Peluh Terakhir (Part 3-Habis)

Sekitar pukul 15.35 (saya kurang memperhatikan waktu) aku keluar dari gelanggang kawah candra dimurka, tidak seperti Ramayana yang menjadi manusia setengah dewa, keluar dari ruangan itu memberikanku kelegahan sekaligus memberikanku kesadaran bahwa banyak yang harus kupelajari tentang hukum, banyak hal yang harus kembali digali dan diperdalam sehingga lebih menukik, tajam hingga kedasar-dasar. Gelanggang kawah Candra dimurka tersebut mengusik kesadaranku untuk tidak menjadi mapan dan untuk tidak menghentikan proses belajar. Mengutip apa yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Muhdar S.H, M.Hum pada sidang yudisium Muhammad Ayyub, pembelajaran paling penting adalah bukan yang terjadi diruangan ini, tapi bagaimana anda bisa menjadi cendikia yang bermanfaat bagi masyarakat, memperjuangkan nilai-nilai keadilan.

Setelahku, tepat pukul 15.45 Ahmad Fitriady memasuki ruangan yang sama menghadap para penguji yang telah menjadi dewa mendahului kami mungkin sekitar 15 atau 20 tahun lalu, kusalami tangannya sebelum masuk, kurasakan kegugupan melalui tangannya yang basah di penuhi keringat, melalui sorot matanya, melalui ekspresi wajahnya dan melalui aura tubuhnya, kukatakan padanya “semangat bung” diikuti dengan menepuk pundaknya sejurus kemudian

“gimana bung hari didalam susahkah?” katanya mencari tahu perasaanku selama berporses didalam

“tenang aja bung, ternyata tidak sesulit yang ku bayangkan semua oke, dan semua pertanyaan dosen gayuh bersambut dengan yang sudah kita pelajari sebelumnya” kataku coba meyakinkan, menenangkan dan meredahkan kegalauan hati kawanku yang satu ini.

Sementara kontestan lain Ahmad Kurniawan, dan Siti Asiah terus belajar, sesekali bertanya tentang pengalamanku didalam gelanggang, kukeluarkan saja kalimat-kalimat meyakinkan, mantra mandraguna yang dapat membuat dia lebih percaya diri, disisi lain Siti Asiah meringkuk di belangkang pintu menahan perutnya yang sakit efek dari ketegangan psikologis yang dia hadapi.

“Tenang bung, ki ini mudah aja kok, tinggal selangkah lagi menuju Sarjana” kata Ayyub kepada Ahmad kurniawan dan Kiki dengan nada mengentengkan, mencoba menangkan kawan-kawan yang sedang dijerat ketegangan menghadapi medan gelanggang.

Ahmad dan Kiki, mencoba menenangkan diri, tidak lama berselang Ahmad Fitiriady keluar ruangan dengan wajah tidak lagi sama seperti ketika dia masuk, berbeda 180 drajat, wajah yang mengkerut itu berubah menjadi ceria, senyum yang tadinya dibuat seolah tenang dan tegar berubah menjadi tawa dan cana lepas, guratan menahan kentut diatas alisnya yang memancarkan aura negative berubah menjadi guratan yang memancarkan aura positif, sesekali dia berjoget dangdut untuk melampiaskan ketegangannya mengerjai Ahmad Kurniawan dan Siti Asiah.

Tanpa diduga Penguji meminta kepada peserta perempuan untuk masuk keruang ujian, Siti Asiah pun masuk dengan langkah lunglai, tidak percaya diri, dengan senyum yang alah kadarnya. Disudut lain Ahmad Fitriadu terus berulang mengerjai Ahmad kurniawan dengan berbagai cara, lewat canda, tawa dan juga kentut, semuanya dilakukan biar kawan kloter terakhir tidak gugup, tenang, dan percaya diri memasuki ruangan, karena hanya dengan bermodal ketenagan, kepercayaan diri kita dapat mendengar, mencerna dan menjawab pertanyaan penguji dengan baik.

Satu, jam berlalu kikpun keluar dengan wajah yang legah meskipun masih menyisahkan ketegangan karena khawatir dengan perolehan nilainya.

“santai aja ki, apapun nilainya kita sudah berusaha, dan kita bisa memperbaiki kedepan” kata Ahmad Fitiriady kepada kiki.

Bersiap-siap Ahmad Kurniawan, ketika akan melangkah tepat pukul 17.00 Penguji meminta waktu untuk rehat sejenak, Ahmad Kurniawan yang masuk kloter terakhirpun diselimuti ketegangan, tetapi seperti biasa Ahmad Fitriady, Aku dan Ayyub tetap mencandai untuk mencairkan kebekuan psikologis, kebekuan caiaran yang ada di kepala yang akan menghambat proses dalam memberikan jawaban kelak.

Tiba gilirannya, di pukul 17.30, seorang diri memasuk gerbang ruang ujian, gerbang yang akan menjadi titik balik seorang yang tanpa gelar menjadi memiliki gelar, sesorang yang ilmunya sebelum menjadi sarjana tidak dianggap legitimit menjadi legitimit setelah, gerbang titik balik seseorang yang pangkatnya rendah menjadi berpangkat, gerbang seseorang yang pernyataan-pernyataannya tidak mendapat pengakuan akan mendapat pengakuan, gerbang untuk lebih disayang mertua (barang kali), gerbang untuk memperoleh pekerjaan lebih baik, yang paling penting gerbang yang mentransformasi diri untuk lebih bertanggung jawab terhadap keilmuan yang dimilikinya.

Pukul 18.30, seiring kumandang magrib dari Musholla kampus, bumi tempat kami berpijak perlahan berputar membelakangi matahari sehingga menjadi gelap, diiringi riuh mahasiswa kuliah malam, ahmad akhirnya keluar dari ruangan melalui gerbang transformasi, dengan senyum yang lepas, tawa yang menyegarkan, dan tatapan mata penuh optimis menghampiri kami, seraya mengucap syukur.

Tidak berselang lama, penguji memanggil kami untuk secara terbuka mendengarkan penetapan kesarjaan kami, dan secara terbuka juga membaca nilai yang kami peroleh. Allhamdulillaah semua usaha maksimal berakhir dengan nilai maksimal, ketika Dekan fakultas Hukum Dr. Muhammad Muhdar S.H, M.Hum membacakan surat keputusan pengsahan sebagai sarjana hukum (Yudisium) dimulai dari Aku, kemudian Ahmad Fitriadu, Siti Asiah dan Ahmad Kurniawan. Tepat pukul 18.50 kami dikukuhkan menjadi sarjana, aliran darah, adreanalinku tiba-tiba bergerak cepat menggoncangkan tubuh, aku dan kawan-kawan yang hadir diruangan berbahagia.

Teringat proses dua minggu ini, dimana aku dan kawan-kawan yang akan lulus harus bekerja ekstra keras dan meluangkan waktu, konsentrasi yang tinggi untuk proses ini, sampai-sampai pada kesimpulan sementara bahwa kami dipersulit untuk jadi sarjana, ada kondisi ekternal yang mencoba menghalang-halangi, dan sebagainya. Meskipun demikian dengan dongkol dan sesak hati kami terus berjuang, meyakinkan diri meski harus lembur , mengurangi jatah tidur. Seperti banyak ungkapan bahwa siapa yang bersungguh-sungguh dia akan berhasil, dibalik kesusahan ada kebahagiaan, dan siapa yang berdoa kepadaKu dengan kesungguhan pasti akan Ku kabulkan, semua itu kami lakukan, memang benar kesungguhan kami terbayar dengan keberhasilan, kesusahan kami terbayar dengan nikmat, dan doa kami terbayar dengan ijabah “maha suci engkau ya Allah yang tidak tidur dan terus mengawasi kami dari arsmu, dari banyak doa yang data padaMu kau kabulkan doa kami. Amin ya Allah”.

Pak Muhdarpun menutup proses Yudisium ini dengan ungkapan yang menyentuh kami
“……………………. Selamat kepada kalian, telah menjadi sarjana, dipundak kalian terdapat tanggung jawab, untuk memperjuangkan dan mewujudkan keadilan bagi masyarakat, kami meminta maaf jika selama proses anda belajar di fakultas Hukum Universitas Balikpapan telah menimbulkan masalah di hati kalian, itu semata-mata adalah karena memang karakter kami dalam mengajar seperti itu. Salam kami untuk orang tua, saudara dan keluarga kalian, sampaikan terimakasih kami kepada mereka yang telah berkenan menitipkan kalian di Fakultas Hukum Universitas Balikpapan………” ungkapnya dengan gaya khas, tegas, lantang dan penuh wibawa.

Dari Bilik Ruang Kuliah A-2 Universita Balikpapan
12.14 Wita

Hari Dermanto
Sendiri dalam haru

Komentar

Postingan Populer