Peluh Yang Memulihkan

Cerita tetang bagaimana seorang aktivis kampus memutuskan pensiun dari mahasiswa selalu menarik untuk dituliskan, begitu juga dengan pencapaian seorang aktivis dalam dunia paska kampus, dalam karirnya dikehidupan nyata. Aktivis, merupakan gambaran dari kegelisahan, kemarahan, kepedulian, hasrat, kritis, piawai, pergerakan dan perubahan. terkait gambaran tersebut ada dua aktivis yang kukenal yang kegelisahanya perlu dicatat pertama Wamustofa Hamzah, pertanggal 2 September 2016 telah pensiun sebagai aktivis mahasiswa Universitas Balikpapan karena telah merengkuh gelar sarjana hukum, dan kedua Dr. Piatur Pangaribuan, S.H., M.H., C.LA seorang dosen aktivis yang turut membidani lahirnya LBH Universitas Balikpapan kini menjadi Rektor Universitas Balikpapan.

Mengenai Topan, siapa yang tidak mengenal dia, pemuda asal surabaya yang memilih puas menjadi mahasiswa selama kurang lebih 13 tahun, dia merupakan gambaran utuh seorang aktivis, tidak hanya menyandang status yang cukup panjang sebagai mahasiswa, akan tetapi memiliki prestasi, pada satu sisi dia gambaran aktivis mahasiswa pada umumnya yakni mengakhiri kuliah berdasarkan waktu maksimal (diambang batas drop out), disisi lain dia berprestasi dalam catatan saya dia salah satu anggota tim mootcourt peringkat tiga yang diselenggaran Universitas Hasanuddin dan peserta tim debat FH UNIBA juara I yang diselenggarakan Universitas Lambung Mangkurat. Boleh jadi lamanya dia menjalani status sebagai mahasiswa menjadi alasan banyak dosen memprovokasi mahasiswa untuk tidak ikut-ikutan menjadi aktivis kampus, disisi lain harus diingat karena dia seorang aktivis mahasiswa kampus bisa memiliki kebanggaan karena dia turut mengharumkan nama Universitas Balikpapan ditingkat regional kalimantan dan tingkat Indonesia Timur dalam isu hukum.


sebulan dia menjalani pertapaan, melumat berbagai buku di rak HD&CO., menguji perspektifnya, menyeret kami dalam kegelisahan buah hatinya (baca skripsi bukan skripshit) dan akumulasi dari membaca - diskusi tersebut kemudian dirumuskan selama berjam-jam di depan komputernya yang kadang tidak bersahabat, hank atau error tidak pada waktu yang tepat, “cuk, tsuh” katanya jika itu terjadi sembari membakar rokok, menerawang kelangit-langit. Dia begitu gigih mengakhiri statusnya sebagai mahasiswa, betapa pengalaman sebagai demonstran diberbagai event, kritikus diberbagai seminar, penyulut pemikiran di perkaderan seolah adalah penjara yang hendak dilepaskannya. Tidak kudengar suara parau, lengkingan protes atau komentar kritisnya sebagaimana yang kerap dilakukannya dibelakang megafone, hari ini dia begitu gelisah tergambar dari wajahnya, dia tidak nyaman duduk berlama-lama, sesekali keluar ruangan menyulut rokok meredam gundah, dan kusaksikan seganas-ganasnya dia dijalanan menghardik penguasa sebagai demonstran dia tetap seorang mahasiswa yang khawatir dengan dosen-dosennya, pengujinya, hasil dari ujiannya.

Legah tergurat di wajahnya sesaat setelah keluar ruang ujian, dan setelah prosesi yudisium matanya yang biasa menyala kala itu berkaca-kaca, basah, keharuan tergambar, tentu keharuan yang dia rasakan tidak sama dengan mereka yang semasa kuliah hanya sekedar menjadi mahasiswa, keharuan dia tentang keberhasilan menjawab suara sumbang tentang seorang aktivis yang kerap gagal menyelesaikan studi, tentang bagaimana dia melewati berbagai aral utuk mendapatkan gelarnya yang tentu tidak sesulit dengan mereka yang merengkuh gelar sarjana tanpa menanggung beban sebagai manusia zaman, manusia yang gelisah, marah, bergerak, rekatif dalam merespon berbagai perubahan.

Kedua, Dr. Piatur Pangaribuan, S.H., M.H., C.LA (kami memanggilnya bang Piatur), pada tanggal 5 september 2016, dia dilantik sebagai Rektor Universitas Balikpapan, berlatar belakang Advokat, Akademisi dan Aktivis, sebagaimana umumnya aktivis, dia seorang yang responsif dan reaktif terhadap keadaan, teringat diakhir tahun 2012 upaya melahirkan lembaga bantuan hukum (LBH) Universitas Balikpapan (Uniba) kami cetuskan, tanpa basa-basi dia langsung menyambut rencana itu, bersama Pak Mohamad Nasir yang juga berlatar belakang aktivis rancang bangun LBH Uniba dilakukan, Pak Nasir dengan posisinya sebagai dekan FH UNIBA pada saat itu merelakan ruang perpustakaan Fakultas Hukum menjadi markas LBH UNIBA dan bang Piatur yang pada saat itu merupakan sekretaris yayasan, dosen, dan yang sedang menyelesaiakan studi doktoralnya, harus membagi waktunya mengurusi LBH UNIBA sekaligus sebagai advokat pendamping bagi kami anak-anak magang.

Sebagaimana umumnya, jiwa seorang aktivis yang merupakan manusia zaman, dia hadir merespon berbagai keadaan, termasuk dipercaya menjadi Direktur Pascasarjana Uniba dengan target Akreditasi B pada masa kepemimpinannya dan hal itu terengkuh. Dalam kedudukannya sebagai dosen, advokat pendamping, direktur pasca dia juga adalah seorang teman dalam perkembangan generasi awal LBH UNIBA yang kemudian menjadi generasi Advokat Aktivis Akademisi Universitas Balikpapan.

Meski telah menjadi seorang Rektor, tidak ada perubahan pada dirinya, tetap sebagaimana yang kami kenal, masih terusik dengan berbagai permasalahan yang ada di kota balikpapan, dan masih memikirkan tentang keberlanjutan generasi Aktivis Advokat Universitas Balikpapan.

Bulan september tahun ini bersejarah, seorang aktivis telah pensiun menjadi mahasiswa dan bersiap melanjutkan pada jalan profesi, dan seorang lain adalah seorang Aktivis Advokat Akademisi yang menjadi Rektor Universitas Balikpapan. Selamat Untuk Bung Topan dan Bang Piatur Pangaribuan, menjadi aktivis berarti menjadi manusia zaman yang lahir merespon perubahan zamannya. 

Dengan Penuh Hormat

Komentar

Postingan Populer