Ruyati dan Barbarisme Arab
beberapa tahun lalu ketika awal-awal menjadi anggoa HMI, kami berkesempatan mengenal seseorang alumni yang bekerja sebagai wartawan di Media Indonesia, dia mengenalkan diri dengan nama Katamsi (h). perawakannnya kurus dan tinggi, menurutku dia seorang yang knowledgable, seorang yang baik dalam hal mensedekahkan ilmunya, berbagi pengalaman, juga tidak sungkan-sungkan untuk mentraktir kami anak-anak yang sering ngumpul di sekretariat HMI.
banyak fikiran-fikiran mapan kami ketika berhadapan dengan dia seperti mengalami ujian, digoyahkan kemudian diberi kesadaran baru. hingga saat ini saya masih ingat sebuah pertanyaan/pernyataanya yang menohok fikiranku, dalam satu diskusi dia pernah bertanya "dalam islam seorang yang mencuri hukumannya apa" dengan gagah kami menjawab "Qisas (potong tangan", kemudian bang katamsi melanjutkan "jika ada seorang miskin mencuri hak milik orang kaya seperti apa hukumnya?", dengan percaya diri, penuh kepastian kami menjawab "ya di potong bang", "kenapa bukan si orang kaya yang di potong tangannya?" tanyanya lagi dengan provokatif,"loh diakan korban, kenapa dia yang harus dihukumi" jawab kami bertahan.
"bagaimana kalo si orang kaya yang harta bendanya di curi oleh si miskin yang tetangganya (mungkin), adalah orang yang selama hidupnya tidak pernah memperhatikan tetangganya, dia tidak pernah mau tahu apakah tetanggannya bisa makan, atau memiliki sesuatu yang dimakan atau tidak, jika realitas seperti itu, apakah si miskin yang mencuri harta orang kaya (individualis) tersebut harus dipotong tangannya?" pernyataan tersebut membuat kami terbata-bata, kami ragu, pandangan kami digoyahkan, "jika keadaanya seperti itu seharusnya si kaya tersebut yang seharusnya dipotong tangannya, karena dia tidak pernah mau mengetahui keadaan sekitarnya, dia hidup terpisah dari realitas disekitarnya".
diskusi itu masih membekas, selanjutnya saya dan mungkin kawan-kawan yang hadir dalam diskusi itu berkesimpulan, bahwa penerapan hukum Islam tidak bisa memindahkan hukum di buku kepada lapangan kenyataan, penerapan hukum Islam harus objektif, potong tangan bisa diterapkan ketika sistem keadilan sosial telah dilakukan, sebagai contoh ketika penguasa (negara) telah mengatasi hal-hal yang menyebabkan rakyatnya harus mencuri maka hukum potong tangan bisa berlaku, bagaimana jika sebaliknya penerapan hukum potong tangan di negara yang belum menciptakan keadilan sosial bagi rakyatnya. contoh konkrit, dari beberapa literatur dan informasi yang saya terima Iran (negara para mullah) menerapkan sistem hukum Islam, secara bersamaan mereka juga membangun infrastruktur hukum yakni peningkatan kesejahteraan sosial, Iran menjaminn keterjangkauan akses kesehatan, pendidikan bagi rakyatnya melalui dana-dana khumus dan dana negara, mereka memberikan permodalan bagi warganya yang menikah.
sumber atau sebab musabab yang dapat melahirkan seseorang menjadi kriminal telah diputus oleh negara lewat program-program tersebut, hal ini sejalan dengan ungkapan seorang sahabat nabi yang dikenal sebagai Demonstran Abu Dzar Al Gifari, jika kemiskinan masuk lewat pintu depan rumahmu maka agamamu akan keluar lewat pintu belakang, kemiskinan akan menjauhkan orang dari agamannya, yang dapat melahirkan seseorang bertindak melawan fitrah kemanusiaannya.
konteks Ruyati
beberapa waktu ini perasaan kemanusiaan kita dinistakan dengan berita hukum pancung terhadap Ruyati, tenaga kerja asal Indonesia yang mencari rezeki di tanah Arab, bukan uang yang dia bawa pulang untuk anak-anaknya, sebaliknya kabar duka untuk negeri ini. Ruyati, dihukum atas dakwaan membunuh majikannya, tapi apakah pengadilan arab sudah memeriksa bahwa jauh sebelum ruyati membunuh majikannya, perasaan kasih sayang ruyati untuk mencintai majikannya telah dibunuh terlebih dahulu oleh majikannya dengan perlakukan kejam, selama beberapa waktu bekerja gajinya tidak diberikan, ketika berpuasa dia tidak mendapatkan makanan berbuka, kerap disiksa dan dilecehkan hak-haknya sebagai manusia.
mungkin akan adil Ruyati di hukum pancung jika apa yang menjadi haknya sebagai tenaga kerja telah dipenuhi oleh majikannya dan dia tetap melakukan kejahatan tersebut, menjadi tidak adil ketika dia bekerja ditengah pengkebirian hak kemudian hidupnya berakhir ditangan penyamun. perlawanan yang dilakukan Ruyati dan mungkin beberapa tenagakerja indonesia yang akan bernasib sama dengan dia disebabkan karena Arab tidak menjamin perlindungan terhadap tenagakerja oleh majikannya, hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi bengis tidak datasi, berbeda dengan penerapan hukum Islam di Iran.
sehingga penerapan hukum Islam yang terjadi di Arab tanpa bersandar pada objektifitas pada dasarnya hanya sebagai alat pembunuh, legalisasi praktek penistaan kemanusiaan, dengan di hukumnya Ruyati dan tidak terlindunginya hak-hak normatif tenagakerja Indonesia di Arab hanya akan melegalisasi kekerasan terhadap pekerja domestik Indonesia di tanah Arab, karena perbuatan membela diri yang dilakukan tengakerja dianggap melawan hukum dan perbuatan kriminal majikan (arab) terhadap pembantunya (indonesia) adalah hak.
sekali lagi negara seperti dipecundangi, terkait dengan persoalan tenagakerja indonesia negara seolah-olah hanya hadir jika berhubungan dengan kepentingannya yakni devisa, sebaliknya negara kehilangan peran ketika berhubungan dengan perlindungan terhadap hak-hak buruh migran tersebut, dan seolah-olah ungkapan Eep Saifulah Fatah benar, bahwa publik kerap kali tidak mendapat pengakuan dalam republik.
"kemanusiaan itu satu, semua orang pasti tersinggung terhadap segala bentuk penistaan terhadap manusia" (Soekarno)
salam
banyak fikiran-fikiran mapan kami ketika berhadapan dengan dia seperti mengalami ujian, digoyahkan kemudian diberi kesadaran baru. hingga saat ini saya masih ingat sebuah pertanyaan/pernyataanya yang menohok fikiranku, dalam satu diskusi dia pernah bertanya "dalam islam seorang yang mencuri hukumannya apa" dengan gagah kami menjawab "Qisas (potong tangan", kemudian bang katamsi melanjutkan "jika ada seorang miskin mencuri hak milik orang kaya seperti apa hukumnya?", dengan percaya diri, penuh kepastian kami menjawab "ya di potong bang", "kenapa bukan si orang kaya yang di potong tangannya?" tanyanya lagi dengan provokatif,"loh diakan korban, kenapa dia yang harus dihukumi" jawab kami bertahan.
"bagaimana kalo si orang kaya yang harta bendanya di curi oleh si miskin yang tetangganya (mungkin), adalah orang yang selama hidupnya tidak pernah memperhatikan tetangganya, dia tidak pernah mau tahu apakah tetanggannya bisa makan, atau memiliki sesuatu yang dimakan atau tidak, jika realitas seperti itu, apakah si miskin yang mencuri harta orang kaya (individualis) tersebut harus dipotong tangannya?" pernyataan tersebut membuat kami terbata-bata, kami ragu, pandangan kami digoyahkan, "jika keadaanya seperti itu seharusnya si kaya tersebut yang seharusnya dipotong tangannya, karena dia tidak pernah mau mengetahui keadaan sekitarnya, dia hidup terpisah dari realitas disekitarnya".
diskusi itu masih membekas, selanjutnya saya dan mungkin kawan-kawan yang hadir dalam diskusi itu berkesimpulan, bahwa penerapan hukum Islam tidak bisa memindahkan hukum di buku kepada lapangan kenyataan, penerapan hukum Islam harus objektif, potong tangan bisa diterapkan ketika sistem keadilan sosial telah dilakukan, sebagai contoh ketika penguasa (negara) telah mengatasi hal-hal yang menyebabkan rakyatnya harus mencuri maka hukum potong tangan bisa berlaku, bagaimana jika sebaliknya penerapan hukum potong tangan di negara yang belum menciptakan keadilan sosial bagi rakyatnya. contoh konkrit, dari beberapa literatur dan informasi yang saya terima Iran (negara para mullah) menerapkan sistem hukum Islam, secara bersamaan mereka juga membangun infrastruktur hukum yakni peningkatan kesejahteraan sosial, Iran menjaminn keterjangkauan akses kesehatan, pendidikan bagi rakyatnya melalui dana-dana khumus dan dana negara, mereka memberikan permodalan bagi warganya yang menikah.
sumber atau sebab musabab yang dapat melahirkan seseorang menjadi kriminal telah diputus oleh negara lewat program-program tersebut, hal ini sejalan dengan ungkapan seorang sahabat nabi yang dikenal sebagai Demonstran Abu Dzar Al Gifari, jika kemiskinan masuk lewat pintu depan rumahmu maka agamamu akan keluar lewat pintu belakang, kemiskinan akan menjauhkan orang dari agamannya, yang dapat melahirkan seseorang bertindak melawan fitrah kemanusiaannya.
konteks Ruyati
beberapa waktu ini perasaan kemanusiaan kita dinistakan dengan berita hukum pancung terhadap Ruyati, tenaga kerja asal Indonesia yang mencari rezeki di tanah Arab, bukan uang yang dia bawa pulang untuk anak-anaknya, sebaliknya kabar duka untuk negeri ini. Ruyati, dihukum atas dakwaan membunuh majikannya, tapi apakah pengadilan arab sudah memeriksa bahwa jauh sebelum ruyati membunuh majikannya, perasaan kasih sayang ruyati untuk mencintai majikannya telah dibunuh terlebih dahulu oleh majikannya dengan perlakukan kejam, selama beberapa waktu bekerja gajinya tidak diberikan, ketika berpuasa dia tidak mendapatkan makanan berbuka, kerap disiksa dan dilecehkan hak-haknya sebagai manusia.
mungkin akan adil Ruyati di hukum pancung jika apa yang menjadi haknya sebagai tenaga kerja telah dipenuhi oleh majikannya dan dia tetap melakukan kejahatan tersebut, menjadi tidak adil ketika dia bekerja ditengah pengkebirian hak kemudian hidupnya berakhir ditangan penyamun. perlawanan yang dilakukan Ruyati dan mungkin beberapa tenagakerja indonesia yang akan bernasib sama dengan dia disebabkan karena Arab tidak menjamin perlindungan terhadap tenagakerja oleh majikannya, hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi bengis tidak datasi, berbeda dengan penerapan hukum Islam di Iran.
sehingga penerapan hukum Islam yang terjadi di Arab tanpa bersandar pada objektifitas pada dasarnya hanya sebagai alat pembunuh, legalisasi praktek penistaan kemanusiaan, dengan di hukumnya Ruyati dan tidak terlindunginya hak-hak normatif tenagakerja Indonesia di Arab hanya akan melegalisasi kekerasan terhadap pekerja domestik Indonesia di tanah Arab, karena perbuatan membela diri yang dilakukan tengakerja dianggap melawan hukum dan perbuatan kriminal majikan (arab) terhadap pembantunya (indonesia) adalah hak.
sekali lagi negara seperti dipecundangi, terkait dengan persoalan tenagakerja indonesia negara seolah-olah hanya hadir jika berhubungan dengan kepentingannya yakni devisa, sebaliknya negara kehilangan peran ketika berhubungan dengan perlindungan terhadap hak-hak buruh migran tersebut, dan seolah-olah ungkapan Eep Saifulah Fatah benar, bahwa publik kerap kali tidak mendapat pengakuan dalam republik.
"kemanusiaan itu satu, semua orang pasti tersinggung terhadap segala bentuk penistaan terhadap manusia" (Soekarno)
salam
Komentar
Posting Komentar