Pilu Buruh

Sekedar iseng, kucoba melambaikan tangan pada mobil perusahaan pengangkut barang yang melintas dihadapanku, tanpa disangka supir ,obil terseubt menghentikan langkah laju mobilnya.”kemana” tanyanya, dengan sedikit mengernyitkan dahi diikuti senyum, “Penajam Pa” jawabku singkat, dia hanya tersenyum disertai anggukan dengan cepat kulesatkan badanku, tidak membutuhkan waktu lama saya sudah berada persis disampingnya, disertai dengan tutupan pintu dalam hitungan seperkian detik mobil sudah bergerak memenuhi jalan.

Dalam perjalanan kami saling berkenalan, sebut saja namanya Pa Budi, “Nak Hari kerja dimana” katanya mencari tahu tentangku, “Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pa” jawabku singkat, meskipun LBH yang saya geluti dengan beberapa kawan sudah kami bubarkan, tetapi saya masih senang menggunakan identitas itu, mungkin karena harapanku terhadap lembaga ini bisa selalu hidup n dihidupkan, tidak dibatasi dengan apa yang saya lakukan yakni mengembalikan Surat Keputusan penetapan LBH Pos Balikpapan.

“kalo memang sampean kerja di Lembaga Bantuan Hukum, bisa dong saya tanya-tanya tentang persoalan hukum, siapa tahu saya bisa dapat gambaran hukum dan kira-kira seperti apa solusinya mas” katanya dengan cepat menyambung, “bolehpa kita bisa berbagi” kataku sekenanya. Tanpa berpanjang lebar Pa Budi bercerita tentang kondisi ketenagakerjaan di tempat dia bekerja, perusahaan yang dikepalai oleh seorang haji yang selama 6 (enam) tahun ini menjadi tempatnya mengabdi sebagai seorang supir pengantar barang pada perusahaan jasa pengantaran barang antar kota.

Dari pemaparanya saya menangkap beberapa persoalan ketenagakerjaan yang dia dan teman-temannya hadapi. Pertama terkait dengan hak jomsestek, dia mengatakan bahwa semua karyawan/ pekerja pada perusahaan tersebut tidak mendapatkan hak jamsostek. Kedua, terkait dengan upah kerja lembur, pembayaran upah kerja lembur sifat paket setiap kali lembur meski lebih dari 3 jam tiap harinya mereka hanya di bayar kurang dari Rp. 20.000,--. Ketiga, upah yang mereka terima tiap bulanya di bawah upah minimum regional. Keempat driver tidak mendapatkan hak cuti tahunan perusahaan hanya memberikan izin untuk tidak masuk kerja sebanyak 2 (dua) hari jika lebih dari itu mereka akan dianggap mangkir oleh perusahaan kemudian dikenakan sanksi yakni pemotongan upah. Kelima, ketika dia dan beberapa kawannya melakukan penolakan terhadap pimpinan kantor tempat bekerja bukanya perbaikan system sehingga menyesuaikan dengan UU ketenagakerjaan yang dilakukan, sebaliknya mereka malah dipersilahkan untuk mengundurkan diri.

Jika ditinjau dari aturan ketenagakerjaan sangat jelas bahwa telah terjadi hubungan kerja yang menempatkan pekerja pada perusahaan Pa Budi sebagai kelompok yang dilanggar haknya. Terkait dengan persoalan pertama pembaca sekalian dapat melihat pada pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 3 tahun 1993 tentang Jaminan Sosial tenagakerja (Jamsostek), yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Jamsostek adalah hak pekerja dan merupakan kewajiab yang harus dipenuhi oleh perusahaan dalam melakukan hubungan kerja. Kedua komponen upah kerja lembur jika lebih dari 3 jam sebagaimana diatur dalam pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor kep. 102/men/vi/2004 bahwa selain upah kerja lembur kewajiban perusahaan terhadap karyawan yang bekerja lembur lebih dari 3 (tiga) jam adalah menyediakan istirahat secukupnya dan makanan minimal 1.400 kalori.

Ketiga dalam pasal 90 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, dimana terhadap perbuatan ini pengusaha dapat diberikan sanksi pidana berupa kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 185, berdasarkan fakta-fakta ini dia dan kawan-kawanya dapat melakukan upaya hukum pidana. Keempat dalam pasal 79 ayat (2) huruf d sangat jelas mengemukakan bahwa cuti tahunan yang menjadi hak pekerja adalah 12 hari setelah pekerja buruh melakukan pekerjaan selama 12 bulan secara terus-menerus, dan terhadap pelanggaran hak ini perusahaan dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 187 berupa kurungan dan denda, mengenai pemotongan upah dalam hubungan kerja memang diatur dalam Peraturan pemerintah nomor 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah tetapi pemotongan upah bisa dilakukan oleh perusahaan jika pekerja melakukan pelanggaran dalam UU ketenagakerjaan yang terjadi terhadap mereka sebaliknya ketika mereka melakukan apa yang menjadi haknya (cuti tahunan) malah mendapatkan perlakuan sebagaimana orang yang melakukan pelanggaran ketenagakerjaan. Kelima memprtanyakan hal-hal yang berhubungan dengan hak adalah dibenarkan dalam UU ketenagakerjaan.

Apa yang dialami dan dirasakan pa Budi pada dasarnya juga hampir dirasakan banyak pekerja/buruh di belahan bumi Indonesia, praktek hubungan ketenagakerjaan yang diberlakukan banyak pengusaha masih mewarisi system perburuhan jaman belanda, yang menjadikan buruh sebagai kelas yang ditindas dan meletakan pengusaha sebagai kekuatan superior yang tak tersentuh oleh aturan ketenagakerjaan. Adagium bahwa penegakan hukum tak ubahnya seperti mata pisau, tumpul kebawah dan tajam keatas adalah benar jadinya, cerita pa Budi menggambarkan demikian ketika dia dan beberapa temanya (orang-orang papa) berteriak menuntut hak mereka dipersilahkan pergi (mengundurkan diri), tetapi bagaiamana dengan perusahaan tempat dia bekerja apakah ada sanksi atas pelanggaran dan kejahatan mereka terhadap buruh yang ada disana.

aku menawarkan solusi kepadanya untuk membangun serikat pekerja ditempatnya, karena jika harus mengakses layanan LBH yang berada di Kalimantan timur dan kantor tempat dia bekerja di Kalimantan selatan sangatlah sulit karena memerlukan biaya yang tidak sedikit, membangun serikat pekerja adalah solusinya, karena serikat pekerja memiliki kekuatan yang dilindungi oleh Undang-undang, kembali pernyataanku dimentahkan bahwa desakan kebutuhan lapangan pekerjaan membuatnya sulit melakukan itu, apalagi mengingat pengalaman dia di Selatan dimana banyak ketua serikat sebaliknya menjadi pembela perusahaan. “kalo ada yang membentuk serikat, nanti ketuanya didekati perusahaan dan selesailah, kalo lapor kewartawan gitu juga mas, serba salah mas” katanya dengan dialeg khas banjar.

Hatiku pilu, sebagai orang yang belajar hukum melihat kenyataan sedemikian rupa, betapa mereka yang tidak memahami hukum seolah-olah akan menjadi korban atas keperkasaan pemodal. Tak ada yang kupunya untuk kuberikan padanya untuk membantunya, ku ingat ada 1 (satu) buku Panduan Bantuan Hukum dalam tasku dengan sigap buku yang oleh aktivis LBH Pos Balikpapan dijadikan kitab rujukan dalam melakukan pembelaan dalam beberapa kasus ku berikan padanya, berharap dia membaca kemudian melawan, atau setidaknya ketika dia lelah bekerja dan akan keluar dia bisa jadikan instrument yang terdapat dalam buku tersebut sebagai panduan melakukan perlawanan terakhirnya, dan membuka jalan bagi rekan-rekannya kelak untuk melakukan perlawanan. Semoga dia bisa menjadi Pokrol bamboo, atau relawan yang menyebarkan kebaikan.

Entah apakah ini kutukan atau takdir yang harus kutempuh ya Rob sering kali kau pertemukan aku dengan mereka. Aku juga tidak habis fikir ya Allah kenapa di kantor yang dikepelai oleh seorang haji malah terjadi penindasan, bukankan ditanah sucimu mereka melakukan ritual perlawanan terhadap setan baik yang berasal dari luar maupun dalam dirinya ya Allah, tetapu mereka dengan mendopleng kebesaranmu malah melanggengkan kejahatan yang dibawa bangsa-bangsa penjajah itu.

Balikpapan, 21 Oktober 2011
Dini hari tepat pukul 02.00 waktu laptop saya



Salam dari peraduanku

Komentar

  1. Agak miris bacany.. Tapi gag semua 'haji' seperti itu.. setiap orang berbeda..

    *salam kenal ka.

    BalasHapus
  2. salam kenal juga mba Tiva Fatimah Keizer

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer