Toleransi

Foto dari Santi Tangke teman SMA, kini jadi besti Mama 

20 Februari 2022, bertepatan dengan 40 hari Bapak meninggalkan dunia, sebagaimana umumnya muslim, kami menggelar tahlilan, aku menyebutnya majelis doa, yang didalamnya memuat kegiatan membaca surah Yasin, dan pengagungan kepada Allah SWT, Rasulullah dan Keluarganya, orang-orang soleh, dan doa untuk Bapak, semoga syafaat Rasulullah dan keluarganya disisi Allah SWT. 

Sebelum kegiatan majelis doa, tahlilan, digelar pada malam hari, di sore harinya, Mama mengadakan kegiatan, penyampaian ucapan terimakasih dan permintaan maaf untuk dan atas nama kami dan almarhum, dengan mengundang kerukunan keluarga toraja dimana kami (yang berdarah toraja) berhimpun, kerabat, serta tetangga yang umumnya suku Toraja dan Suku Flores mayoritas beragama kristen (prostestan dan pantekosta) dan katolik. Bagi sebagian orang yang terbiasa hidup dalam satu agama sejak kecil hingga dewasa, hal tersebut mungkin tidak umum, tapi bagi kami, yang ditakdirkan mewarisi darah toraja dan memeluk Islam sebagai agama, kemudian tinggal dilingkungan mayoritas masyarakat toraja dan flores yang beragama kristen dan katolik, kegiatan tersebut kerap ditemui. 

Kegiatan itu dilaksanakan di lapangan yang persis berada di samping rumah Bapak-Mama, lapangan umum yang kerap menjadi tempat diselenggarakannya kegiatan masyarakat km 6, khusunya yang tinggal di gunung tator (tanah toraja). Momen sore itu diselenggarakan dengan gaya khas agama kristen, minus lagu puja-puji yang biasanya terselip dalam kebaktian, "Syalom"ujar Jony Rande kepada jemaat yang hadir "Syalom"balas seluruh jamaat serentak,  "Maaf ma Harun, karena mayoritas disini kristen, kita buka kegiatan sore ini dengan cara kita, untuk Ma Harun dan keluarga Asalamualaikum"sambungnya, meskipun demikian baik kalimat "Syalom" ataupun "Asalammualaikum"kami tetap menjawabnya, kemudian acara sederhana nan syahdu sore itu berjalan, ada penyampaian ucapan duka oleh kerukunan dan tetangga yang diwakilkan oleh ketua kerukunan, kemudian saya diminta Mama untuk menyapaikan ucapan terimakasih dan maaf dari kami kepada keluarga besar kerukunan Parandangan, Panoli Sapan (nama sub suku di Toraja, disingkat PPS), serta tetangga, kemudian ditutup dengan doa pemberkatan atas makanan yang disediakan, dengan cara yang umumnya dilakukan dalam kebaktian agama kristen. 

Ditengah semakin asingnya semangat toleransi yang ditandai dengan anjuran tenggangrasa, dan semangat membangun persaudaraan ditegah kemajemukan, kami tidak merasakan itu, Bapak- suku  banjar dengan tradisi Islamnya - Mama yang toraja (muslim karena perkawinan) dengan tradisi Toraja kristen, kemudian rumah mereka yang berada dilingkungan masyarakat yang umumnya adalah Toraja-Flores beragama kristen dan katolik, kami tidak merasakan kehidupan minoritas atau merasa terasing karena persoalan suku dan agama, boleh jadi bernar kata komika Abdur Arsyad "di kampung! kita tidak pernah kehilangan toleransi, tapi tidak pernah ada namanya diskriminasi" ujarnya.  Menurutku lahirnya kata "Toleransi" karena ada praktek "Diskriminasi, oleh karena adab masyarakat dilingkungan dimana kami tumbuh mempraktikan kehidupan bersama dalam kemajemukan, maka kata "toleransi"tidak berdengung sebagaimana sering kita dengar diperkotaan, atau boleh jadi kata "toleransi" merupakan produk aktor-aktor politik yang  telah kehilangan toleransi dari dirinya.

Kedua orang tua kami, tidak terasing dalam perbedaan, boleh jadi mereka tidak memandang agama dan suku sebagai jurang antar mereka, perbedaan bukan pemisah dalam membagun keakraban dimasyarakat, mereka berjuang menyediakan ruang hidup bagi kami, mereka membangun satu kebersamaan dalam keberagaman tanpa harus mendengungkan "toleransi".  Untuk Bapak, kami menghidupkanmu dalam doa dan kenangan, semoga Allah SWT, sebaik-baiknya penolong dan pemberi ampunan, menerima amal-amalmu meski sedikit, mengampuni dosa meski itu banyak. 

  

Komentar

Postingan Populer