Hari Dermanto

Cerita Mamaku = Memori Masa Kecilku

Tempat kelahiranku ada dua, pertama secara dejure sebagaimana tertuang dalam akta kelahiran yakni di kota Balikpapan, kedua secara defacto berdasarkan keterangan dari saksi fakta yakni perempuan yang melahirkanku (mamaku), aku lahir  di Palu, salah satu daerah yang berada di pulau sulawesi. 

Tidak banyak memoriku tentang masa kecilku, ketika masih berada di bawah umur 5 (lima) tahun, entahlah kenapa bisa demikian, aku bukan autobiographical, sebagaimana Ibnu Sina, yang dalam riwayat  disebutkan memiliki ingatan yang sangat panjang bahkan mengingat saat-saat dia lahir.

Ketika memasuki usia prasekolah di bawah 5 (lima) tahun, saya dimasukan oleh Emak  di  Taman Kanak-kanak (TK) saya lupa namanya, kebetulan dekat dengan rumah kami yang terletak di kawasan kilometer 6 Gunung Tator (tana Toraja), Kenangan. Masih menurut mama, TK yang menjadi tempat saya bermain dan bersosialita di masa kecil ini menurutnya TK Kue (wadai, jajanan) karena hampir tiap minggu murid di TK ini selalu dikenakan kewajiban untuk membawa kue (wadai) ke TK. 

Ada selentingan ingatan masa lalu, saat di TK aku sebagaimana anak-anak pada umumnya pernah keluar masuk TK lewat jendela, main kejar-kejaran, ribut dan dihukum, selebihnya benar-benar hilang, nama teman, guru, mamanya teman, suaminya guru, apa lagi warna kesukaan, hari ulang tahun, teman dan guru, sudah pasti aku lupa. Dugaanku TK tempat aku bermain dan bersosialita tersebut sering meminta kami secara bergiliran membawa kue, mungkin untuk merayakan ulang tahun kami, teman-teman, guru, suami guru, kakak, bapa dan mama para siswa. huh 

TK tersebut merupakan wadah belajar anak kampung, umumnya orang tua mempercayakan anaknya di TK tersebut selain karena saat itu jumlah taman kanak-kanak terbatas, juga karena TK milik perusahaan sangat terbatas, tidak semua anak pegawai bisa ditempatkan disana, umumnya hanya anak dari pegawai perusahaan PT ITCI dengan derajat kedudukan tertentu, kami menyebut TK perusahaan PT ITCI pada zaman itu sekolah anak bos. 

Pluralietnis dan Pluralreligion

Pengetahuan agama orangtuaku biasa saja, abangan, mungkin kata itu yang tepat, Mamaku sebagai seorang yang merupakan keturunan suku Toraja saat kecil hingga remaja beragama Kristen, beliau masuk Islam ketika menikah dengan Bapak, sedangkan Bapak meskipun anak seorang Haji tetapi tidak terlalu memiliki ilmu yang mendalam, pas pasan (rajin sholat fardhu). Saat kecil hingga puber Nenek kam (ibu mamaku) tinggal bersama kami, orang tua yang rajin dan selalu bersemangat bekerja hingga akhir hayatnya, beliau beragama kristen, sehingga ada kehidupan dua agama di rumah, tidak hanya itu, kami juga tinggal dilingkungan dan keluarga yang mayoritas kristen. 

Keadaan keluarga dan lingkungan yang demikian membuat kami (anak-anaknya) begitu sangat terbuka dengan agama yang beredar disekitar kami, saya mengenal Islam melalui praktek sholat yang dilakukan Bapak, mengenal kristen melalui praktek keagamaan yang dilakukan nenek dan masyarakat di lingkungan sekitar kami. Saat Nenek Masih hidup, peribadatan agama kristen sering juga dilakukan di rumah tempat kami tinggal, meski demikian Nenek tidak pernah membawa makanan yang tidak diperkenank agama Islam, dalam banyak hal beliau sering memasak untuk kami.

Lingkungan yang mayoritas kristen, dan suku Toraja yang mengaliri darah kami, dan kebiasaan kami terlibat dalam kegiatan pernikahatan suku toraja yang mayoritas kristen, dan menghadiri kegiatan natal organisasi suku toraja, natal geraja yang berada disektiar kami atau natalan Perusahaan PT. ITCI melahirkan anggapan bahwa saya dan kaka saya beragama kristen. Bahkan, Kakaku (Harun) sampai dengan kelas 3 (tiga) Sekolah Dasar, dianggap beragama kristen oleh teman sekelasnya yang kebetulan sekampung dengan kami, protes mamaku ke sekolah akhirnya mengembalikan kakaku ke kelas pendidikan agama Islam.  

Latar belakang orang tua yang abangan, lingkungan rumah dan kerabat yang beragama kristen, salah satu faktor membuat orang tua cenderung abati terhadap penguatan Agama Islam khususnya baca tulis Al-quran, kami tidak dipaksa untuk ikut dalam taman baca Al-quran atau sejenisnya.  Masih belum pudar dalam ingatan ketika di bangku kelas 6 (enam) Sekolah Dasar, begitu bingung, takut dan gugupnya ketika ujian mata pelajaran Agama Islam yang harus mempraktekan tatacara bersuci dan sholat (lengkap dengan bacaannya). begitu juga ketika duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) mata pelajaran Pendidikan Agama Islam menjadi momok, guru yang mengajar (Ir Sumarno) kerap membuat kejutan meminta kami untuk membacakan ayat Al-Quran yang ada di buku cetak, situasi yang membuat jantungku berdegup, aku selalu meringkuk ketakutan, dan selalu berharap tidak pernah dilihat olehnya, lonceng tanda waktu pelajaran bunyi yang mendamaikan. 

Untuk mengatasi bagaimana membaca al quran aku meminta bantuan teman untuk membuat bacaan latin ayat Alquran yang terdapat di buku cetak pelajaran Agama, jika datang hari naasku aku cukup siap meski tidak mengurangi ketakutanku. Disisi lain, keadaan ini membuat aku memaksakan diri belajar membaca Al quran secara mandiri. awalnya termotivasi karena melihat Harun kakaku yang belajar membaca Alquran secara mandiri lewat buku iqro yang digunakan santri TK/TPA Al Quran, aku mencoba menduplikasi caranya perlahan-lahan aku bisa membaca, meski tidak mengetahui  bagaimana membaca kata panjang, pendek, kapan harus berhenti dan memotong kalimat, serta bagaimana melafazkan huruf-huruf yang memiliki bunyi yang kurang lebih sama. 

btw.....mengenai apa dan siapa Hari Dermanto masih berlanjut....sorry lagi capek

Komentar

Postingan Populer