Pendidikan Politik Untuk Siapa ?
Rendahnya
partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum (Pemilu) seringkali dihubungkan dengan
tidak optimalnya pendidikan politik yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) atau Pantia Pengawas Pemilu sebagai penyelenggara Pemilu.
Seolah-olah sukses tidaknya pendidikan politik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu bersandar pada tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat untuk bergerak ke bilik suara, jika partisipasi masyarakat ke bilik suara tinggi maka kesimpulannya pendidikan politik yang dilakukan penyelenggara pemilu berhasil, pun sebaliknya.
Seolah-olah sukses tidaknya pendidikan politik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu bersandar pada tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat untuk bergerak ke bilik suara, jika partisipasi masyarakat ke bilik suara tinggi maka kesimpulannya pendidikan politik yang dilakukan penyelenggara pemilu berhasil, pun sebaliknya.
Pendidikan
politik seolah-olah hanya ditujukan kepada masyarakat dalam kedudukan sebagai
subyek bilik suara, bagaimana dengan masyarakat yang menjadi peserta Pemilu, dalam
kedudukanya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR, DPD dan DPRD), sebagai tim
pemenangan, terhadap mereka justru pendidikan politik seharusnya diberikan,
karena melihat kenyataan begitu sedikit peserta pemilu dan tim pemenangan
peserta pemilu yang memiliki ketaatan untuk tunduk pada peraturan
perundang-undangan tentang pemilihan umum.
Sebagaimana
diketahui bahwa mereka yang menjadi calon anggota legislatif umumnya adalah
mereka telah menjabat sebagai anggota legislative pada pemilihan sebelumnya dan
pendatang baru, dengan taraf pendidikan yang baik setikdak-tidaknya sekolah
menengah atas, dan memiliki kesehatan jasmani dan rohani sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 (Vide Pasal 12 dan 51). Syarat formil
tentang pendidikan, kesehatan jasmani dan rohani dimasukan sebagai kriteria
untuk menjadi seorang legislative tentunya dimaksudkan bahwa seorang calon
legislative dapat memahami konsekuensi-konsekuensi menjadi seorang calon
legislative, yakni memahami dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan dirinya sebagai seorang calon legislative.
Faktanya
yang kita saksikan sebaliknya, kerap kita temukan praktek pelanggaran peraturan
perundang-undangan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD serta turunannya terjadi
didepan mata kita. Sebagai contoh, pada pasal 82 UU No 8 tahun 2012, disebutkan
bahwa kampanye pemilu dilakukan dalam bentuk: a. pertemuan terbatas; b.
pertemuan tatap muka; c. penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum; d.
pemasangan alat peraga di tempat umum; e. iklan media massa cetak dan media
massa elektronik; f. rapat umum; dan g. kegiatan lain yang tidak melanggar
larangan Kampanye Pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bentuk
kampanye sebagaimana pasal 82 huruf a sampai dengan huruf d, dalam pasal 83
ayat (1) UU No 8 Tahun 2012 dapat dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah
calon Peserta Pemilu ditetapkan sebagai Peserta Pemilu sampai dengan dimulainya
Masa Tenang, dengan merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PerKPU) Nomor
1 Tahun 2013 dan PerKPU Nomor 15 Tahun 2013. Ssedangkan kegiatan kampanye
sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 huruf e dan f dilaksanakan selama 21 (dua
puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya Masa Tenang.
Pada
kenyataanya, ketentuan peraturan perundang-undangan ini tidak dipatuhi oleh
calon legislative kita. Kerap kita temukan kampanye dalam bentuk pertemuan
terbatas dan tatap muka yang tidak memenuhi ketentuan pasal 14 dan 15 PerKPU No
1 Tahun 2013 yakni tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis yang
memuat hari, tanggal, waktu, tempat,nama pembicara, dan penanggung jawab serta
jumlah yang diundang kepada aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia
setempat, dengan tembusan disampaikan kepada KPU dan Bawaslu sesuai
tingkatannya.
Begitu juga dengan kampanye dalam
bentuk pemasangan alat peraga ditempat umum, UU No 8 tahun 2012 dan PerKPU
Nomor 15 tahun 2013 sangat jelas mengurai syarat-syarat pemasaangan alat peraga
bagi partai politik dan calon legislative, yakni tidak diperkenankan pada fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,
pelanggaran ini kerap kita temukan disekitar kita, bgitu juga dengan jumlah
alat peraga kampanye yang diperkenankan dipasang ditempat umum dalam Pasal 17
Per KPU 15 tahun 2013 telah sangat jelas disebutkan bahwa :
- Baliho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya memuat informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD
- Calon Anggota DPD dapat memasang baliho atau papan reklame (billboard) 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya
- Spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 m hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah
Pada kenyataanya kententuan-ketentuan yang
diatur dalam peraturan perudangan-undangan tentang Pemilihan Umum Calon Anggota
DPR, DPD dan DPRD kerap dilanggar, terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan
tersebut dapat dikategorisasi sebagai pelanggaran Pidana dan Administratif
Pemilihan Umum. Sebagai calon anggota legislative dengan standar pendidikan,
kesehatan jasmani dan rohani yang baik, yang mengusung visi dan misi demokrasi yang
baik sungguh tidak elok ketika praktek dalam memajukan dirinya dicedrai dengan
berbagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pemilu.
Dengan demikian pendidikan
politik, seharusnya tidak lagi dititik beratkan pada masyarakat dalam
kedudukannya sebagai pemilih, sebaliknya calon anggota DPR, DPD dan DPRD
sebagai orang-orang yang berpendidikan, sehat jasmani dan rohanilah yang harus
mendapat pendidikan politik bagaimana seharusnya berperilaku politik dalam
kedudukannya sebagai Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD yang terdidik, sehat
jasmani dan rohani.
Komentar
Posting Komentar