Alkinamokiye: Ketika Emas Berada di tangan Perampas

06 Maret 2012, suasana magrib begitu cerah tidak ada gumpalan awan menutup pesona bulan dan bintang, rencana pemutaran film Dokumenter karya Dendy D laksono, Ari Trismana Cs. (Maaf kalo salah sebut), Alkinemokiye, di Kampus Universitas Balikpapan seperti mendapatkan restu dari sang pemilik semesta.

Film ini bercerita tentang kehidupan masyarakat Papua (Indonesia) yang hidup disekitar dan bekerja di PT. Freport Indonesia (selanjutnya disebut Freeport). Kehidupan pekerja di perusahaan yang akan berada di bumi Papua hingga tahun 2041, berdasarkan kontrak kedua Indonesia – Freeport yang ditandatangani tahun 1991, begitu memprihatinkan, gaji yang diperoleh buruh Freeport tidak berbanding lurus dengan resiko pekerjaan yang dihadapai  pekerja dan kebutuhan hidup di papua yang begitu tinggi.


Ancaman kemantian yang disebabkan serangan berupa tembakan misterius yang menjadikan pekerja Freeport sebagai sasaran, dan kecelakaan kerja disebabkan karena pekerjaan dipertambangan beresiko tinggi tidak jarang menyebabkan kematian, hal-hal tersebut merupakan resiko yang harus dihadapi pekerja, disisi lain tingginya biaya hidup di Papua menyebabkan masyarakat yang bekerja di Freeport melakukan upaya perundingan untuk memperoleh upah layak.

Upaya mendapatkan upah layak merupakan sesuatu yang wajar, hal ini disebabkan karena Freeport yang merupakan penyuplai 95% kebutuhan emas duniaini pada tahun 2010 mendapatkan keuntungan sampai dengan 170 triliun rupiah,merupakan pendapatan tersebesar dalam sejarah pendapatan perusahaan di dunia,nilai tersebut juga sebanding dengan 15 % dari total APBN Indonesia tahun 2011,kenyataan lain yang memiicu pekerja untuk memperoleh upah layak disebabkan karena upah perbulan sebesar $ 367 yang mereka terima lebih kecil dari upah perbulan pekerja perusahaan tambang emas di Chile sebesar $ 697.

Sebagaimana praktek yang kerap dilakukan banyak perusahaan yang memiliki kekuatan uang, upaya pekerja untuk mendapatkan perbaikan upah melaluijalur perundingan tidak mendapatkan tanggapan,yang pada akhirnya sikap tersebutmemicu pekerja melakukan Mogok dan demonstrasi untuk meningkatkan posisi tawarsehingga mangemen Freeport mau memenuhi kepentingan pekerja.

Mogok dan demonstrasi pekerja sebaliknya melahirkan konsekuensi, karena mereka harus berhadapan dengan keamanan yang dibayar oleh Freeport yakni Polisi dan TNI. Dimana demonstrasi besar yang dilakukan pekerja pada bulan November 2011 harus dibubarkan dengan serangan peluru tajam yang menyebabkan meninggalnya beberapa pekerja yang terlibat dalam Mogok.

Kekayaan Alam Berkah atau Bencana?
Apa yang terjadi di Papua, negeri kaya akan hasil tambang tetapi memiliki kehidupan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Keadaan kekayaan (sumber daya alam) dan kemiskinan (ekonomi) pada masyarakat papua (pekerja) seolah mempertegas sebuah adagium bahwa kekayaan yang ada di negeri ini bukanlah berkah melainkan bencana (ada juga yang menyebutkan sebagai kutukan). Ditengah gelimangnya kekayaan alam Indonesia, terdapat masyarakat dengan kehidupan yang jauh dari layak, banyak komunitas (lokal papua) yang tercabut dari akar kebudayaanya, kehilangan tanah yang merupakan tempat kehidupan mereka dibangun.

Pemerintah Indonesia sebagai pengelola kekayaan sumber daya alam (SDA) seoleh kehilangan kekuatan dalam melindungi dan mewujudkan hak-hak warganya, kesejahteraan, bahkan negara ini tidak ubahnya sebagai negara boneka bentukan pemilik modal, “hal ini bisa dilihat dengan lahirnya peraturan perundang-undangan yang memberi ruang hegemoni kekuatan modal terhadap negara” sebagaimana diungkapkan Ila, aktivis perempuan dari Mahardika. Hegemoni modal terhadap negara bisa ditelusuri melalui keberadaan undang-undang pertambangan, undang-undang ketenagakerjaan, undang-undang penanaman modal, undang-undang ketenagalistrikan (yang dua kali dibatalkan pemberlakuanya oleh Mahkamah konstitusi). Hegemoni adalah bentuk penjajahan.

Melalui penelusuran terhadap undang-undang kita menemukan fakta bahwa sekitar 70 % kekayaan alam yang mempegaruhi hajat hidup orang banyak dikuasai asing, “tejadi praktek privatisasi terhadap badan usaha milik negara (BUMN) yang kemudian dikuasai oleh pemodal yang berasal dari luar negeri” hal tersebut diungkapkan oleh Wawan Sanjaya, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Balikpapan.

Dominasi modal (asing) terhadap aset-aset yang menjadi tempat bergantung rakyat Indonesia dalam memperoleh kesejahteraannya, telah membenarkan praktek kejahatan terhadap buruh dan keluarganya, sebagaimana digambarkan dalam Film ini bahwa, mereka yang pernah bekerja di Freeport (pensiunan) mengalami satu tindakan yang tidak fair dalam proses pemutusan hubungan kerja, hak pesangon mereka tidak dibayar sebagaimana mestinya, kemudian saham yang diberikan kepada pekerja sebagai pesangon ketika mengalami pemutusan hubungan kerja ternyata hanya cek kosong.

Bagaimana kita harus berbuat
Dalam satu pidaton Soekarno pernah mengungkapkan bahwa kemanusiaan itu satu, maka semua manusia akan tersinggung terhadap penistaan yang terjadi pada manusia yang lain, atas kemanusiaan universal tersebut maka solidaritas perlawanan harus dibangun, “kenyataanya kapitalisme semakin menguat tetapi gerakan mahasiswa, gerakan perlawanan mengalami kemunduran” ungkap Adhi, “kita perlu perspektif baru dalam melihat kenyataan hari ini, tentang bagaimana membangun solidaritas  perikemanusiaan ini?” tambahnya.

Film ini harus menjadi kekuatan bagi kita membangun dan mengkonsolidasi gerakan mahasiswa di Balikpapan, terdapat 17 kampus di balikpapan yang dapat menjadi media untuk pemutaran film ini “tentunya kita berharap bahwa pemutaran film yang akan dilaksanakan di kampus-kampus yang ada di Balikpapan dapat memberikan dampak spiral, dimana kesadaran yang kita peroleh dari menonton film ini juga diperoleh mereka, harapan kita agar Indonesia menjadi lebih baik juga menyebar kepada mereka, sehingga gerakan yang kita cita-citakan bisa semakin besar” uangkap Hadi, salah seorang penggiat Rombong Sinema.

Menonton Alkinamokiye, memberikan pengalaman Audiovisual baru bagi penonton yang kesemuanya adalah mahasiswa pada malam itu. Kesadaran kemanusiaan kita disentuh, kesadaran sebagai agen perubahan di bangkitkan, independensi dalam berpihak pada kebenaran di uji untuk berbuat sesuatu dalam masyarakat yang mengalami penindasan ini.  Semoga harapan kedaulatan ekonomi dan politik negeri terwujud besok.

Tak terasa malam sudah semakin tinggi, kesunyian kampus mulai terasa, sekitar pukul 22.30 aktivitas nonton dan ngobrol film Alkinemokiye menemukan titik pemberhentianya, pemberhentian tersebut ada pada hati mereka yang nonton, ada resah, marah, benci pada pemimpin negeri ini, ada pula yang menggantungkan harap kejahatan penguasa dan pengusaha terhadap rakyat dan pekerja akan berakhir besok. Memang benar kemenangan tidak turun dari langit tapi dia harus direbut. semoga kita disatukan dalam perasaan yang sama, untuk menolak setiap kejahatan di muka bumi ini, melalui diskusi, menulis, demonstrasi dan revolusi. salam

Komentar

Postingan Populer