Mendongeng
#BorneoOnsdonateCharity
Foto by Borneons Donate |
Minggu 1 Juli 2012, untuk
kesekian kalinya saya menantang diri untuk melakukan hal-hal diluar
kebiasaan, kali ini saya tampil membacakan dongeng di acara Charity Bazaar & Pentas Seni yang diadakan oleh Borneons Donate.
Menurut saya saat itu saya tidak sedang mendongeng, karena mendongeng (masih menurut saya) menceritakan hal-hal fiksi, karena pada kesempatan tersebut saya membacakan cerita (berbau sejarah) tentang tentang kehidupan anak perempuan Rasulullah SAW, salah satu dari 4 (empat) perempuan mulia di dunia, di Fatimah az Zahra, maka apa yang saya lakukan bisa disebut dengan bercerita. hah ribet banget sich!!!
Menurut saya saat itu saya tidak sedang mendongeng, karena mendongeng (masih menurut saya) menceritakan hal-hal fiksi, karena pada kesempatan tersebut saya membacakan cerita (berbau sejarah) tentang tentang kehidupan anak perempuan Rasulullah SAW, salah satu dari 4 (empat) perempuan mulia di dunia, di Fatimah az Zahra, maka apa yang saya lakukan bisa disebut dengan bercerita. hah ribet banget sich!!!
Keterlibatan saya sebagai pengisi
acara tersebut sebenarnya di luar dugaan, teman saya, Muhammad Wahdini (selanjutnya Adin) yang melangsungkan
pernikahan di jakarta pada tanggal yang sama pada saat saya tampil, pada awalnya meminta
saya untuk mengisi dongeng di acara tersebut, sekitar 2 minggu sebelum acara
dilaksanakan. Permintaan kawan saya ini sulit untuk saya tolak karena berbau
perintah, selain itu setidaknya ada 2 (dua) alasan yang membuat saya tidak
sampai hati menolak, pertama malam ketika
berkumpul dengan Adin, Agus dan Hadi di Lampin Pohon saya sempat berujar “bahwa
saya sulit berkata tidak”, pernyataan itu dimanfaatkan Adin dengan menodong
saya untuk menjadi salah satu pengisi di acara yang diadakan Borneons Donate, karena
kata sudah terucap maka saya harus mengiyakan permintaan Adin, kedua ini kesempatan untuk mengeksplor
kemampuan saya dalam hal bercerita/mendongeng, mendongeng/bercerita yang biasa saya lakukan
di ruang privat di hadapan anak-anak saya ketika mereka hendak tidur atau
ketika mereka meminta, kali ini saya lakukan di ruang publik.
Sampai dengan 4-H penyelenggara
kegiatan belum menghubungi saya sampai akhirnya tanggal 28 Juni 2012, salah
seorang penyelenggara, Fajri, menghubungi dan meminta kesediaan saya mendongeng tanggal
1 Juli 2012 persis seperti yang diutarakan Adin, dengan keterbatasan hari dan persiapan akhirnya saya tidak memilih
untuk mendongeng, saya memilih untuk menceritakan satu frame kehidupan sayidah
Zahra (salamullahi alaiha), Fajri pun tidak protes dengan rencana saya
tersebut.
Meskipun pendengar dongeng pada
saat itu masuk dalam kategori anak-anak (menurut undang-undang perlindungan
anak, masih berada di bawah 18 tahun) saya tidak bisa melepaskan diri dari rasa
gugup, karena di areal tempat dilangsungkannya acra tersebut juga terdapatyt pengunjung
yang masuk kategori remaja dan dewasa. Berbekal bismillah, sholawat dan tawasul
kepada az Zahra saya menaiki panggung 3x3 m sesaat setelah pembawa acara selesai mengucapkan kata-kata
yang terdapat nama saya di dalamnya “kita panggil kak Hari untuk membacakan
dongeng untuk kita semua”.
Demam gugup yang saya rasakan di bawah panggung ternyata tidak
terlalu lama menghinggap, begitu di atas panggung dan berhadapan dengan
mata-mata polos anak-anak di bawah umur dan
pengunjung Bazar tersebut tidak membuat saya bergeming
kemudian mundur, sebaliknya kepercayaan diri saya semakin menebal ketika melihat tatapan
mata penuh harap dan antusias ketika saya menyampaikan resume cerita, membuat saya menjadi bersemangat untuk mengeksplor bakat yang selama ini hanya diketahui oleh Istri dan kedua anak say.
Kemudian dengan bekal pengalaman
di ruang privat berhadapan dengan anaka-anak dan istri, saya mencoba mengalunkan
untaian kata-kata yang terdapat dalam 2 (dua) lembar kertas HVS. Semenit
berlalu, sambil membaca dan mengalunkan nada-nada saya menyaksikan mata-mata
yang sedang menonton dengan berbagai kesan, ada yang merasa bosan khusunya mereka yang berumur 7
(tujuh) tahun ke bawah bisa jadi karena cerita yang saya sampaikan tidak masuk
dalam segmen kuping mereka, ada yang memperhatikan dengan kerutan dahi dalam
perhitungan saya yang berumur antara 7 (tujuh) sampai dengan 15 (lima belas)
tahun: bahasa yang saya gunakan terlalu rumit, ada yang manggut-manggut
tercerahkan yang ini khusus laki-laki dewasa mereka bersemangat karena dalam
cerita tersebut digambarkan bahwa perempuan yang mulia adalah ketika dia dengan
tulus kasih berkenan melayani suaminya dari pagi hingga malam, ada yang
geleng-geleng tanda protes yang ini diwakili remaja dan pejuang perempuan (dengan dandanan
pop) karena figur az Zahra yang saya bacakan jauh dari harapan mereka yang liar
dan penuh hasrat dunia, dan yang terakhir ibu-ibu yang sudah berumur (diatas 40 tahun) pendengar yang
ini termasuk yang manggut-manggut tercerahkan karena bisa jadi mereka adalah orang yang selama
ini sedikit banyak mempraktikan apa yang dipraktikan az Zahra dalam cerita yang
saya bacakan.
Perlahan tapi pasti akhirnya
episode hidup sebagai pendongeng menemukan perhentiannya, dan ketika saya katakan "demikian cerita ini" wajah anak di bawah 7 tahun dan perempuan yang menggeleng protes pun sumringah,
ekspresi yang wajar menurutku, karena 10 menit keberadaanku bisa jadi mengintimidasi
mereka dari berbagai rencana, maklum dalam proses pembacaan seperti ini tidak ada tanya jawab sehingga suka atau tidak suka mereka harus tabah mendengarkan, apalagi ketika posisi mereka sebagai penyelenggara merupakan kewajiban untuk memberikan sikap simpatik bukan sebaliknya. Secara keseluruhan saya bahagia bisa
menjadi bagian dari acara tersebut.
Yang membuat saya bahagia ketika turun dari panggung seorang ibu muda (saya lupa namanya) sempat memberikan apresiasi yang baik kepada saya.“Mas Hari kalo mendongeng, bercerita perlu waktu berapa lama?” katanya dengan wajah yang sangat apresiatif. Ditanya seperti itu aku kebingungan, seketika aku melirik teman saya, Agus, dia hanya tersenyum, “hemmm saya kurang tahu mba untuk waktu, mendongeng yang saya lakukan barusan pengalaman saya yang pertama loh mba” kataku dengan berbisik kepadanya, diikuti ekspresi tidak percaya pada wajahnya, “tapi berceritanya seperti orang yang sudah sering (berpengalaman, tafsir penulis yang ke Ge-eR an)!!!” jawabnya.
Yang membuat saya bahagia ketika turun dari panggung seorang ibu muda (saya lupa namanya) sempat memberikan apresiasi yang baik kepada saya.“Mas Hari kalo mendongeng, bercerita perlu waktu berapa lama?” katanya dengan wajah yang sangat apresiatif. Ditanya seperti itu aku kebingungan, seketika aku melirik teman saya, Agus, dia hanya tersenyum, “hemmm saya kurang tahu mba untuk waktu, mendongeng yang saya lakukan barusan pengalaman saya yang pertama loh mba” kataku dengan berbisik kepadanya, diikuti ekspresi tidak percaya pada wajahnya, “tapi berceritanya seperti orang yang sudah sering (berpengalaman, tafsir penulis yang ke Ge-eR an)!!!” jawabnya.
Ekspresi kaget serta kata-kata
yang meluncur dari mulutnya “tapi
berceritanya seperti orang yang sudah sering (berpengalaman, tafsir penulis
yang ke Ge-eR an)!!!” membuat saya takjub, senang dan bersyukur ternyata saya
bisa melewati tantangan ini, alhamdulillah, dengan metode menarik kesimpulan yang
sesat, saya menggenarilisir bahwa ungkapan perempuan tersebut mewakili perasaan
pendengar terhadap penampilan saya, he he he.
menarik tuh..
BalasHapustengkiyu bro
BalasHapus