Praktek Kejahatan Terhadap Buruh

Oleh : Hari Dermanto
Penggiat Bantuan Hukum Struktural LBH Kaltim - Pos Balikpapan

Beberapa kali kesempatan mendampingingi Arif Islam ketua Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Angkasa Pura I (DPC SPAP I) terkait dengan laporan pidana (kejahatan) yang dilakukan direksi angkasa Pura berupa tindakan balasan atas mogok kerja yang sah dan teman-teman Pimpinan Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (PUK F SPTI) Pengemudi Taxi Kokapura, kedinas tenaga kerja dan sosial (Disnakersos) Kota Balikpapan terkait dengan perselisihan hak, sidang mediasi dan laporan pidana berupa kejahatan waktu kerja serta kejahatan terhadap pembayaran upah lembur yang dilakukan oleh Managemen Koperasi Karyawan Angkasa Pura (KOKAPURA).

Proses tersebut memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat berdiskusi dengan teman-teman pekerja/buruh yang melakukan pengaduan dan memberikan saya kesempatan untuk mengetahui kenyataan (fakta) bahwa buruh adalah kelas yang hak-haknya kerap terabaikan dalam hubungan industrial (kerja), kesimpulan ini saya peroleh berdasarkan fakta bahwa pengaduan yang masuk ke Disnakersos kota Balikpapan mayoritas berasal dari buruh/pekerja yang umumnya adalah persoalan tidak adanya pembayaran upah kerja lembur, pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon, tidak dilaksanakannya pembayaran upah minimum kota.

Dalam dunia kerja (hubungan industrial) buruh adalah kelas yang hak-haknya kerap di langgar oleh pengusaha, tidak berhenti hanya di dunia kerja, dalam proses penyelesian perselisihan yang diselenggarakan oleh Disanaker kota Balikpapan (mediasi) hak-hak buruh untuk mendapatkan kepastian atas hak-haknya kerap diabaikan oleh pengusaha yang cenderung tidak berkomitment untuk menyelesaikan perselisihan, sebagaimana kerap terjadi dalam proses mediasi pengusaha kerap hadir tidak tepat waktu, tidak menghadiri sidang mediasi atau tidak memenuhi panggilan sidang mediasi oleh mediator, dan bahkan pengusaha kerap bertindak mengabaikan risalah mediasi yang di keluarkan oleh mediator Disnaker kota Balikpapan.

Ketika dalam proses mediasi pengusaha berinisiatif untuk menyelesaikan perselisihan, terkadang buruh harus rela menerima hak-hak tidak diterima sebagaimana mestinya karena harus dinegosiasikan dengan pilihan ekstrem menerima tawaran pengusaha atau tidak sama sekali. Ketika buruh menolak tawaran pengusaha maka pilihan yang harus ditempuh adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang tidak memungkinkan bagi buruh, karena harus mempersiapkan biaya dan waktu yang cukup panjang yang terkadang tidak memberikan kepastian. Maka pilihan yang akan ditempuh adalah menerima ketidak adilan sebagai keadilan. Mengutip ungkapan seorang buruh (saya lupa namanya) dalam satu kesempatan “di Indonesia hak-hak buruh tidak dilindungi negara tetapi harus di perjuangkan melalui system yang tidak berpihak kepada buruh”. Pernyataan buruh tersebut adalah sebuah ironi tentang ketidakadilan yang di bentuk oleh kekuasaan terhadap pekerja melalui paket UU dibidang ketenagakerjaan.

Coporatocrasy Crime


Dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) dan Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja (UU SP), terdapat berbagai aturan tentang tindak kejahatan dan pelanggaran yang dalam lapangan kenyataan di kota Balikpapan, tindak kejahatan dan pelanggaran ini kerap dilakukan oleh pengusaha. Kejahatan berserikat, kejahatan tidak membayar upah kerja lembur, kejahatan menghalang-halangi dan melakukan tindakan balasan atas mogok kerja sah yang dilakukan buruh, pelanggaran pelaksanaan waktu kerja, dan praktek tidak mengakui hak-hak serikat pekerja.

Leluasanya praktek kejahatan dan pelanggaran oleh pengusaha/perusahaan terhadap pekerja/buruh disebabkan lemahnya posisi tawar buruh dalam hubungan industrial. Factor yang melahirkan lemahnya posisi tawar buruh di Balikpapan bisa salah satunya disebabkan oleh tidak seimbangnya ketersediaan lapangan kerja dengan pencari kerja, dimana sampai dengan Mei tahun 2009 jumlah pencari kerja di kota Balikpapan sampai dengan 22268 orang sedangkan yang terserap kedalam dunia kerja hanya sekitar 1168 orang.

Keadaan ini merupakan faktor yang melahirkan psikologi kelas dimana buruh sebagai kelas yang di tentukan (objek) dan pengusaha sebagai kelas yang menentukan, kenyataan ini kemudian berlanjut dengan terbentuknya struktur kelas antara pengusaha (pemilik modal) dan pencari kerja (buruh), yang kemudian semakin dipertegas dengan keberadaan instrument hukum perburuhan yang menghilangkan tanggung jawab Negara dalam melindungi buruh (rakyat).

Sebagaimana termuat dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan melalui proses pengadilan perdata merupakan pengingkaran Negara atas kewajiban perlindungan bagi buruh dalam relasi subordinatif, dan membiarkan SP/SB maupun buruh secara individu dipaksa untuk beracara di Pengadilan bertarung sendirian dengan pemodal dalam sebuah arena privaat yang mengandaikan para pihak berada dalam posisi seimbang. Dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara formal menempatkan buruh pada posisi yang lemah: tidak ada job security dengan fleksibelnya system hubungan kerja, terdapat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dengan sistem Kontrak, Sub kontrak dan Outsourcing.

Kejahatan dan pelanggaran pengusaha meskipun diatur dalam UU di bidang ketenagakerjaan, kerap kali tidak menjadi instrumen untuk terwujudnya pemenuhan hak-hak buruh. Entah ada konspirasi atau tidak, dalam proses diskusi informal dengan pekerja yang melakukan pengaduan ke Disnakersos kota Balikpapan, terhadap kejahatan jam kerja, upah kerja lembur dan bahkan tindakan antis serikat yang memenuhi unsur pidana dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Serikat Pekerja, pengawas ketenagakerjaan disnakersos kota Balikpapan di beberapa kasus ketenagakerjaan hanya mengedepankan penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan, tanpa menyentuh persoalan pidana (kejahatan dan pelanggaran) yang dilakukan pengusaha meskipun unsur-unsur pidana terpenuhi.

Praktek tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) di bidang perburuhan kerap di lakukan oleh pengusaha terhadap buruh, minimnya pengetahuan buruh/pekerja atas persoalan pidana dan peran pengawas ketenagakerjaan yang cenderung berpihak pada pengusaha menyebabkan hal-hal terkait dengan tindak pidana pengusaha/perusahaan terabaikan, berulang-ulang kejahatan dan pelanggaran pengusaha/perusahaan tidak mendapatkan sanksi pidana melahirkan kerangka normative bahwa terhadap pelanggaran jam kerja, upah kerja lembur, tindakan anti serikat dan berbagai bentuk kejahatan dan pelanggaran pengusaha cukup diselesaikan pada persoalan keperdataan antar pihak.

Mendekati Fajar
LBH Kaltim - Pos Balikpapan, 22 Maret 2010

Komentar

Postingan Populer