yang terletak di kawasan perumahan karyawan Pupuk Kaltim. Kurang lebih Sekitar pukul 12.30 Pa Wasis menelepon dangan mengabarkan kepada saya tentang rencana perubahan jadwal mudik yang recananaya minggu subuh menjadi sabtu sore pukul 16.00, dengan segera kami akhiri kegiatan mincing, pulang dan mempersiapkan diri untuk mudik.

Sekitar pukul 15.30 saya sudah menghampiri rumah Pa Wasis setelah sebelumnya mengembalikan motor inventaris kantor. Setelah mengatur bawaan yang cukup banyak akhirnya persis pada pukul 16.00 kami berangkat. Fahri dan Adi anak Pa Wasis duduk di kursi bagian belakang berjubel dengan barang yang memakan 1/3 kawasan kursi, istri-istri kami dan anak saya (Zahra) berada di kursi bagian tengah, Pa Wasis berada di belakang kemudian dan saya persis disampingnya. Ada perasaan canggung, sungkan dan tidak enak hati, itu yang saya rasakan dalam perjalan mudik bersamanya, perasaan itu bersemayam karena dalam struktur kerja di bank Dhanarta dia adalah orang nomor satu, yang biasanya mendapatkan posisi sebagai orang yang dilayani, tetapi dalam perjalanan ini dia tak ubahnya seperti supir bagi kami (keluarga kecil saya). Pa Wasis harus mengendarai mobil selama kurang lebih 6 jam perjalanan Bontang-Balikpapan dan 3 jam perjalanan Penajam – Kuaro.

Dalam perjalanan saya berusaha menjadi teman ngobrol pa Wasis dalam obrolan perjalanan sayapun mengutarakan ketidak enakan saya tersebut, tetapi dengan senyum khasnya, bahasa sederhanaya dia menafikan perasaan tidak enak hati saya “hem saya merasa gak enak pa, andai saja saya bisa bawa mobil kita bisa bergantian pa” kataku “santai aja mas hari, 2 tahun lalu juga saya seperti ini bawa mobil sampai paser” katanya dengan gaya khasnya, santun dan ramah.

Menjelang berbuka sekitar pukul 18.05 mobil yang dikendarai Pa Wasis dengan kami sebagai penumpangnya telah berada di kawasan Samarinda tetapi belum memasuki kota, dengan sigap Pa Wasis memarkir mobil di rumah makan Warung Sumedang yang dipilih sebagai tempat berbuka puasa, beristirahat dan sholat. Tidak lama menunggu waktu berbuka pun tiba, selesai berbuka dengan bubur kacang hijau hidangan yang diberikan kepada semua pengunjung Warung Sumedang, kami menunaikan sholat magrib, dilanjutkan menyantap hidangan makan malam yang telah kami pesan. Ketika istri saya bermaksud membayar ternyata istri Pa Wasis telah membayarkan pesanan kami, huh betapa tidak enaknya hati ini, hanya ucapan terima kasih yang saya sampaikan sebagai kata-kata ajaib terhadap perlakuan baiknya “gak apa-apa mas hari” jawabnya dengan senyum.

Persis pukul 19.00 kami melanjutkan perjalanan, mobil merayap perlahan memasuki kota samarinda, sekitar pukul 19.50 kami telah sampai di tepian Samarinda, dengan sigap Pa Wasis menggiring mobil menuju Islamic Center “kita sholat Isya dan tarawih dulu ya, biar tenang perjalanan, kalo gak dilaksanakan gak enak di jalan” katanya tanpa menunggu persetujuan kami, meskipun dia minta perrsetujuan sekalipun mustahil ada satu diantara kami menolak, pertama ajakannya baik karena bukan hanya melaksanakan kewajiban kamipun bisa beristiraha, kedua posisi dia adalah pimpinan baik dalam rumah tangganya dan juga dalam hubungan antara dia dan saya. Dalam beberapa kali kesempatan jalan denganya sholat tidak pernah ditinggalkannya, bahkan kerap kali dia mengingatkan untuk sholat. Dalam kegiatan rapat di kantorpun kerap kali dia meninggalkan rapat untuk melaksanakan sholat.

Pukul 20.45 setelah melaksanakan sholat Isya dan tarawih dan beristirahat sejenak perjalanan kami lanjutkan menuju pelabuhan Ferry di Balikpapan. Sekitar pukul 10.55 mobil yang dikendarainya telah memasuki kawasan pelabuhan penyebarangan yang terletak di Kariangau, Balikpapan. Sekitar 3 jam kami menunggu antrian untuk bisa memasuk kapal Fery yang akan menyebrangkan kendaraan kami ke Penajam, maklum saja saat itu 3 hari sebelum Iedul Fitri (3-H) versi pemerintah, banyak pelaku mudik yang memiliki niat sama dengan kami menghabiskan lebaran bersama keluarga di kampong halaman, al hasil suasana pelabuhan penyebrangan kariangau dipadati ratusan kendaraan bermotor.

Seperti sebelumnya dia tidak mengijinkan kami untuk membayar biaya penyebrangan Ferry. Pukul 02.15 akhirnya mobil kami mendapat giiran untuk disebrangkan Ferry, perjalanan yang seharusnya ditempuh hanya dalam waktu 1 jam untuk sampai ke Penajam, kali ini harus ditempuh lebih dari 2 jam, maklum karena kendaraan Balikpapan menuju Penajam lebih banyak di bandingkan sebaliknya, sehingga meski Ferry yang kami tumpangi sudah sangat dekat dengan pelabuhan belum bisa bongkar muatan, karena harus menunggu Ferry penajam yang akan ke Balikpapan penuh terlebih dahulu, juga harus menunggu kapal Ferry yang lebih dahulu berangkat memuntahkan muatannya dan memasukan muatan baru. Alhasil kami sahur di Ferry dengan menu seadannya roti dan kopi, sekitar pukul 04.20 barulah Ferry berhasil merapat dan memuntahkan kami di daratan Penajam, sudah terlambat untuk sahur.

Mobil dengan cepat dilesatkan Pa Wasis kearah selatan menelusuri jalan Negara, transklimantan timur – Kalimantan selatan. Sekitar pukul 04.55 Azhan Subuh berkumandang di kawasan Penajam, kami pun beristirahat untuk menunaikan sholat subuh, kemudian melanjutkan perjalanan. Rasa kantuk begitu kuat menghinggapiku, dengan kekuatan penuh dan memaksa diri ku tegakan badanku, kuajak pa wasis untuk mengobrol, tetang persoalan ketenagakerjaan, tentang bank syariah sampai dengan menggali pengalamannya semasa tinggal di Paser seperti, perlahan rasa kantuk ini sirna. Meskipun Pa Wasis sempat menawarkan kepadaku untuk tidur ketika di perjalanan itu tidak kulakukan, pertama hampir semua penumpang dalam mobil di barisan bangku kedua dan belakang sudah terlelap jika saya ikut terlelap Pa Wasis hari itu memang menjadi supir bagi saya, karena hal itu membuat saya tidak nyaman maka saya menguatkan diri untuk menjadi teman ngobrolnya sepanjang perjalanan hingga titik perhentian kami, kedua saya menyadari bahwa Pa Wasis juga mengalami kelelahan bisa jadi ketika saya ikut tidur akan mempengaruhi kewaspadaannya yang dapat menyebabkan kejadian fatal, banyak kejadian “supir tertidur karena kelelahan dan karena menghadapi kesunyian” sehingga tanpa sadar melakukan tidur mikro.

Pukul 08.13, kami memasuki kawasan kecamatan Longkali Kabupaten Paser, saya memperhatikan dia mengalami kelelahan dan gangguan konsentrasi, tidak beberapa saat sebelum melewati jembatan kecamatan longkali Pa Wasis pun berhenti, “maaf dulu ya, kita istitrahat sebentar” katanya diikuti dengan merebahkan sandaran kursinya, diikuti permintaan kepada istrinya untuk memijat punggunya dan diapun tertidur. Sekitar 15 menit dia tertidur kemudian bangun seperti orang terkejut, 18.35 kami melajutkan perjalanan. Wajahnya kembali segar, dan kamipun terlibat dalam obrolan.

Pukul 09.47mobil memasuki kawasan kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser, tempat dimana kami akan berpisah dengan pa Wasis dan keluarganya. 09.55 mobil memasuki kawasan terminal kuara, kamipun turun (saya, Istri dan anak). Ketika hendak keluar dari mobil, belum sempat saya mengucapkan terima kasih kepada beliau dan keluarga, dia sudah menyampaikan terima kasih kepada kami “Har Terima Kasih ya sudah nemani kami sampai sini” katanya dengan senyum tulus, saya dibuat kehilangan kata-kata dengan ucapan itu. kami yang menerima bantuan diajakan mudik dengan mobil mewah tanpa mengeluarkan biaya perjalanan, kami yang merepotkan karena harus membuat anak-anaknya mengalah duduk di kursi belakang sempit dengan barang-barang, eh malah dia yang mengucapkan terima kasih kepada kami.

“kami yang harus berterima kasih kepada bapa sekeluarga karena telah member tumpangan” kataku mencoba untuk mengimbangi persoalan psikologis, malu yang mulai merayapi perasaanku. Ketika kami hendak beranjak dengan sigap istrinya mendekati anakku dan menyelipkan segepok uang di genggamanya, perasaanku semakin haru. Aku hanya bisa tersenyum dan mendoakannya, semoga dia dipanjangkan umurnya yang dengannya dia dapat menebarkan kebaikan kepada siapapun, sebagai direktur utama dia disayangi oleh anak buahnya karena dia melindungi orang-orang yang bekerja kepadanya, sebagai suami dia menjadi idola bagi istrinya karena kasih sayangnya, sebagai ayah dia dicintai anak-anaknya karena keteladannya, dan sebagai masyarakat dia dicintai karena tidak pernah meminta melainkan selalu memberi.

Thanks Pa Wasis,

Komentar

Postingan Populer