Rengekmu
Suatu ketika saat pulang kerja,
anakku yang paling gede, Raisah Zahra menyambutku dengan pertanyaan yang
membuatku geli “Pa kata Raisya (teman sekolahnya yang kebentulan bertetanggaan
dengan kami) waktu kami pergi ke resdes bapak duduk di tangga nangis pandangi
foto kami, benar kah pa, Pokoknya aku gak mau lagi ninggalin Bapak ma, kalo ke
resdes Bapak harus ikut pokoknya” katanya dengan wajah ingin tahu yang diakhiri
dengan guratan wajah simpatik.
Mendengar itu, dalam hati aku tertawa,
masa aku sedramatis itu sich, tapi aku pahami pertanyaan dan pernyataanya
menyiratkan rasa sayangnya terhadapku, meski informasi yang disampaikan Raisya,
temanya sesuatu yang gak benar, “seperti sinetron aja” gumamku di hati. Tapi
saya harus memberi jawaban, “ah bisa aja, ialah kalo kalian pergi lama Bapak
Pasti Kangen, tapi gak segitunya kali” jawabku sambil tertawa,”ah bapak bohong,
bapak itu nangis sambil pandangin foto kami ” katanya dengan mimik serius kali
ini dengan guratan wajah yang agak mengolok dan memojokan, seolah-olah aku
pelaku kejahatan yang gak mau mengakui apa yang kuperbuat.
Selang beberapa lama, disebabkan
siswa kelas 6 (enam) melaksanakan ujian akhir sekolah pada tanggal 19 sampai
dengan 21 Mei 2014, kelas 1 sampai dengan 5 Sekolah Dasar diliburkan selama 3
(tiga) hari, seperti biasa libur sekolah selalu dimanfaatkan mereka untuk ke
resdes, apalagi saudara perempuan istriku (ipar) meminta mereka untuk pulang,
dua malam ditinggal istri dan kedua anakku rasa kangenku terhadap mereka terkhusus
kedua anakku begitu menderu, aku merasakan sulit tidur, sesekali kupandangi
peraduan tempat biasa mereka beristirahat dan bermain, bahkan kutiduri tempat
mereka itu, kerinduankupun semakin menjadi, hampir-hampir air mata menetes
karena rindu kepada mereka.
Keesokan harinya ketika istriku
menelepon menanyakan kabarku yang membujang, aku sempatkan untuk ngobrol dengan
anakku yang paling besar, seperti biasa ketika ngobrol dengan anak-anakku hal
pertama yang kuminta sebelum memulai obrolan meminta mereka mengucap holawat,
setelah itu kusampaikan kepadanya tentang rindu yang kurasakan kepada mereka,
secara mendetail, tentang aku yang tidur ditempat tidurnya, sampai dengan rasa
rindu yang nyaris membuat air mataku tumpah, sontak dia berteriak “Kan Ma betul
ma, betul kata Risya, bapak itu nangis kalo kita tinggal” teriaknya kepada
mamanya berulang-ulang (seolah apa yang disampaikan Raisya temanya tentang aku
yang menangis ditangga sambil melihat foto mereka adalah benar).
Istriku juga menyampaikan bahwa
kedua anak kami di resdes sedang demam, kebetulan juga pada saat yang sama aku
mengalami demam tapi tidak kusampaikan ke Istriku, “Kontak batin kali anak
dengan bapak” kataku kepada Istriku, disaat anak-anaknya mengalmi demam
bapaknya mengalami kerinduan, persis dimalam dimana kerinduanku memuncak, kedua
anakku juga sulit tidur karena demam kata istriku.
Sore harinya ketika istriku
menelepon, dia sampaikan bahwa anakku menangis sesaat setelah komunikasi kami. Mengetahui
bahwa dia menangis dengan apa yang kusampaikan aku merasakan getaran cintanya
kepadaku, cinta anak yang tulus kepada Bapaknya. Meskipun aku sering marah
dengan anakku mengetahui tulus cintanya kepadaku membuatku sedih mengingat sikap
kasarku terhadapnya, ingatanku pun melayang pada peristiwa saat dia berumur
tiga tahun, saat bekerja disalah satu Bank Perkreditan Rakya di Bontang, dia
selalu menangis ketika mendegar bahwa aku sedang sakit.
Balikpapan, 20 Mei 2014
03.29 Dini Hari
Marahlah kepada anak dengan tujuan yang baik, Suatu saat ketika dewasa anak akan mengerti dengan apa yang kita lakukan.
BalasHapusSalam hangat dari Balikpapan.