TATA (DATA) PILKADA
Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 (Pilkada) di Kalimantan Timur telah melahirkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, dan Bupati dan Wakil Bupati yang akan memimpin pemerintahan daerah dalam waktu 5 (lima) tahun kedepan. Relasi antara data pengawasan dengan partisipasi memiliki hubungan yang dapat menggambarkan adanya perlindungan hak pilih dan memilih, sehingga Pilkada memiliki pertanggungjawaban legitimasi yang kuat di Kalimantan Timur.
Data pengawasan merupakan gambaran kristalisasi dari sebuah proses demokrasi sebagaimana diungkapan Robert A Dahl[1], pemilu yang merupakan ciri dari kehidupan demokrasi haruslah menggambarkan tentang suatu proses yang bebas dan adil dimana penghormatan terhadap kebebasan sipil terwujud, dengannya dimungkinkan masyarakat dapat memaksimalkan peluang bagi penentuan nasib sendiri, dalam bentuk kepercayaan kepada calon kepala daerah sebagai pilihan, berdasarkan suara mayoritas untuk memimpin dan menjalankan program.
Perlindungan terhadap kebebasan masyarakat dalam pilkada baik sebagai pemilih atau sebagai peserta dijamin dalam peraturan perundang-undangan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, meskipun demikian pemilihan kepala daerah yang demokratis tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Selain adanya aturan main, pilkada sebagai bagian dari proses demokrasi sebagaimana diungkapan oleh Saiful Mujani[2] bertumpuh pada kualitas pendidikan, dimana kualitas pendidikan pemilih dipercaya dapat memengaruhi bagaimana proses pilkada terlaksana, apakah keterpilihan kepala daerah hasil dari proses manipulasi melalui sentiment SARA, jual beli suara, atau buah dari proses kritis pemilih terhadap visi-misi-Program kerja dan rekam jejak pasangan calon.
Pertanyaannya apakah proses pemilihan kepala daerah yang terjadi di Kalimantan Timur berlangsung secara demokratis yang ditopang pada kepatuhan atas aturan main dan kesadaran kritis pemilih? kita semua dapat menilai, membaca dan menginterprestasikan proses-proses demokrasi tersebut dengan data kinerja pengawas pemilu dalam pelaksanaan pilkada serentak melalui hasil pengawasan, hasil pencegahan, hasil penanganan pelanggaran dan hasil penyelesaian sengketa yang telah dilakukan Pengawas Pemilu pada semua tingkat di Kalimantan Timur.
Budaya Hukum
Banyak catatan pristiwa-pristiwa hukum dimasyarakat yang tidak dapat dijangkau oleh hukum tertulis, boleh jadi hukum tidak dapat mengikuti laju perkembangan modus operandi yang sangat cepat, khususnya dalam pristiwa-pristiwa dalam Pilkada. akan tetapi, kita harus memahami dari sisi legitimasi formal-prosedural maupun subtansial telah melalui proses-proses sistem keadilan pemilu. Ditengah sistem keadilan pemilu yang pada mulanya dimaksudkan sebagai sarana mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu, sekaligus saebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi ketidakberesan yang muncul pada penyelengaraan pemilu dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggarantidak sertamerta terlaksana[3], sistem keadilan pemilu sangat bergantung pada apa yang dikemukakan oleh Friedman[4] yakni struktur hukum (legal structur), substansi hukum (legal substancy), dan Budaya hukum (legal cultur).
Unsur dalam struktur hukum Pilkada secara umum dapat digambarkan adanya Penyelenggara Pemilu, Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Negara Kekuasaan Kehakiman. Unsur dalam substansi hukum dalam penyelenggaraan Pilkada berupa produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, yakni peraturan perundang-undangan, termasuk putusan, keputusan dan ketetapan lainnya yang dikeluarkan oleh struktur hukum. Selanjutnya Unsur dalam budaya hukum dalam penyelenggaraan Pilkada yakni sikap pemilih, penyelenggara, peserta, tim sukses, aparatur pemerintah dan penegak hukum terhadap hukum dan sistem hukum, mencakup kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan.
Dalam sistem hukum in casu sistem keadilan pemilu, budaya hukum merupakan kompenen sistem hukum yang utama, karena kualitas budaya hukum menentukan sistem hukum yang lain (struktur dan substansi) dapat diimplementasikan dalam kenyataan.[5] Dengan demikian peningkatan dan penguatan budaya hukum perlu menjadi perhatian dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi dan mutu pilkada. Peningkatan dan penguatan budaya hukum dilakukan dengan membangun kesadaran literasi dan peningkatan kualitas pendidikan.
Meningkatnya budaya hukum masyarakat dalam kapasitasnya sebagai aktor politik (pengurus partai, anggota dewan perwakilan rakyat daerah), perserta dalam Pilkada, Penyelenggara, Pemilih, Aparat Pemerintah, Penegak Hukum, pemilih dan kepala daerah menjadi dasar terwujudnya proses pemilihan umum yang demokratis, dan menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terpilih memiliki kepercayaan diri dalam menyelenggaran pemerintahan.
Moral Sebagai Benteng
Merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam undang-undang, Pilkada sebagai sarana melahirkan kepemimpinan haruslah dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kepatutan, menghormati harkat martabat manusia dalam satutusnya sebagai pemilih atau yang dipilih, dengan nilai langsung-umum-bebas-rahasia-jujur dan adil (luber jurdil). Agar nilai Liberjurdil terwujud, perancang undang-undang merumuskan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.
Mengingat keterbatasan pada ketentuan yang menjadi dasar untuk menegakan nilai luber Jurdil dalam pelaksanaan Pilkada, kondisi pemilih dengan latar belakang pendidikan, suku, agama, ras, antar golongan (SARA) serta ekonomi merupakan keadaan yang membuka kesempatan pilkada dilaksanakan dengan mengesampingkan ruang kritis pemilih. Pilihan pemilih dipersempit pada hal yang bersifat sentiment SARA dan siapa yang dapat memberikan lebih banyak uang atau materi kepada dirinya.
Dengan latar belakang berbagai peristiwa dalam pilkada (meski tidak pernah terbukti) menjadi tantangan bagi penyelenggara dalam mewujudkan Pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis. Selain mengoptimalisasikan kewenangan sebagai perwujudan sistem keadilan pemilu, pengawas pemilu berkolaborasi dengan berbagai kelompok masyarakat melakukan pendidikan politik, bukan sekedar mengenalkan tentang sistem keadilan pemilu sebagai sarana mengembalikan kemurnian kontestasi dalaml Pilkada, juga mengenalkan kepada masyarakat tentang kontribusi perilaku pemilih yang dapat berdampak pada perilaku kekuasaan yang terpilih dalam menjalankan Pemeritahan Daerah.
Oleh karenanya, selain aturan hukum Pilkada juga harus dirawat dengan menghidupkan Kembali nilai-nilai moral, dimana ketika hukum tidak dapat menjangkau berbagai peristiwa yang dianggap meresahkan dalam kontestasi, moralitas publik menjadi benteng untuk dapat terus menjaga kemurnian pelaksanaan proses seleksi kepemimpinan pemerintah daerah. Sebagaimana pepatah latin “leges sine moribus vanae (law without morals are uslees)” tanpa moral yang baik hukum tidak dapat tegak, tanpa moral yang baik maka maka kedaulatan pemilih dan pilkada demokratis tidak dapat terwujud. [6]
Menjaga Data, Ungkap Fakta
Bagaimana dinamika penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2024 di kaltim, terkait dengan dinamika Pengawas Pemilu dalam melaksanakan kewenangan menegakan sistem keadilan pemilu dan upaya membangun pemilih kritis diungkap melalui buku Pengawasan Pilkada dalam angka, merupakan upaya Bawaslu Kaltim untuk merawat ingatan publik tentang apa yang terjadi melalui data-data yang tersaji.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyajian, dan boleh jadi tidak menggambar keadaan sebagaimana yang diketahui oleh banyak pihak, akan tetapi ini merupakan upaya serius seluruh jajaran menyajikan data-data yang semoga dapat mengungkap fakta yang dapat menjadi pembelajaran dan perbaikan tata kelola pelaksanaan Pilkada dimasa mendatang. Kami dapat mengatakan bahwa data as a strategy for decision making and future forecasting, data merupakan strategi untuk pengambilan keputusan dan memprediksi kemungkinan kedepannya.
Buku ini tidak berdiri sendiri, didampingi dengan buku pengawasan pilkada dalam angka yang disusun oleh seluruh Bawaslu Kabupaten/Kota se Kalimantan Timur, sehingga publik dapat mengatahui apa dan bagaimana pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 yang terjadi di Kalimantan Timur.
Samarinda, Oktober 2025
[1] Muslim Mufti dan Didah Durrotun Naafisah, Teori-teori Demokrasi, (Bandung: Pustaka setia, 2013), hlm. 304
[2] Saiful Mujani, R. William Liddle, Kruskhirdo Ambardi, Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih Indonesia sejak Demokratisasi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 25
[3] Rahmat Bagja, Penegakan Hukum Administrasi Pemilu: Konsep, Implementasi dan Model Ideal dalam Melindungi Hak Untuk Dipilih, (Jakarta: Radja Grafindo Persada 2025), hlm. 19
[4] Akari Razak, “Mewujudkan Pemilu Adil Bermartabat: Suatu Tinjauan Sistem Hukum Lawrence M Friedman, (Fundamental: Jurnal Ilmiah Hukum Volume 12 No 2), hlm. 474
[5] DOKUMEN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL TAHUN 2023: PEMBANGUNAN BUDAYA HUKUM DI INDONESIA, (PUSAT ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM NASIONAL: BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTRIAN HUKUM DAN HAM RI 2023), hlm. 24
[6] Herdiansyah Hamzah, Intelektual Publik: Kampus, Demokrasi dan Oposisi, (Makassar: Subaletern 2025), hlm. 164



Komentar
Posting Komentar