Memimpin Ala RB

Mendengar

Mendengar merupakan perbuatan sederhana, tapi tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik, dalam komunikasi kemampuan mendengar sangat mempengaruhi lawan bicara bahkan sangat menentukan kualitas pembicaraan. Kemampuan mendengar yang baik bagi seorang pemimpin akan memberinya kesempatan memperoleh berbagai informasi, yang dibutuhkan dalam memetakan permasalahan, memetakan kualitas orang yang beredar disekitarnya yang akan bermanfaat dalam mengambil keputusan strategis untuk organisasi yang dipimpinnya.

Rahmat Bagja merupakan seorang pemimpin yang memiliki kualitas sebagai pendengar yang baik, dia menghargai lawan bicara, memberi ruang bagi lawan bicara mengutarakan pendapat, menggali dan mengkonfirmasi apa yang menjadi pembicaraan melalui pertanyaan-pertanyaan, memantik obrolan, tidak heran ketika berhadapan dengannya tidak ada kesan tidak nyaman, waktu bisa berlalu begitu cepat, hingga kita tidak sadar bahkan malu sendiri karena telah menyita waktunya. Dalam kedudukannya sebagai pemimpin Lembaga, dia bisa saja memanfaatkan relasi kuasa untuk didengarkan, dituruti, tapi tidak dimanfaatkanya, dalam banyak hal dia membuka ruang untuk didebat bahkan menerima masukan.

Egaliter

”Ngopi di kamar siapa? Atau “ngopi dimana?” pertanyaan yang kerap dilontarkan ketika masa jeda kegiatan penyelesaian sengketa, bukan pertanyaan basa-basi, jika tidak ada kepentingan mendadak, dia akan hadir dalam perjamuan kopi yang umumnya kami selenggarakan di salah satu kamar kami, perjamuan kopi dikamar ini kerap kami sebut “majelis ghibah”. Di majelis ghibah, diskusi kritis tentang organisasi, hukum dan demokrasi bersemi, meski terkadang terselip canda yang menguji mental, dari proses ini kami saling mengenal lebih jauh dan lebih dalam. Sosokyang egaliter, gelisah, empatik,  pemimpin yang memiliki mimpi tentang masa depan hukum dan demokrasi, serta kesadaran prophetic atas jabatan yang diemban.

Sebagai pemimpin yang memiliki kualitas sebagai pendegar yang baik, Rahmat Bagja, juga seorang yang memiliki kepribadian egaliter dan hangat, perpaduan kualitas tersebut menghilangkan kesan angker pada seorang pemimpin. Ketika melakukan kunjungan kerja di daerah tidak pernah dia menolak untuk memenuhi undangan kegiatan diskusi mahasiswa baik yang terencana atau yang datang tiba-tiba, saya menyaksikan dari dekat bahasa tubuhnya yang tenang dibungkus senyum ketika fikiranya ditentang oleh kelompok mahasiswa, “ane juga pernah seperti itu, gak apa”ujarnya menyikapi kejadian tersebut.

Dia bisa menjadi kawan berfikir, sebagai senior dia adalah abang yang melindungi, dalam kedudukanya sebagai pemimpin dia motivator, dalam gagasan berkemajuan dia adalah teman berjuang yang setia. Kesan tersebut tidak lahir dengan sendirinya, melainkan berangkat dari pergaulan kami di Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU), terkhusus di divisi penyelesaian sengketa, yang belakangan identik dengan BARISTA, singkatan dari barisan (penyelesaian) sengketa.

Fokus

Salah satu misi Bawaslu periode 2017-2022 dalam rangka mewujudkan visi “Menjadi Lembaga Pengawas Pemilu Terpercaya adalah “Memperkuat sistem teknologi informasi untuk mendukung kinerja pengawasan, penindakan serta penyelesaian sengketa pemilu terintegrasi, efektif, transparan dan aksesibel”, sebagai Pimpinan yang mengampun Divisi Penyelesaian Sengketa, Rahmat Bagja, menggagas Sistem Informasi Penyelesaian Sengketa (SIPS).

Sebagaimana yang disampaikan dalam sambutanya dalam satu kegiatan rapat koordinasi, dia menyatakan SIPS dihadirkan untuk memberi pelayanan sederhana, cepat dan biaya ringan, sebagaimana prinsip pelayanan Lembaga peradilan, serta menjadi bank informasi penyelesaian sengketa proses pemilu dan pemilihan yang ditangani oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Melalui SIPS masyarakat luas dapat mengakses seluruh data perkara, dari permohonan sampai dengan putusna, mengikuti perjalanan perkara yang sedang di periksa di Bawaslu, bagi yang memiliki kepentingan memperoleh keadilan pemilu melalui aplikasi SIPS, mereka dapat melakukan permohonan penyelesaian sengketa secara online, aplikasi ini sebangun dengan perkembangan sistem peradilan elektronik (e-court) yang beberapa tahun belakangan ini dikembangkan oleh Mahkama Agung.

Menggagas dan mewujudkan gagasan bukan sesuatu yang sederhana, karena tidak semua orang dapat melakukan hal itu, meski memiliki sumber daya pendukung yang cukup. Ketika Rahmat Bagja merencanakan mewujudkan SIPS tidak sedikit keraguan harus ditaklukan, dan ada birokrasi yang harus digerakan untuk menjadi bagian dari proses itu, belum lagi jika orientasi anggaran tidak dimakasudkan untuk mewujudkan itu, itu yang dihadapi Rahmat Bagja ketika menggas SIPS, keteguhan hati dan kemauan yang keras mengatasi berbagai keragu-raguan.

Budaya Literasi

Boleh jadi karena latar belakangnya sebagai seorang pendidik, dosen, mempengaruhi caranya menghidupkan divisi penyelesaian sengketa, divisi ini digerakan dengan budaya literasi, rancang bangun peraturan bawaslu dibindang penyelesaian sengketa dibentuk melalui forum diskusi terfokus, yang tejadi di forum-forum formal dan nonformal sambil menyesap kopi, melalui budaya literasi yang dikembangkan serta merta mempegaruhi dan membentuk cara berfikir hukum pada anggota bawaslu provinsi pengampu divisi penyelsaian sengketa meski tidak memiliki latar belakang ilmu hukum.

Perjumpaan anggota bawaslu provinsi divisi penyelesaian sengekta yang difasilitasi oleh divisi penyelsaian sengketa bawasl yang diampunya selalu diwarnai degan perdebatan, pembobotan yang menumbuhkan pengetahuan, tidak hanya bagi koordinator divisi penyelesaian sengeketa, budaya literasi ini juga mempengaruhi budaya kerja birokrasi divisi penyelesaian sengketa, tidak jarang mereka terlibat secara bersama-sama dalam berbagai diskursus hukum, “dalam organisasi boleh jadi ada struktur atas bawah, tapi dalam forum diskusi divisi semua memiliki kedudukan yang sama” kesan itu yang tercipta, sehingga patutlah dinyatakan bahwa divisi penyelesaian sengketa oleh Rahmat Bagja, adalah divisi yang digerakan bukan oleh relasi kuasa, melainkan oleh fikiran.

Peninggalan kepemimpinanya dibidang literasi, selain menumbuh kembangkan khasana berfikir yang hidup dalam forum dialektis yang melahirkan peraturan bawaslu, petunjuk teknis penyelesaian sengketa, kurikulum penyelesaian sengketa, SIPS, yang tidak kalah penting adalah lahirnya mediator yang memiliki lisensi dari organisasi Pusat Mediasi Nasional (PMN), yang mana Rahmat Bagja sebagai anggota Bawaslu koordinator divisi penyelsaian sengketa belum memilikinya.

Apa yang ditampilkan Rahmat Bagja dalam kepemimpinanya sebagai Anggota Bawaslu merupakan inspirasi kepemimpinan bagi jajaran di bawahnya. Kepemimpinanya yang mendegar, sikapnya yang egaliter dan hangat, semangatnya memperjuangkan gagasan dan budaya literasi yang tumbuh didivisi penyelesaian sengketa, menegaskan bahwa dirinya seorang pemimpin demokratis, karakternya yang kemudian menjadi karakter kepemimpinan divisi penyelesaian sengketa, kepemimpinan yang efektif dalam memajukan dan menggerakan organisasi ini.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer