Perempuan Muluy

Belajar Kearifan dari Perempuan Muluy

Pukul 06.00

Suatu pagi yang dingin penuh kabut, mentari masih berselimut dibalik rerimbunan awan, bertempat di kaki gunung lumut kampong Muluy tempat masyarakat Muluy berdiam dari generasi ke genarasi sejak tahun 1800-an (Ahmad SJA dan Jidan, 2010). kunikmati udara segar memasuki tubuhkan tanpa rasa khawatir virus akan bersarang dibadan, kunikmati dingin yang menggetarkan badan tipisku, kunikmati pula secangkir kopi hitam sebagai kawan. Hutan gunung lumut tempat masyarakat Muluy berdiam adalah pabrik oksigen (O2), berbagai jenis tumbuhan hijau berjajar estetis di kawasan yang telah ditetapkan menjadi Hutan Lindung pada tahun 1993 (menurut beberapa referensi), pagi yang berbeda dengan pagi-pagi yang sebelumnya.

***
Ditengah perbincangan dengan tuo kampong (sebuatan paser untuk kepala adat) dan beberapa masyarakat Muluy tentang kehidupan masyarakat Muluy yang kuketahui lebih dari 13 generasi berdiam di HLGL dengan kebijaksanaan yang diproduksi (sintesis) dari hubungan mutual dengan hutan di gunung lumut, tiba-tiba seorang ibu muda dengan bayinya (kurang lebih berumur 7 bulan) dan beberapa perempuan paruh baya beserta anak-anak (dibawah 10 tahun) dengan logat khusus muluy (berbicara dengan suara keras) menghampiri kami yang sedang berdiskusi, mungkin boleh dikatakan sedang tukar menukar informasi untuk bahan skripsiku tentang "Perlindungan hukum terhadap masyarakat Muluy di HLGL dalam Perspektif HAM".

melalui penjelasan Tuo Kampong kuketahui, bahwa ibu muda beserta anaknya yang masih bayi dan beberapa perempuan serta anak-anak tersebut hendak melakukan ritual "Besoyong pea buto endus danum nyalir" oleh masyarakat Muluy kegiatan tersebut sering dinamakan ritual beli anak, yang berisi permohonan izin keselamatan bagi si bayi kepada penghuni air, agar si bayi mendapatkan keselamatan dari penghuni air serta dihindarkan dari bencana air (tenggelam, banjir, krisis air), menurut masyarakat muluy seorang anak belum boleh dimandikan di Sungai Muluy ketika belum melalui ritual ini. rombongan perempuan yang terdiri dar anak-anak, remaja dan paruh baya tersebut kemudian pergi menuju sungai Muluy yang berjarak kurang lebih 1 (satu) km dari perkampungan.

setelah kurang lebih 30 menit berbincang-bincang selepas perginya rombongan perempuan tersebut, kuputuskan untuk menyusul untuk menyaksikan salah satu kegiatan adat masyarakat Muluy yang dilakukan oleh rombongan perempuan tersebut, dengan menggunakan sepeda motor. sesampainya di sungai Muluy yang jernih dengan keindahan batu dan senandung suara alam yang khas, kudapati rombongan perempuan tersebut sedang berjalan menulusuri sungai Muluy untuk mencari tempat ritual, menurut perempuan paruh baya (sebut: Ine=mama) yang merupakan tetua dikalangan perempuan Muluy.

kemudian Ine dibantu ibu si bayi menyiramkan badan sang anak dengan air sungai Muluy diikuti dengan lantunan doa-doa (mamang) yang saya kurang paham isinya karena bahasa dan kalimat-kalimatnya kurang akrab di telinga saya dan teramat misitis, sembari menyelipkan daun krembulu di bawah batu sungai. bayi itupun dimandikan dan direndam di Sungai Muluy yang meski saat itu mendekati siang masih terasa dingin , ritual itupun kemudian dilanjutkan dengan membawa si bayi mengikuti rombongan kedalam hutan untuk ikut mencari rotan.

di luar dari pengertian orang muluy terhadap ritual tersebut, saya memahami bahwa apa yang dilakukan perempuan muluy melalui ritual "Besoyong pea buto endus danum nyalir" adalah cara mereka mengenalkan dan menanamkan kepada anak-anak dan generasi mereka bagaimana menjadi sahabat alam, dengan memperkenalkan dengan sungai dan hutan yang merupakan pusat kehidupan mereka, kemudian si bayi diajak kedalam hutan mencari rotan adalah cara mereka menanamkan kebiasaan hidup untuk bekerja keras. apa yang saya saksikan di balik ritual yang dilaksanakan perempuan Muluy tersebut, adalah praktik femenisme muluy yang mandiri, kuat dan egaliter. dilain hal, Perempuan Muluy adalah sumber Ilmu pertama masyarakat Muluy dalam mengenalkan anak-anak dan generasi mereka mencintai Hutan Gunung Lumut. Melalui ritual ini generasi Muluy dikenalkan oleh pendahulunya tentang konsep hutan sebagai subjek yang memberi kehidupan yang mereka personifikasikan sebagai Ibu, hutan adalah ibu.yang melahirkan spirtualitas dan cinta kasih.

selain menikmati estetika hutan dan sungai Hutan gunung lumut, perjalanan ke kampong Muluy memberikan kesan kuat tentang estetika hidup perempuan-perempuan Muluy yang kuat, mandiri dan egaliter. mereka memiliki karateristtik feminis yang kuat tanpa harus memahami ide-ide feminis yang menjadi perdebatan perempuan kota yang diskursif, bagi perempuan Muluy (dalam tafsir saya) hidup adalah melahirkan generasi yang melindungi Hutang Gunung Lumut.



Salam


Hari Dermanto
Balikpapan, 28 November 2010

Komentar

Postingan Populer