Kakaku : Hidup Untuk Berani

Kakaku: Hidup Untuk Berani

Kakaku dari seberang “kelurahan Maridan” mengirimkan pesan singakat kepadaku yang isinya menerangkan bahwa Yudi Saputra (adikku yang paling bungsu) siswa kelas VII – A (kelas 1 – A) Sekolah Menengah Pertama (SMP) ITCI Maridan Kecamatan Sepaku kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), diancam akan diberhentikan dari sekolahnya karena melakukan protes dan berniat tidak akan membayar uang pendidikan komputer sebesar Rp. 10.000,-- (sepuluh ribu rupiah) tiap bulannya, karena sejak awal masuk sekolah bulan juli sampai dengan oktober (2009) menurutnya siswa (termasuk dia didalamnya) tidak pernah mendapat haknya: menerima pendidikan komputer.

Pesan tersebut membuat perasaan saya campur aduk antara perasaan kagum dan khawatir. Kagum karena dibalik usiannya yang masih sangat belia, berumur belasan tahun, tubuhnya yang kecil (ceking) ternyata terdapat kesadaran dan keberanian melampui orang-orang seumurnya, orang-orang dewasa, mereka yang kuliah, sarjana hukum sekalipun dan tidak berlebihan jika kesadaran dan keberaniannya telah melampaui bahkan melecehkan kesadaran dan keberanian guru yang mendidik dia. Khawatir karena ancaman yang diucapkan oleh gurunya akan dilaksanakan, konsekuensinya dia akan pindah sekolah atau di skor karena pilihannya.

Perasaan khawatir tersebut dengan cepat saya buang jauh-jauh, takut akan menguasai fikiranku. Sesaat kemudian kuhubungi adikku untuk memastikan pesan singkat yang saya terima, dari dia kuketahui bahwa ancaman tersebut keluar dari kepala sekolahnya yang kebetulan adalah guru agamannya (Drs. Sumarno), kemudian kuketahui bahwa dia akan membawa surat protes dari mamaku (mamanya juga) untuk kepala sekolah besok (rabu, 14 oktober) yang berisi protes terhadap praktek “pungli” yang terjadi. Kekhawatiranku tentang ancaman semakin hilang, kutumbuhkan banyak-banyak fikiran positif bahwa apa yang dia telah lakukan pasti akan berbuah manis bagi kemajuan dia secara pribadi dan bagi sekolahnya yang merupakan institusi pendidikan. Ku katakana dalam hati dan kuteriakan aku akan mendukungnya.

Tindakkan adikku tersebut mengkritik eksistensiku yang saat ini kuliah sebagai mahasiswa hukum Universitas Balikpapan, betapa tidak, aku dengan pendidikanku hanya mengurung kesadaranku didalam buku catatan dan bacaanku, tanpa sedikit mau memindahkan kesadaran untuk mengkoreksi realitas. Sementara dia dengan tubuh kecilnya telah berani melakukan koreksi terhadap masalah ketidakadilan sekolah. Sekalipun aku memiliki (sedikit) kesadaran untuk memperjuangkan hak itupun aku dapatkan dari bangku kuliah sebagai mahasiswa hukum dan jikapun aku harus bertindak aku akan mengajak teman dan menggunakan organisasi, berbeda dengannya dia memilih meneriakan adanya pelanggaran hak tanpa harus mengenyam pendidikan hukum, tanpa harus menjadi gede terlebih dahulu, tanpa harus mendorong sebuah kesadaran kolekif, tanpa harus menyewa pengacara untuk memastikan apakah tindakannya benar atau tidak, tanpa harus perduli bahwa keberanianya akan melahirkan pujian banyak orang.



Kulacak melalui fikiranku tentang kesadaran dan keberaniaanya, kuketahui bahwa dia lahir dari rahim seorang berani: mamanya. Kuyakini melalui mama-nya lah kesadaran dan keberanian itu terbina, kuingat ketika kami kecil beberapakali mama harus berurusan dengan pihak sekolah karena kasus pemukulan guru terhadap adikku (anak ke-3 dari 5 bersaudara) di sekolah, meluruskan kesalahpahaman sekolah yang menuduhku tidak pernah membayar uang sekolah selama 2 bulan, dengan berani bertindak mewakili teman-teman kerjanya memaksa menejemen perusahaan tempat dia bekerrja untuk memberikan sanksi kepada mandor lalai di tempat dia kerja, termasuk keberaniannya memilih untuk hidup dengan ibunya (neneku) yang tidak terlalu kaya yang menyebabkan dia tidak bersekolah dan meninggalkan kehidupan layak bersama bapa-nya (kakeku) di Jakarta, dan itu dia lakukan ketika dia masih sangat muda. Dari dialah jejak keberanian adikku, dia adalah guru yang mengajarkan kami tentang pilihan hidup untuk berani.

Ingin kusematkan mereka sebagai sarjana. Adikku karena keberanian dan kesadarannya dan mamaku karena mengajarkan hidup untuk berani. Jika dia tidak bisa menjadi guru bagi banyak orang, peristiwa ini telah membuat dia menjadi guru bagiku. Pilihannya untuk mengkoreksi apa yang menurutnya tidak adil (bukan hak) dengan kesadarannya seakan menjadi tamparan, dengan bercanda meremehkanku kemudian berbisik “ Kakaku, hidup untuk berani”.


Kantor LBH Pos Balikpapan, 13 oktober 2009

Komentar

Postingan Populer