Diperdaya


Sekitar sejam kutelusuri Pasar Brebes, di selatan kota Bontang, menghibur diri, sekaligus mencari perlengkapan penunjang kerja, setelah lelah menggelayut kuputuskan untuk balik ke kediaman yang tak jauh dari Pasar. Mataku tetap liar melihat semua hal sepanjang jalan, sampai jatuhlah pandanganku pada rombong tahu tek, tanpa fikir panjang kuputuskan untuk singgah dan makan sekedarnya.

Kudapati sepasang paruh baya, istri-suami, dari gelagat, tindak dan tandukya dengan pasti kuketahui merekalah pemilik rombong itu, seperti umumnya manusia paruh bayah yang masih disibukan dengan kerja, wajah mereka nampak sangat lelah. Si Bapa berbaring di salah satu bangku panjang yang ada, dengan berbantalkan jaket lusuhnya, sedangkan si Ibu merapikan rombongnya, kebetulan mereka baru buka.

“tahu teknya ada pa” tanyaku kepada si Bapa, yang kemudian dengan posisi yang belum berubah sejak aku datang menjawab dengan kata-kata samar, tidak jelas. karena telingaku tidak cukup baik mendengar, menyebabkan otakku bekerja cepat memerintahkan untuk kembali bertanya “Tahu teknya ada pa” tanyaku dengan volume yang lebih dari sebelumnya, “ono (ada)” jawabnya si Bapa dan Ibu bersamaan juga dengan Volume yang lebih dari sebelumnya, si Ibu dengan senyum sedangkan si Bapa masih dengan posisi yang sama, menjawab dengan wajah garang tanpa ekspresi bahagia karena mendapat pelanggan pertama malam itu.

Mendapat jawaban keras dari si Bapa membuat saya merasakan ketidaknyamanan, perut yang lapar membuat saya harus berdamai dengan hati. Belum sempat saya merapatkan pantat dengan permukaan kursi panjang yang tersedia, si Bapa, sebut saja namanya Misnu, bangkit dari tidurnya kemudian melontarkan pernyataan.

“susahnya kalo sakit jantung gini, gak bisa kerja berat lagi, ini aja yang dorong gerobak ibunya” katanya sembari mengurut dada, dengan tatap mata nanar kearahku. Seketika perasaan mangkel yang sempat menghinggap dihati berubah menjadi empatik. “kenapa bisa sakit pa” tanyaku dengan nada empatik, selidik, mencari sebab musabab penyakitnya.“beban fikiran mas” jawabnya masih dengan ekspresi yang sama. “apa yang bapa fikirkan sampai bisa sakit jantung” tanyaku lagi, agar dia mau bercerita, mungkin dengan berbagi cerita, berbagi perasaan gundah, beban yang hinggap dan menggerogoti jantungya bisa sedikit luntur.

Dengan langkah gontai, Pa Misnu beranjak dari kursinya kemudian bergerak kearahku, kemudianduduk disalah satu kursi yang berada persis dihadapanku, dia mau berbagi cerita. Dengan empatik kuperbaiki sikap dudukku, kutatap matanya dalam-dalam sesaat setelah dia duduk dan hendak bercerita, kupasang guratan wajah yang siap mendengarkan dia.

“hemmmmmmm” hela nafasnya panjang,”kena jantung ini karena kepikiran anak mas, dia masih kelas 2 SMA, ditangkap Polisi karena nyuri sarang burung wallet” katanya dengan nada tersengal, berat, “kejadiannya kapan pa” tanyaku, “sudah setahun lalu mas” jawabnya masih dengan nada berat. “anakku itu diajak kawannya mas, wes waktu ketangkap Polisi, kami sekeluarga dibuat bingung, sedih, setiap kami jenguk dia di tahanan, anakku itu selalu menangis” selorohnya dengan nada berat, Nampak jelas peristiwa itu mengganggu batinnya.

“Terus bagaiamana anak bapa bisa keluar” Tanyaku mencari tahu, dan fikirankupun bergerak menebak alur seperti menebak seperti apa selanjutnya, “karena sedih, melihat keadaannya yang selalu menangis kalo dikunjungi akhirnya kami minta bantuan sama Polisi mas, si Polisi minta uang kami siapkan uang untuk bisa melepaskan dia dari tahanan sampai 30 (tiga puluh) juta mas, katanya uang itu digunakan untuk ngurus ini-itu, tapi anakku nggak juga bebas, malah dihukum 4 bulan penjara, padahal barang curiannya udah dikembalikan, aku datangi polisi itu mas untuk minta kembalikan uang, dia nggak mau kembalikan, malah selalu menghindar, wes sampai rumah dadakku tiba-tiba sesak gak bisa napas, aku dibawa kerumah sakit milik perusahaan, biayanya mahal sekali mas, biayanya gak sedikit” katanya dengan nada kesal, marah, terhadap tindakan polisi yang menjanjikan akan melepaskan anaknya tersebut, seprti yang ku duga pa Misnu menjadi korban markus (makelas kasus).

“hemmmmm” aku tertegun, sakit hati, “berapa umur anak bapa” tanyaku lagi, mencari tahu, “17 tahun mas, masih kelas 2 SMA” jawabnya, ”sekarang, lanjut sekolah lagi”, “wes mas, dia gak mau sekolah lagi, mana ada sekolah yang mau nerima anak yang habis dipenjara, sekolah malu mas, sekarang kerjaannya dirumah aja, gak ngapa-ngapain, diminta bantuin jualan gak mau, disuruh kerja gak mau, tapi ngerokoknya kuat mas, sehari bisa 3 (tiga) bungkus” katanya masih dengan nada kesal.

“ini tahu teknya mas” si Ibu memotong, membawa sepiring penuh tahu tek dan kembali melayani pelanggan yang datang.

Kulahap tahu tek itu, sementara perasaanku dibawa pada keharuan, kemarahan, kebencian, kenapa institusi penegak hukum Negara ini begitu kejam terhadap orang-orang kecil, orang-orang yang menyandarkan hidup pada gerobak tek-tek. Kenapa institusi pendidikan di Negeri ini terlalu sombong, mereka tidak mau menerima murid eks Napi, bukankah tantangan institusi pendidikan adalah anak-anak seperti anak pa Misnu, mengarahkan mereka sehingga kembali memiliki kepercayaan diri dan berubah. Huh

“sekarang mas, kalo punya masalah kita datang ke Polisi pasti di makan kita mas, hasilnya gak ada, bohong aja kalo mereka mau bebaskan” lanjut Pak Misnu, “bener pa” kataku, “kalo sampean minta bantuan sama teman sampean yang polisi, pasti dia akan kasih temannya untuk makan kita, wes dibelakang kita teman itu makan juga, pokoknya Polisi gak ada yang bisa dipercaya Mas” katanya dengan kesal.

Ya Negeri ini banyak di huni para bedebah, basyar, sosok manusia berwatak binatang, memang yang dilakukan Pak Misnu mungkin salah menyuap untuk membebaskan anaknya, tapi itu tidak akan terjadi kalo memang aparat penegakan hukum bertindak dengan baik, seorang yang masih dibawah kekuasaan orang tuanya, anak-anak (dibawah 18 tahun) seharusnya mendapat perlindungan hukum atas tindakannya. Tapi itulah, orang-orang yang tidak tahu hukum selalu menjadi sasaran orang-orang berseragam, dengan menggeretak, menakut-nakuti kemudian merenggut keuntungan dengan embel-embel Hukum. lama bangsa ini dijajah orang-orang berseragam, dimulai seragam tentara belanda, seragam tentara jepang, dan sekarang seragam-seragam aparat penegak hukum. Hatikku kecut, miris. Huh Pa Misnu satu dari sekian banyak korban………..

Bontang, 26 Februari 2011



HD

Komentar

  1. no much comments, but i always felt like this, almost time feel the inconveniences; not fair!!!! Anyway life is a struggle n laa tahzan, krn segala sesuatunya pasti ada perhitungannya, walau sekecil biji dzarrah pun :)

    BalasHapus
  2. no much comments, but i always felt like this, almost time feel the inconveniences; not fair!!!! Anyway life is a struggle n laa tahzan, krn segala sesuatunya pasti ada perhitungannya, walau sekecil biji dzarrah pun :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer