Petani tanpa perlindungan
Catatan kecil tentang Sri Pujiati
Malang benar nasib Sri Pujiati, keluarga kecilnya harus menelan pahitnya kenyataan, kebun sawit warisan bapaknya harus tergadai dalam program peremajaan Perkebunan, Pemerintah, yang sejak awal di tolaknya. Sertifikat tanahnya melayang, menjadi agunan karena satu peristiwa yang sulit diterima akal sehatnya.
Satu hari karena terdesak kebutuhan membiayai bapaknya yang akan pergi merantau, bermodalkan sertifikat tanah (berisi kebun) yang diwarikan Bapanya, Tumiran, mereka datang ke Koperasi Unit Desa (KUD) Sawit Jaya, untuk meminjam sejumlah uang dengan sertifikat tersebut sebagai jaminan. Pelan tapi pasti, akhirnya lunaslah utang itu. Malang tidak disangka, KUD Sawit jaya tidak menunaikan prestasinya, sertifikat tersebut tidak dikembalikan, sertifikat tersebut sudah berpindah ke tangan Kepala Desa.
Merasa tidak terima, Sri diwakili suaminya mendatangi Kepala Desa Sawit Jaya untuk menanyakan sertifikat tersebut. Sayang seribu sayang, Kepala Desa yang merupakan pemimpin masyarakat itu melontarkan pernyataan yang membuat hatinya ciut, tidak berdaya. “sertifikat itu bukan milik Sri Pujiati, nama yang tertera dalam sertifikat, Tumiran, apa hak sampean menagih sertifikat itu” kata Kepala Desa kepada Rambo suami Sri, “kami merasa memiliki sertifikat ini karena dasar ini” kata Rambo, sembari menujukansecarik kertas, yang berisi Pengalihan hak atas tanah yang dibuat Tumiran sebelum pergi merantau, yang disaksikan dan ditandatangani kepala Desa, orang yang berada dihadapannya, dengan nada kesal.
“itu tidak berlaku lagi” kata Kepala Desa dengan gampang, tanpa perduli dengan perasaan tidak terima Rambo. “lantas untuk apa surat pelimpahan ini” jawab Rambo kesal, dilanjutkan dengan gerakan ingin merobek kertas tersebut, tetapi dengan cepat rencana tersebut dinafikan. Kekesalan tersebut semakin menjadi, sertifikat yang dianggap bukan milik istrinya tersebut oleh kepala desa diberikan kepada PTPN XIII untuk diikutkan kedalam program peremajaan perkebunan, atas nama Tumiran. Meski Rambo sadar bahwa apa yang dilakukan kepala desa adalah perbuatan culas, tapi dia tidak berdaya, dia tidak harus seperti apa membangun pembenaran.
Dengan hati hancur, remuk Rambo pulang dengan hampa, hanya kesedihan yang menyelimuti langkahnya. Keluarga itu dirundung kesedihan, mereka tidak berdaya untuk merebut haknya, warisan bapanya. Dalam sosialisasi program peremajaan revitalisasi perkebunan berikutnya yang diadakan PTPN XIII, Sri Pujiati dengan berat hati harus melakukan perbuatan yang ditolak oleh akal sehatnya, dia harus menandatangani persetujuan mengikuti program peremajaan perkebunan, dengan agunan sertifikat bapanya, yang ketika dituntut dianggap bukan miliknya.
Kini kebunya telah diremajakan. Peremajaan kebun yang ditolak olehnya karena palfon kredit yang dibebankan terlalu besar, pokok kredit Rp. 75 juta (belum termasuk bunga kredit) lebih besar dari penghitungannya, menurutnya peremajaan kebun dengan mandiri bisa dengan harga yang lebih murah dari itu, belum lagi system pengelolaan kebun satu managemen yang dianggap akan menghilangkan hak dirinya, karena pengelolaan sampai dengan hak yang harus diperoleh dirinya setiap panen ditentukan oleh PTPN XIII, dan yang membuatnya tidak yakin dengan program ini adalah cara sosialisasi yang dilakukan dengan ancaman yang datang dari kepala desa dan PTPN XIII, mereka yang tidak ikut program ini akan mendapat kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan di desa dan tanda buah segar mereka akan di tolak PTPN XIII.
Kini kebun warisan bapanya telah dimatikan untuk diremajakan, Sri dan Suaminya menerima kehinaan sebagai orang kecil, kehinaan diperdaya oleh kekuasaan, dihinakan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan akal sehat, dihinakan sikapnya yang hanya memilih menghentikan langkah untuk memperjuangkan haknya.
Salam
HD
Malang benar nasib Sri Pujiati, keluarga kecilnya harus menelan pahitnya kenyataan, kebun sawit warisan bapaknya harus tergadai dalam program peremajaan Perkebunan, Pemerintah, yang sejak awal di tolaknya. Sertifikat tanahnya melayang, menjadi agunan karena satu peristiwa yang sulit diterima akal sehatnya.
Satu hari karena terdesak kebutuhan membiayai bapaknya yang akan pergi merantau, bermodalkan sertifikat tanah (berisi kebun) yang diwarikan Bapanya, Tumiran, mereka datang ke Koperasi Unit Desa (KUD) Sawit Jaya, untuk meminjam sejumlah uang dengan sertifikat tersebut sebagai jaminan. Pelan tapi pasti, akhirnya lunaslah utang itu. Malang tidak disangka, KUD Sawit jaya tidak menunaikan prestasinya, sertifikat tersebut tidak dikembalikan, sertifikat tersebut sudah berpindah ke tangan Kepala Desa.
Merasa tidak terima, Sri diwakili suaminya mendatangi Kepala Desa Sawit Jaya untuk menanyakan sertifikat tersebut. Sayang seribu sayang, Kepala Desa yang merupakan pemimpin masyarakat itu melontarkan pernyataan yang membuat hatinya ciut, tidak berdaya. “sertifikat itu bukan milik Sri Pujiati, nama yang tertera dalam sertifikat, Tumiran, apa hak sampean menagih sertifikat itu” kata Kepala Desa kepada Rambo suami Sri, “kami merasa memiliki sertifikat ini karena dasar ini” kata Rambo, sembari menujukansecarik kertas, yang berisi Pengalihan hak atas tanah yang dibuat Tumiran sebelum pergi merantau, yang disaksikan dan ditandatangani kepala Desa, orang yang berada dihadapannya, dengan nada kesal.
“itu tidak berlaku lagi” kata Kepala Desa dengan gampang, tanpa perduli dengan perasaan tidak terima Rambo. “lantas untuk apa surat pelimpahan ini” jawab Rambo kesal, dilanjutkan dengan gerakan ingin merobek kertas tersebut, tetapi dengan cepat rencana tersebut dinafikan. Kekesalan tersebut semakin menjadi, sertifikat yang dianggap bukan milik istrinya tersebut oleh kepala desa diberikan kepada PTPN XIII untuk diikutkan kedalam program peremajaan perkebunan, atas nama Tumiran. Meski Rambo sadar bahwa apa yang dilakukan kepala desa adalah perbuatan culas, tapi dia tidak berdaya, dia tidak harus seperti apa membangun pembenaran.
Dengan hati hancur, remuk Rambo pulang dengan hampa, hanya kesedihan yang menyelimuti langkahnya. Keluarga itu dirundung kesedihan, mereka tidak berdaya untuk merebut haknya, warisan bapanya. Dalam sosialisasi program peremajaan revitalisasi perkebunan berikutnya yang diadakan PTPN XIII, Sri Pujiati dengan berat hati harus melakukan perbuatan yang ditolak oleh akal sehatnya, dia harus menandatangani persetujuan mengikuti program peremajaan perkebunan, dengan agunan sertifikat bapanya, yang ketika dituntut dianggap bukan miliknya.
Kini kebunya telah diremajakan. Peremajaan kebun yang ditolak olehnya karena palfon kredit yang dibebankan terlalu besar, pokok kredit Rp. 75 juta (belum termasuk bunga kredit) lebih besar dari penghitungannya, menurutnya peremajaan kebun dengan mandiri bisa dengan harga yang lebih murah dari itu, belum lagi system pengelolaan kebun satu managemen yang dianggap akan menghilangkan hak dirinya, karena pengelolaan sampai dengan hak yang harus diperoleh dirinya setiap panen ditentukan oleh PTPN XIII, dan yang membuatnya tidak yakin dengan program ini adalah cara sosialisasi yang dilakukan dengan ancaman yang datang dari kepala desa dan PTPN XIII, mereka yang tidak ikut program ini akan mendapat kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan di desa dan tanda buah segar mereka akan di tolak PTPN XIII.
Kini kebun warisan bapanya telah dimatikan untuk diremajakan, Sri dan Suaminya menerima kehinaan sebagai orang kecil, kehinaan diperdaya oleh kekuasaan, dihinakan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan akal sehat, dihinakan sikapnya yang hanya memilih menghentikan langkah untuk memperjuangkan haknya.
Salam
HD
Komentar
Posting Komentar