Sepatu Kerjaku
Tidak seperti umumnya pekerja kantoran yang menggunakan sepatu pantofel mengkilap karena kerap disemir, sebagai pegawai yang bekerja di salah satu kantor Bank sepatu yang kerap kukenankan untuk menunjang peformace kerja sehari-hari adalah sepatu kets. Beberapa kawan ketika tahu tentang hal ini berekasi tidak percaya, ada yang mengernyitkan dahi, adapula yang menanyakan ulang dengan maksud memastikan keterangan atau informasi tersebut. Reaksi kawan-kawan tersebut memberi kesan bahwa menggunakan sepatu kets untuk pegawai kantor adalah sesuatu yang aneh, tapi bagiku adalah hal yang biasa dan bahkan menyenangkan.
Ketika awal masuk kerja, saya sempat menggunakan sepatu pantofel sebagaimana umumnya karyawan kantoran, ketidak nyamanan pada kaki dan ancaman terjatuh beberapakali menyebabkan keputusanku bulat untuk menggunakan sepatu kets dalam bekerja, yang menurutku sangat memberikan kenyamanan. Ada beberapa alasan, kenapa saya menggunakan sepatu kets kekantor dibandingkan dengan sepatu pantofel, pertama lebih ringan dan nyaman di kaki (sangat subjektif), kedua sepatu kets merupaan simbol perlawanan saya terhadap gaya pekerja kantoran, ketiga jalan dengan sepatu kets tentunya lebih nyaman dibanding dengan sepatu pantofel, keempat saya terinspirasi Dhoho Ali Sastro salah satu aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, dalam beberapa kali kesempatan ketika menangani kasus ketenagakerjaan Arif Islam salah satu pekerja Angkasa Pura I Balikpapan yang di PHK karena melakukan mogok kerja (sah), sebagaimana umumnya pengacara cara berpakaian Dhoho sangat rapih, selalu menggunakan baju hem atau batik yang dipadu dengan celana kain yang menarik dia selalu menggunakan sepatu hitam kets merek All Star,kelima sebenarnya karena kemampuan keuanganku saat ini lebih pas dengan sepatu seperti itu, he he he, keenam spatu kets sangat melambangkan jiwa agresif dan progresif.
Mungkin banyak komentar aneh terkait penampilanku yang kontras dengan umumnya pekerja kantoran, tapi sekali lagi itu adalah harga kenyamanan yang harus kuterima.
Aji neng rogo soko busono
Seorang kawan yang berasal dari jawa pernah berpetuah padaku aji negrogo soko busono, bahwa tuanya tubuh dilihat dari busananya, merupakan falsafah jawa yang menjadi cikal bakal teori pencitraan dalam dunia politik, sebagaimana dipraktekan ketika pemilu. Banyak calon pemimpin RT hingga Presiden kerap menterjemahkan falsah ini untuk merekrut massa atau menciptakan pemilihnya. Selalu dimunculkan kesimpulan (sesat) bahwa yang pantas di pilih adalah mereka yang berpenampilan (citra) paling baik.
teori ini sangat dekat dengan kesesatan berfikir, karena bagaimanapun akhir-akhir ini kejahatan (besar) yang menimbulkan kerugian besar kerap dilakukan oleh mereka yang berpenampilan menarik, cakap dan gagah. berdasarkan fakta-fakta tersebut standar kerja memang tidak lagi harus dinilai seberapa bagus busana yang kita gunakan, tetapi sejauh mana kita cukup produktif menghasilkan sesuatu. karena tidak selama busana yang digunakan seseorang segaris lurus dengan manfaat yang diberikan. jika pendekatannya busana, jauh-jauh hari Sayidina Ali Karamallahu wajha mengingatkan jangan lihat siapa dia tapi lihat apa yang diucapkan, ada juga jangan melihat seorang ulamat dari kekayaannya, kedudukan manusia dihadapan Allah SWT adalah sama.
perspektif agama menitik tekankan bukan pada busana semata tapi pada kualitas esensial pada diri manusia. sehingga bukan keindahan sepatu yang menjadi standar, tetapi capaian-capaian, diluar dari penjara sepatu atau busana sekalipun. bukan berarti saya hendak menegasikan pakaian yang baik, mungkin yang pantas, tidak berlebihan atau diluar dari batas kemampuan.
salam
Komentar
Posting Komentar