Yang Tak Pernah Pulang

Beberapa waktu setelah menjalani pekerjaan di kantor ini, saya kerap terlibat dalam perjalanan dalam rangka pekerjaan, terkadang ketika hendak merencanakan pulang sebelum pekerjaan di luar kota berakhir, sudah ada perintah baru untuk melanjutkan pekerjaan di kota yang sama atau di kota berbeda. 

Tidak terlintas di benak ketika memilih pekerjaan ini akan terlibat dalam berbagai agenda di luar kota. Teringat, ketika perjalanan pertamakali setelah ditetapkan, saya dan beberapa rekan harus melaksanakan pekerjaan luar kota sampai dengan 9 (sembilan) hari, saat berangkat perbekalan pakaian luar dan dalam hanya tak siapkan untuk 3 (tiga) hari, untuk mengatasi keadaan ditengah minimnya keuangan. Pilihan mengalihkan biaya rokok untuk kebutuhan jasa loundry hotel sulit kuterima, mengingat seorang kawan mengeluh karena biaya cuci sempak (celana dalam) miliknya dibebani biaya Rp. 75.000,-- (tujuh puluh lima ribu rupiah) dihargai sama dengan harga loundry satu potong baju/celana oleh pihak hotel. Biaya tersebut sama dengan harga 2 (dua) potong sempak yang kubawa saat kubeli 1 (satu) tahun silam, jika dihitung masa susut karena sering kugunakan sempak yang kubawa saat itu sudah tidak memiliki harga jual atau tak layak hibah sekalipun, aku tidak sanggup membayangkan sempak yang lebih pantas dibuang harus di cuci dengan biaya Rp. 75.000,--, maka dengan berbagai pertimbangan dan berkaca pada pengalaman kuputuskan membeli sabun mandi harga Rp. 3.000,-- (tiga ribu) yang kugunakan sebagai pengganti diterjen untuk mencuci 5 potong sempak (yang tidak berharga tersebut) beserta 2 (dua) potong celana panjang, 3 (tiga) potong baju untuk bekerja, 4 baju kaos dalam serta sebuah sarung. 

Melaksanakan pekerjaan di luar kota masih terus berlangsung, ada kalanya pekerjaan diluar kota sesuai dengan waktu yang ditetapkan sebagiamana surat undangan, tidak jarang berlanjut pada kegiatan berikutnya tanpa sempat pulang, meski demikian dalam setiap perjalanan aku tidak pernah menyiapkan pakaian untuk perjalanan lanjutan terlalu merepotkan dan membebani, aku lebih sering menggunakan sebuah ransel untuk mengangkut semua barang bawaan dalam pekerjaan luar kota. Jika harus melaksanakan pekerjaan lanjutan tanpa sempat pulang maka baju yang sama kugunakan untuk kegiatan berikutnya tanpa peduli dengan pergunjingan mereka yang mengetahui, yang agak repot sebenarnya kebutuhan sempak, akan berbahaya jika kuggunakan berulang, jika ada kesempatan cara lama kugunakan mencuci dengan sabun yang tersedia di hotel, jika malas datang dan biasanya lebih sering malas akhirnya membeli sempak barus menjadi lebih rasional. 

Kebiasaan membeli sempak menyebabkan persedian jumlah celana dalam menjadi lebih . Untuk menekan angka pertumbuhan jumlah sempak kuputuskan untuk membawa mengeleiminir sempak yang berusia senja, atau sempak yang sudah renta (karet kendor, kain sobek, dan tak lagi nyaman) dan tidak cukup kuat lagi menjadi benteng pertahanan dalam perjalananku berikutnya, jika dalam satu perjalanan aku membawa 5 (lima) potong, maka 2 (dua)  diantaranya akan kutinggalkan sebagai jejak perjalananku.  

Ada perasaan sedih ketika untuk pertama kalinya sempak dengan kriteria tua, kendor, melar dan sobek kutinggalkan di bak sampah kamar hotel, ingatanku tentang perannya ketika masih baru mengiang-ngiang "kamu tega bos" ucap mereka dengan nada tersengal karena sesenggukan menahn sedih
"aku tidak mau melakukan ini, tapi keadaanmu sudah sedemikian rupa, membawamu balik hanya membebaniku"jawabku 
"tapi, aku, kami ingat ketika bos akhirnya memilih kami, ada semangat berpendar di wajah bos, ketika akhirnya keputusan jatuh pada kami saat itu" ujar si hitam mewakili si biru yang tak kuasa bicara, masih sesenggukan
"kamu bisa apa jika kubawa balik, kalian tahu sendiri, di lemari sudah berjubel angkatan baru yang lebih nyaman dan kuat seperti mereka" kataku memotong, sembari menengok gerombolan sempak yang telah rapih, mereka tersenyum saat itu, boleh jadi karena ruang bernafas dilemari makin longgar dengan perginya dua senior mereka, mungkin karena masih muda mereka tidak sadar pada akhirnya akan bernasib sama, terhempas dan terbuang tanpa makna. 
"keputusanku bulat, kalian aku tinggal, aku hanya bisa mendoakan kalian menemukan tuan baru, atau menjadi kain yang bermanfaat, ketahuilah, di atas bumi di bawah matahari, nasib kita semua sama, kamu aku mereka, pada akhirnya harus relah meninggalkan atau ditinggalkan, saat ini kalian yang harus tegar karena kutinggalkan, tapi akupun sedih karena harus mengingat bagaimana peran kalian, tidak usah menangis" ujarku menenangkan, tangis mereka pencah ketika langkahku semakin jauh, kusempatkan menengok untuk terakhir kali, kemudian gebrak, pintu kututup, dan aku pergi. 

Aku sudah bisa mendunga, sekembalinya 3 (tiga) sempak dari 5 (lima) yang ikut perjalanan akan menjadi pergunjingan diantara mereka, pertanyaan kenapa mereka tak kembali menjadi pembahasan. dari fakta tersebut, sempak tua sudah kuduga membangun strategi bertahan dalam lemari, dengan relasi kuasa sebagai senior, sempak muda di sorong untuk ku ambil dalam perjalanan, terkadang sempak baru mengelak, karena jika sering di pakai pertahanan mereka akan rusak, karet kendor, kain robek maka waktunya akan lebih pendek, sekalilagi relasi kuasa dipergunakan sempak tua untuk bertahan, kelompok sempak muda berada di barisan depan atas, sedangkan mereka berlindung di pojok belakang, mereka lupa sebagai pengguna aku tahu daftar kelompok tua, melar dan kendor di antara mereka sekuat apapun mereka membangun strategi pertahanan, aku akan menemukan. 

Sempak-sempak tua, kendor, melar selalu berusaha menghilang dari pandangan atau jangkauanku, tapi aku tahu posisi mereka dan aku pasti mengenakan yang paling tua, kendor dan melar sebagai teman berangkat, karena sudah di pastikan akan menjadi korban berikutnya, bukan bangga karena kukenakan untuk hari pertama perjalanan, dia menangis, menjerit, tapi sekalilagi dia tak punya kuasa, karena aku tuanya "sudah selesai baktimu bro, usiamu senja, tenagamu tak cukup kuat mencekram, ini perjalanan terakhir, kamu aku tinggalkan" kataku berbisik lirih ketika melepaskannya di lemari hotel, atau di bak sampah untuk yang benar-benar sudah rusak parah, "tangismu tidak merubah sikapku, segala usahamu tak menggoyahkan keputusanku, selamat tinggal sobat, terimakasih untuk semua kenangan pengabdianmu" ucapku, begitu seterusnya. Begitulah kisah recehku dengan gerombolan sempakku. 

Komentar

  1. Kira2 apa perasaan orang hotel yang menemukan sempak kendor nan tua yang sudah tidak mencengkram milik bapak saat itu yaa 😂
    Perlu di telusuri

    BalasHapus
  2. pada akhirnya, sekuat apapun dipertahankan, perpisahan tidak bisa dihindarkan, cara paling terhormat untuk sempak itu di kamar hotel berbintang, sebagai wujud penghargaan.

    BalasHapus
  3. Judulnya "Habis Manis Sepah Dibuang"..kasian, syedih dia

    BalasHapus
  4. Jejak sempak yang harus ditinggal. Bukan karena tidak peduli, tapi lebih pada proses regenerasi yg tidak bisa dihindari meski pada sisi lain ada pertimbangan realistis antara biaya memelihara dan ganti yang baru. Kwkwkkk

    BalasHapus
  5. Ku tahu itu pilihan yang berat, mempertahankannya akan menjadi beban. Paling tidak, tulisan diatas adalah alasan dan pertanggungjawaban saat waktu hisab nanti tiba.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer