Mencarimu


Kurang lebih 18 tahun lamanya, aku masih penasaran mengartikan sentuhan-sentuhanmu di massa itu, di massa kita berseragam biru putih. kau tahu, ketika untuk pertama kali masuk sekolah,  kita duduk tidak berjauhan, kau persis duduk di belakang kursi yang kududuki, di barisan kedua tepatnya, karena memang tubuh kita saat itu mungil, jadi kita mendapat jatah di kursi-kursi terdapan. Pertemuan-pertemuan dan obrolan kecil tentang asal sekolah, pelajaran, dan orang tua menghantarkan kita pada keakraban.


Masih kuingat saat itu, rambutmu panjang terurai dengan poni menutupi kening, kau memiliki senyum yang indah, dengan bibir yang disulam warna merah, tanpa gincu atau penghias bibir, kulitmu putih hanya disapu dengan pupur, tanpa sapuan merek mahal, karena memang di zaman itu, baik lelaki atau perempuan berpenampilan sangat natural, meskipun demikian kau begitu anggun. Kau punya senyum sempurna, jalanmu penuh percaya diri, tatap matamu magis memendarkan cahaya yang membuat siapa saja menjadi tidak berdaya, termasuk aku.

Entah, mungkin aku yang terlalu GR (gede rasa), meski keramahan kau berikan pada semua orang tapi aku tetap merasa bahwa perhatianmu lebih terhadapku, aku ingat perhatianmu ketika aku mengganti sepatu robekku yang tidak layak itu, kau satu-satunya yang menyinggung tentang sepatu pengganti yang kugunakan, meskipun sepatu pengganti yang kugunakan itu bukan baru hanya sediikit lebih baik dari yang sebelumnya, reaksiku saat itu kasar terhadapmu, tapi kamu tetap tersenyum, perhatianmu tidak berubah, sorot matamu tetap menawan, senyummu tetap merekah terhadapku.

Sentuhan-sentuhan kecilmu di masa itu kerap membuatku menaruh banyak harap, tanpa sadar aku sering tersenyum kecil, kau tahu, di masa itu aku hanya seorang cowo baru gede yang belum sunat, yang tidak memiliki kepercayaan diri dalam membangun komunikasi dengan perempuan, apalagi perempuan itu kamu, dengan rambut panjangmu, bibir merah yang selalu merekahkan senyum, lesung pipit kecil yang bertengger di pipi, tatapan mata bersahabat dan penuh kasih, ketika melukiskanmu aku membayangkan sebuah mawar merah merekah dengan kelopak segar terhampar dengan percik air di atasnya.

Menginjak tahun ke 2, kau pindah, para kumbang-kumbang yang selama ini ingin hinggap tetapi tidak pernah kau berikesempatan mengatakan kau pindah ke Balikpapan.  Balikpapan, dalam pandanganku kota yang teramat luas selalu membuatku takut untuk menginjakan kaki di Kota ini, karenanya aku tidak pernah pergi sendiri ke kota ini, takut hilang dalam hingar bingar, selalu bersama orangtuaku atau teman-teman yang mengerti benar tentang Balikpapan. Pernah satu ketika kita bertemu di Balikpapan di salah satu Toko Buku besar yang terletak di Plasa Balikpapan selang beberapa lama setelah kau pindah, kita bertemu, seperti biasa kau memberikan senyum istimewa itu padaku, rambutmu masih sama, lurus dengan poni menutup kening, pipimu masih berlesung, bibirmu masih bersulam warna merah yang merekah, aku terpesona, tapi aku tetap tidak mampu berkata-kata, berbasa-basi atau menyapamu, hingga kau berlalu dan hilang di pelupuk mataku.

Sudah 18 tahun berlalu, bayangan masa SMP masih terlalu jelas untuk dihapus. ketika dunia komunikasi bergeser dari Seluler ke Sosial Media, dan ketika untuk pertama kalinya aku akrab dengan dunia internet kucoba mencarimu, pada mesin pencari Google yang ternama itu, kuketik namamu kutemukan 533.000 hasil yang berhubungan dengan namamu, kudapati berita korban perkosaan dengan namamu, pelaku bom bunuh diri dengan namamu, perselingkuhan dengan namamu, cerpen yang mengharubiru dengan namamu, korban perkosaan dengan namamu, pembantu dengan namamu bahkan sampai dengan cerita yang berbau seks yang turut mencatut namamu. Aku marah dengan Google karena kau digambarkan berbeda dengan apa yang kutahu tentangmu, ingin rasanya kutuntut user blog, web yang mencatut namamu dalam cerita perselingkuhan, bunuh diri, perempuan haus seks yang mencatut namamu, di muka pengadilan biar mereka tahu rasa.  

Sekira tahun 2009 aku memiliki akun Facebook, lagi aku mengetik namamu pada pencarian facebook yang terletak di sudut kiri atas pada halaman facebookku, kuketik namamu disana, banyak akun yang muncul, mulai kuperiksa, kusadari caraku mencarimu harus dipersempit, akhirnya kutuliskan namamu dengan menambahkan nama sekolah kita, semakin sedikit akun facebook atas namamu yang muncul, kemudian kuperika satu persatu melalui koleksi foto dan dengan siapa akun atas namamu itu berteman, lagi-lagi dan lagi aku tak menemukanmu. Cara yang sama  kugunakan di twitter, line, whats app, sosial media lainnya kucari kau hasilnya sama seperti yang kutemukan dalam Google dan Facebook. Bahkan pencarianku tidak berhenti di sosial media, bahkan sampai pada pencarian di dunia mimpi alhasil hanya bercak mimpi dicelanaku yang kutemukan kala bangun pagi.

Aku sangat berharap dapat menemukanmu, tetapi hanya kegagalan yang aku dapati, aku benar-benar tidak bisa menemukanmu. Sudah wafatkah kamu tapi dimana kuburnya gossip dari para kumbang tentang kematianmu tidak sampai ketelingaku, atau kau kini sudah masuk kelompok Islam garis keras yang menganggap sosial media yang merupakan produk bangsa kafir itu sebagai sesuatu yang “haram” sehingga kau menjauhkan diri dari itu, atau kau kini kau masuk kedalam kelompok konservatif yang mengkritik sosial media sebagai penyebab manusia menjadi anti sosial, atau kau bekerja pada kekuasaan yang mewaspadai sosial media yang belakangan menjadi pemantik revoulusi baru di Timur Tengah, sehingga kau tak punya akun baik di Facebook, twiter, whatsapp, line dan sebagainya sehingga begitu sulit mencarimu.

Kuputuskan untuk mengakhiri pencarianku, ingin kusampaikan padamu bahwa ada kata-kata yang belum sempat kuutarakan, yang seharusnya kusampaikan pada saat pertemuan kita, tapi kau tahu saat itu aku hanya seorang lelaki yang belum sunat, belum memiliki kepercayaan diri yang tangguh seperti sekarang, tapi ketahuilah, jika kita ketemu akan kusampaikan kata-kat itu, kata-kata yang terpendam begitu dalam, yang membuatku resah, gelisah sepanjang massa, hingga mandi basah, kau tahu jika ketemu akan kukatakan padamu “Maaf telah menendangmu saat kau singgung soal sepatuku dulu, aku tidak tahu cara bereaksi yang baik atas pujian” itu yang ingin kukatakan.

Balikpapan, 10 Mei 2014


HD

Menulis ditengah sedikit kesibukan

Komentar

Postingan Populer