Politik Hukum Tentang Pemilihan Presiden Pasca Reformasi




Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) telah mengalami perubahan sebanyak 4 (empat) kali, Perubahan terhadap UUD terjadi setelah reformasi bergulir pada tahun 1997, perubahan pertama terjadi pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan ketiga pada 9 November 2001 dan Perubahan keempat pada 11 Agustus 2002. Perubahan terhadap UUD terletak pada perubahan dan penambahan pasal-pasal pada batang tubuhnya, disebabkan UUD merupakan dasar dan sumber hukum peraturan perundang-undangan sehingga perubahan terhadapnya melahirkan konsekuensi logis salah satunya pada proses pemilihan presiden dan wakil presiden yang berbeda dengan pemilih presiden dan wakil presiden sebelum reformasi.


Pada UUD 1945 sebelum perubahan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Vide Pasal 6 UUD NRI 1945 sebelum perubahan) sedangkan mengenai tata cara pemilihannya diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: II/MPR/1973. Sedangkan Pasca reformasi, berdasarkan UUD 1945 Perubahan yang kempat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur melalui undang-undang. Tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pasca Reformasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945  (vide pasal 6 ayat (2)) untuk pertama kali diatur dalam Undang-undang Nomor selanjutnya diatur mealui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan  Wakil Presiden, kemudian tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008.

Terdapat perbedaan mendasar mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sebelum reformasi dalam hal ini pada masa orde baru dengan setelah reformasi, pada masa ordebaru pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sedangkan pasca reformasi melalui Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Format Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui Pemilihan Umum yang memberikan kesempatan kepada masyarakat yang memenuhi syarat untuk memilih calon-calon presiden.

Perubahan sistem Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pasca reformasi merupakan pengejawantahan hukum responsive yang melihat situasi masyarakat Indonesia pada massa ordebaru yang tidak mendapatkan keadilan dalam hal pemenuhan hak-hak sipil dan politiknya sebagai warga, yang mana pada masa ordebaru instrument hukum dan alat-alat Negara diarahkan untuk melindungi dan menyokong kepentingan kelompok tertentu. Situasi tersebut oleh Eep Saefullah digambarkan bahwa praktek hukum pada massa orde baru cenderung menyebabkan publik tidak mendapatkan tempat dalam republik.

Dengan pemilihan umum terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang telah dilaksanakan 2 (dua) kali yakni pada tahun 2004 yang bersandar pada Undang-undang 23 tahun 2003 dan pada tahun 2009 dengan bersandar pada Undang-undangan Nomor 42 tahun 2008, sangat jelas bahwa semangat pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan di Indonesia adalah dalam rangka menjunjung tinggi semangat kebebasan dan keterbukaan serta demokratisasi baik pada tataran eksekutif, legeslatif serta masyarakat Indonesia pada umumnya, meskipun dalam praktiknya proses pembuatan dan pelaksanaannya masih di jumpai penyimpangan-penyimpangan yang mengurangi nilai-nilai keadilan dan demokratisasi.

Perubahan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pasca reformasi merupakan semangat yang menurut penulis dilatar belakangi oleh dua faktor, yakni faktor internal (dalam negeri) dan faktor eksternal (luar negeri). Faktor internal berasal dari keinginan kuat individu, keinginan partai politik, keinginan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Bagi Individu yang mendorong kuat perubahan sistem sebagai upaya untuk membangun posisi vis a vis dengan orde baru sehingga tidak melekat identitas orde baru setelah reformasi bergulir, begitu juga dengan partai politik yang mendorong perubahan sistem dilatarbelakangi melepaskan indentitas ordebaru yang pada saat reformasi dipersepsi sebagai orde yang buruk sehingga penting mengambil peran searah dengan semangat seluruh masyarakat pada saat reformasi bergulir, bagi LSM upaya mendorong perubahan memang merupakan sesuatu yang diperjuangkan sejak lama.  

Sedangkan faktor eksternal yang mempegaruhi perubsahan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden, merupakan upaya untuk merubah persepsi otoritarinisme Indonesia yang dilekatkan pada Indonesia selama ordebaru menjadi kekuasaan demokratik, dengan demikian dapat melahirkan simpatik dunia Internasional terhadap Indonesia sehingga dapat membaikan hubungan luar negeri Indonesia dengan Negara-negara yang selama ini mendorong demokratisasi yang umumnya adalah Negara maju.

Meskipun demikian perubahan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia membawa Indonesia pada liberalisasi politik, karena dengan sistem yang demikian masyarakat menjadi pasar bagi figur pemimpin, konsekuensinya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh seseorang yang hendak menjadi Presiden dan Wakil Presiden tentu tidak sedikit, disebabkan masyarakat dalam sistem ini menjadi penentu, sehingga sangat memungkinkan terjadi praktik politik yang tidak mengendepankan nilai-nilai baik dalam berpolitik. Salah satuny dengan membuka keburukan pihak lawan, atau sebaliknya terjadi praktik manipulasi kesadaran, seseorang dipilih bukan karena rekam jejanya yang baik melainkan karena faktor wajah cantik, ganteng, atau karena memiliki kedekatan genetik dengan tokoh-tokoh terpandang. 

Meskipun banyak kritik yang lahir terhadap pratek liberalisasi politik di Indonesia pasca reformasi tentunya keadaan ini akan terus bergerak pada satu keadaan Ideal, karena dialektika sistem politik dengan masyarakat, akan melahirkan tesis baru apabila dirasa tidak ideal maka akan lahir anti tesis, kemudian ketidakidealan ini dapat berlanjut pada lahirnya sintesis, sampai pada terwujudnya cita-cita konstitusi pada proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. 

Komentar

Postingan Populer