Satu Peristiwa di 31 / 12 / 2001

Tribute to Mom Rari

Aku bangun pagi seperti biasa, meski setiap malam aku habiskan untuk menonton aku tidak pernah telat ke sekolah, karena di pagibuta mamaku yang pedagang itu sudah bangkit dan pada jam 6 (enam) tanpa kompromi sudah meneriaki kami untuk bangkit dari peraduan.

Ada yang berbeda pagi itu, meski badanku tidak sakit, tidak lemas, tapi ada perasaan tidak ingin sekolah. Karena sejak kecil sudah menjadi doktrin mamaku bahwa sekolah itu wajib mau tidak mau, suka tidak suka hari itu aku tetap harus ke sekolah, karena jika bolos akibatnya FATAL bagi kehidupanku mamaku yang pedagang itu akan murka, bayangkan saja sejak SD hingga SMA, bukan rangking kelas yang pertama kali dilihat mamaku setiap pembagian raport, melainkan berapa kali aku tidak masuk tanpa keterangan dan berapa kali sakit, kalo di raport terdapat tanda yang menyatakan kami pernah tidak masuk kelas dengan alasan sakit dan atau tanpa keterangan maka hal gawat akan terjadi padaku karena mamaku yang pedagang itu akan mengamuk, dia akan mencecar kami dengan pertanyaan interogatif. Teringat ketika duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, atau pada saat duduk di kelas 1, 2 sekolah menengah pertama (SMP) betapa beliau yang pedagang tidak mau tahu dengan rangking yang saya peroleh, tetapi saya diintrogasi secara mendalam, dikupas dengan tajam setajam silet terkait keterangan tidak masuk sekolah, jika tidak bisa menjelaskan dengan bukti otentik maka alamat dia marah, hatta (meskipun) rangkingku lumayan.


Hipotesis saya, beliau sepertinya merasa rugi mengeluarkan uang untuk bayar sekolah sementara kami tidak masuk, bahkan pernah satu ketika aku sakit dengan penalaran sederhana beliau sampaikan “ah tidak apa itu, palingan nanti di jalan sembuh” katanya tanpa mau tahu dengan keadaanku, maklumlah mamaku yang pedagang itu selalu berfikiran bahwa setiap apa yang dikeluarkan untuk sekolah harus dimanfaatkan semua, so tidak masuk tanpa keterangan atau dengan keterangan yang tidak diketahuinya alamat kami didamprat.

Berbekal pengalaman itu, saya gak punya alasan untuk tidak sekolah hari itu, mau ijin sakit dia akan menerawang saya dulu, kalo bolos diakhir semester saya akan didakwa, jadi aku putuskan tetap berangkat.

Hari itu sama dengan hari-hari yang lain semasa saya sekolah, saya berangkat tanpa uang saku, sejak duduk dibangku sekolah dasar sampai dengan sekolah menegah atas (SMA) beliau tidak membiasakan kami (saya dan kakak saya) dengan uang saku, dia membiasakan kami dengan serapan, atau membawa bekal dari rumah.

Dengan gelisah aku pergi kesekolah, semakin dekat dengan sekolah kegelisahanku semakin meningkat, semakin dekat bukan hanya gelisah badanku juga menjadi basah bukan karena jalan kaki kesekolah yang berjarak 1,5 kilometer dari rumah, tapi karena apa yang harus saya hadapi setibanya di sekolah, ketakutan itu membuat reproduksi keringatku menjadi tidak seperti biasanya.

Sesampainya di kelas dimana saya menjadi ketuanya, saya tatap mata teman-teman saya yang ada di kelas satu persatu, wajah mereka datar “Alhamdulillah mereka tidak tahu” batinku, ketika aku hendak mendudukan pantatku ditempat biasa, belum sampai pantatku mendarat dengan sempurna salah seorang rakyat betina yang kupimpin, Agustina (AX), yang duduk persis dibelakangku berbisik lirih “hari ini kamu ulang tahunkan, selamat ya” katanya, dengan tatapan jahil seperti orang kelaparan, padahal masih pagi, “gila ini orang meneror dipagi buta, gak sarapankah dia pagi tadi” lagi aku membatin, aku hampir pingsan melihat tatapannya, liar, menerkam dan kelaparan.

Yang membuat suasana batinku semakin mengerikan, teman sebangkunya, Sarinah (Ina), ikut menguping, seketika wajahnya yang segar, yang aku yakin sudah sarapan, berubah menjadi wajah kelaparan seperti AX, tatapnya berubah, menjadi bahagia, berharap uang saku untuk makan siang saat istirahat hari itu dipastikan akan tertabung, karena aku akan mentraktir mereka makan. Belum sempat aku membatah, menyampaikan dalil-dalil pembelaan diri dihadapan mereka, AX dengan gagah berani mengumumkan kepada rakyat III IPA “WoiHarder hari ini ulang tahun” teriaknya, alhasil saat itu aku merasa bagai orang termiskin di dunia, sedang berulang tahun tanpa uang saku, bagaimana aku harus menghadapi suasana ini, mamaku yang melahirkankupun pagi itu amnesia, seolahdia tidak tahu menahu, tidak merasa bertanggungjawab terhadap beban mental yang akan saya hadapi di kelas, atau itu caranya melatihku, “dasar pedagang” lagiaku membatin.

Sontak semua teman yang adadikelas menghentikan aktivitas gossip murahan soal Film Seri "Meteor Garden" asal korea, dengan cekatan mereka eko, ipung, yuliani, pohadi, yuwandoko, beni, iied, randi, yeni, sri, teguh, iqbal dengan wajah sumringah mendatangiku sembari mengucapkan selamat ini membuatku bahagia sekaligus getir karena setelah ucapan selamat mereka menyampaikan kata-kata yang tidak ingin saya dengar hari itu, “traktiranya kapan?” jleb, sakitnya tuh “disini”, aku membayangkan wajahku saat itu memerah, semua darah yang seharusnya terdistribusi keseluruh tubuh terkonsentrasi kekepala. Aku coba tegar, dengan memasang senyum terbaikku, inilah deritaku sebagai seorang ketua kelas yang berasal dari kelas paria, tanpa uang saku kebetulan berulang tahun dan kebetulan sekali adalah seoarang ketua kelas bagi penjantan dan pejantin yang umumnya adalah keturunan kesatria, ningrat dan brahmana.

Karena hari itu bertepatan dengan akhir tahun, dan baru saja libur natal, banyak teman-temanku yang tidak masuk, dari 35 orang siswa hanya tersisa 25 orang. Kurencanakan untuk berhutang bakso kepada Pale penjual Bakso di kantin sekolah sebagai traktiran untuk teman-teman kelasku, pertanyaan kemudian, "bagaimana caraku membayar ?" mengingat aku sangat jarang makan bakso di kantin sekolah, dalam setiap bulanya makan bakso di tempatnya kulakukan tidak lebih dari jumlah jari tangan kananku, dengan intensitas berbelanja yang jarang tentunya proposal hutangku bakal ditolak mentah-mentah, saya bukan pelanggan setia yang memberi keuntungan signifikan bagi pendapatanya, dengan perawakan yang tak terawat, kelas paria meski itu tidak bisa menghilangkan wajah gantengku, ganteng tak terawat pastinya, dapat dipastikan proposal hutang bakso 25 mangkukku di tolak. Dengan perhitungan seperti itu aku terdiam, termangu, untung tidak menitih air mataku, sembari berharap akan datang pertolongan.

Kalo dalam bahasa perdata sikapku terhadap teman-temanku saat itu disebut referte, mengamini ucapan selamat ulang tahun akan tetapi tidak menggubris permintaan traktiran. Keriuhan kelas berakhir dengan suara lonceng tanda masuk sekolah, karena masih dalam suasana natal, dan akan datang tahun baru dalam hitungan jam, sekolah membuat kebijakan menghentikan aktivitas mengajar dan belajar pada hari itu, wali kelas diminta hadir memberikan pengarahan kepada anak asuhnya, aku ingat hari itu hari sabtu. Mom Rari, adalah wali kelasku, guru mata pelajaran bahasa inggris yang terkenal dengan cara mengajarnya yang menakutkan, pembunuh berdarah dingin, berbeda dengan umumnya guru-guru yang mengajar kami, dia akan memberikan sangksi bagi kami yang tidak bisa menjawab pertanyaan inggrisnya, terkadang kami harus tabah meniru lakon binatang, anjing yang menjulurkan lidah, monyet yang bertepuk tangan, atau menirukan suara burung, dan seterusnya, sangksi itu beberapa kali menerpaku dan teman-temanku, terkhusus trio serdadu Igbal, Teguh, Eko.

“hari ini kita tidak belajar ya,kita hanya bersih-bersih setelah itu pulang” kara Mom Rari, disambut kegembiraan penjantan-pejantin III IPA. Hari itu pas dengan jam pelajarannya,saya yakin luapan kegembiraan mereka disebabkan akan terhindar dari sangksi menakutkan darinya, kebetulan kami ada tugas bahasa inggris yang harus kami kumpul, yang boleh jadi diantara merekayang senang ada yang belum mengerjakan terkhusus iqbal, teguh, eko, tiga serangkai dari tanah jawi, pun Ipung si kesatria yang terkenal pandai mereguk madu hawa, termasuk diriku sang ketua kelas, kesenanganku hanya sesaat karena dalam waktu yang sangat singkat kata “traktir” kembali menguasai alam sadarku.

“bu, Hari ulang tahun loh!” kataAX dengan gagah berani menyela Mom Rari yang hendak menutup kelas saat itu,“matilah aku” batinku lagi, “oh ya, ulang tahun yang keberapa har?” Tanya diadengan senyum yang menakutkan, “tujuh belas bu” jawabku, kali ini tidak pakebatin. “wow jarang loh, anak kelas III SMA masih umur 17 tahun” jawabnya dengan senyum yang menakutkan, aku hanya tersenyum “gawat tambah 1 mangkuk lagi, akuharus traktir dia” lagi dan lagi aku membatin, aku memaksa bibirku untuktersenyum ditengah badai yang akan menerpa.

“karena hari ini Hari ulang tahun kita makan bakso aja ya”kata mom rari, “mati aku” batinku lagi, dengan senyum yang masih kupaku diwajah. Mungkin karena melihat aku hanya tersenyum menyerah, “nih uangnya untukkita makan-makan hari ini” kata mom Rari, sembari merogoh uang dari sakunya,memberikan kepadaku. Tanpa fikir panjang, tanpa analisis yang mendalam dan tanpa basa-basi aku ambil uang tersebut, kemudianditemani Yuliana, aku beranjak kekantin memesan bakso sebanyak 26 mangkuk. Wajah Pale penjual bakso belingsatan ketika aku memesan 26 mangkuk bakso, mungkindalam fikirannya “ini anak gak pernah belanja disini pasti nabung untuk ulangtahunya”. Setelah bakso siap hidang beberapa kawan membatu membawanya kekelas.

“sekarang karena hari ini ulangtahun Hari, dia yang memimpin doa sebelum kita makan bareng” kata Mom Rari,setelah semua bakso sudah tertata di meja, dan semua sudah siap melahapnya, termasuk si Ax yang memang datang kesekolah membawa lapar pada hari itu, aku beridiri memimpin doa “Terima kasih mom Rari, baik teman-teman kita berdoa ya – Ya Allah terimakasihatas apa yang engkau berikan pada hari ini, diulang tahunku yang ke 17, terimakasih atas bakso yang enak ini” mendengar kata “terima kasih atas bakso yangenak ini” mereka yang berdoa bersamaku tertawa, akupun ikut tertawa geli,lanjut “ya bakso yang enak ini di hari ulang tahunku, semoga kita semua selaluberada dalam lindunganmu” tutupku, di akhiri dengan kor “Aaamiiin” dari merekayang kelaparan, diikuti gemerincing mangkuk yang beradu dengan sendok dan garpu,serta korr suara kecapan dari tiga mahluk yang berasal dari antah berantahIqbal, Teguh, Eko, dan playboy cap kuku macan Ipung.

“Trims ya Allah kau menolongkuditengah keadaan ini” kembali aku bersuara batin sembari menikmati bakso enak,dan Alhamdulillah di bulan desember 2001 itu aku bisa menikmati bakso Pale kantin sekolah melebihi jumlah jari tangan kananku, lebih dari bulan yangbiasanya. Trims Mom Rari atas apa yang kau berikan pada ulang tahunku yangke-17, meski kau pembunuh kejam yang selalu menyengir kau juruselamatku hariitu dari terkaman AX dan mahluk III IPA yang lain.

Menurut banyak mitos yang berkembang yang bisa dipercaya sulit tidak, usia 17 tahunmerupakan titik balik perubahan manusia lelaki, dari lelaki ingusan menjadi penjantan, dariyang main layang-layang menjadi gandeng anak perempuan orang, dari yang haruspulang jam 9 menjadi kebablasan, dari yang tidak boleh tidur ditempat kawanjadi boleh pesta bujang.

Ah sudah 13 tahun berlalu, peristiwaitu selalu kuingat, kerap membuatku senyam-senyum sendiri ketika mengingatnya.Maaf kepada teman-teman yang gak kusebut namanya, bukan maksudku tapi ruangingatanku teramat terbatas.

Balikpapan, 16 12 2014



HD
KetuaKelas III IPA 2001/2002

Komentar

Postingan Populer