Integrated Law Enforcement dalam Kejahatan Lingkungan

Hari Dermanto
Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Universitas Balikpapan
Penegakan hukum dalam kasus lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian besar kepada Negara dan mengorbankan masyarakat kerapkali menyisahkan pertanyaan besar, seperti apa sebenarnya penegakan hukum memenuhi rasa keadilan masyarakat ? ketika banyak putusan baik ditingkat pertama sampai dengan putusan ditingkat lanjut (banding, kasasi) terhadap kasus dengan kualitas kejahatan besar ternyata vonis hukum atas pelaku tidak sebanding dengan tingkat kejahatannya.
Secara garis besar jika kita menengok beberapa putusan terhadap kasus kejahatan lingkungan, kecendrungan putusan terhadap terhadap pelaku kejahatan Lingkungan oleh perusahaan hanya sampai pada persoalan administrasi dan perdata kemudian, meskipun terdapat tindak kejahatan pidana lingkungan oleh perusahan tetapi pada kenyataanya banyak perusahaan yang lepas dari jerat pidana lingkungan.
Gambaran Keadaan tersebut diatas, disebabkan karena instrument hukum yang digunakan dalam penegakan hukum yaitu Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup (selanjutnya disebut UUPLH), termuat beberapa asas: asas subsidiaritas, prinsip pencemar membayar (pallute pay principle) yang keberadaan asas-asas ini menyebabkan lahirnya celah hukum bagi pelaku tindak kejahatan lingkungan untuk lepas dari jerat pidana.
Asas subsidiaritas dan prinsip pencemar membayar tidak termuat dalam isi UUPLH melainkan berada dalam penjelasan UUPLH. Berkaitan dengan asas subsidiaritas disebutkan bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternative penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan atau tingkat kesalahan pelaku relative berat dan atau akibat perbuatannya realtif besar dan atau perbuatanya menimbulkan keresahan masyarakat. Serta penjelasan pasal 34 ayat (1) mengenai prinsip pencemar membyar yang berbunyi, ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar.
Keberadaan asas subsidiaritas dan prinsip pencemar membaya dalam penjelasan UUPLH, sangat bertentangan dengan teori hukum yang menyebutkan bahwa keberadaan penjelas dalam undang-undang (peraturan) adalah untuk memperjelas pasal-pasal yang dianggap sulit dimengerti dan tidak untuk melahirkan ketentuan baru, kenyataan keberadaan asas subsidiaritas dan prinsip pencemar membayar dalam penjelasan UUPLH telah melahirkan ketentuan baru diluar ketentuanyang terdapat dalam isi UUPLH tersebut, terjadi apa yang disebut dengan contratrio indeterminis. Dalam pandangan hukum adanya kontradiksi antara pasal undang-undang dan penjelasannya menyebabakan tidak berlakukanya UU tersebut, karena melahirkan ketidak pastian hukum.
Keberadaan asas subsidiaritas menyebabkan persoalan pidana dalam pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan terabaikan jika Hukum administrasi, hukum perdata dan alternative penyelesaian sengketa telah ditempuh, begitu pula dengan prinsip pencemar membayar (pollute pay principle) yang terdapat dalam penjelasan pasal 34 ayat (1) UUPLH melahirkan konsekuensi, pertama gugurnya sanksi pidana berupa kurungan yang terdapat dalam 41 ayat (1) dan (2), dan kedua pada akhirnya praktek kejahatan lingkungan berupa pencemaran dan / atau pengrusakan dibenarkan asal pelaku melakukan pembayaran.
Keberadaan kedua asas dan prinsip tersebut mengungkapkan bahwa sanksi pidana atas kejahatan dan atau pengrusakan lingkungan dapat gugur jika jalur administrasi, perdata dan alaternatif penyelesaian sengketa serta pembayaran atas pencemaran telah dilakukan secara tegas telah menggugurkan pasal-pasal pidana yang terdapat dalam UUPLH. Tidak heran ketika kasus lantung Balikpapan terhadap tindak pidana yang dilakukan di SP3kan oleh kapolda hal ini disebabkan karena keberadaan kedua asas “seludupan” ini, dan banyak kasus serupa mengalami hal demikian.
ILE mendorong kepastian HUKUM
Ada yang dilupakan penyusun UUPLH, bahwa objek hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana adalah berbeda, sehingga tidak bisa disimplifikasi oleh asas subsidiaritas dan prinsip pencemar membayar (pollute pay principle), karena objek hukumnya berbeda maka penyelesaian persoalan administrasi, perdata (termasuk didalamnya alternatifpenyelesaian sengketa) tidak dapat meniadakan persoalan pidananya. Merujuk pada teori hukum, objek hukum administrasi dalam UUPLH adalah berkaitan dengan perijinan, objek hukum perdata adalah berkaitan dengan ganti kerugian, sedangkan dan objek hukum pidanan adalah pengrusakan dan atau pencemaran terhadap lingkungan, berdasarkan perbedaan objek tersebut maka terhadap kasus lingkungan hidup pada dasarnya tiga instrument hukum ini dapat digunakan secara bersama-sama jika terhadap satu kejahatan lingkungan memenuhi unsur-unsur ketiga Instrumen hukum. Sehingga tidak ada penghilangan aspek pidana meskipun hukum administrasi, perdata (alternative penyelesaian sengketa) dan pembayaran atas pencemaran telah dilakukan.
Kontradiksi yang terjadi antara teori hukum administrasi, perdata dan pidana dengan konstruksi hukum UUPLH melahirkan adanya keragu-raguan dalam proses penegakan hukum yaitu ketidakpastian hukum, sehinga perlu dilakukan, pertama pendekatan legal adalah mendorong uji materi atas kontradiksi internal yang terjadi dalam UUPLH antara UU dan Penjelasannya dan revisi atas UU tersebut, kedua pendekatan alternative adalah dengan cara mengkampanyekan kepada penegak hukum tentang persoalan mendasar yang terdapat dalam UUPLH berkiatan dengan contrario indeterminis yang disebabkan asas tersebut serta penyebarluasan pemahaman bahwa penegakan hukum dalam kasus lingkungan tidak harus berpijak pada UUPLH semata melainkan juga berpijak pada sumber hukum lain : kebiasaan, yurisprudensi, traktat, doktrin.
Pada dasarnya penegakan hukum lingkungan jika dibangun melalui landasan berfikir keseharusan (desollen) ILE dapat diterapkan, sebaliknya jika berpijak pada kenyataan (desein) ILE akan dapat digunakan jika revisi atas UUPLH telah dilakukan, hal ini disebabkan karena kecenderungan penegak hukum adalah objek dari UU: beraliran legisme, meskipun Indonesia tidak menganut aliran hukum ini. Keberadaan konsep ILE sebagai perspektif yang dihadirkan kembali untuk melihat kejahatan lingkungan merupakan bentuk kritik desollen terhadap desein, kritik keadilan hukum atas keadilan UU, kritik nilai ideal atas nilai politis, kritik keniscayaan atas absurditas, dan terakhir kritik Hukum atas politik legislasi.
Politik legislasi UUPLH telah memberi syarat bawah komponen structural dalam membangun substansi hukum masih sangat terbuka oleh intervensi yang memberikan keuntungan pada penjahat lingkungan hal lain yang tidak kalah mempengaruhi adalah karena komponen cultural kita belum cukup solit untuk mempegaruhi kerja stuktural dalam menghadirkan substansi hukum yang berpihak pada keadilan alam dan manusia, sehingga politik legislasi cenderung berada dalam intervensi coporat yang berkepentingan dengan lahirnya UUPLH.

Komentar

Postingan Populer