BBN Vs. Mikrohidro

BBN Vs. Mikrohidro

Masyarakat Adat Gunung Lumut Tesis Hidup Melawan Kejahatan Lingkungan

Oleh : Hari Dermanto


Wacana pengembangan energi terbarukan berbahan bakar nabati yang telah dicanangkan pemerintah Indonesia sebagai sebuah alternative untuk mengatasi kelangkaan minyak dan gas bumi dimasa yang akan datang serta merupakan agenda mendukung terlaksanannya mekanisme pembangunan bersih (CDM) dengan mendorong pengembangan tanaman jarak dan sawit sebagai komoditas utama pensuplai bahan dasar bahan bakar nabati (BBN) tidak serta merta dapat diterima begitu saja.

Pada perspeketif alternative, mengatasi krisis bahan bakar minyak (BBM) mungkin BBN menjadi solusi tetapi kenyataan lain yang harus difikirkan adalah, luas lahan yang dibutuhkan untuk mengembangkan komoditas tersebut, yang pada kenyataanya mengakibatkan lahir kebijakan penyedian kawasan hutan sebagai areal yang dimanfaatkan untuk pengembangan komoditi ini seperti yang selama ini telah terjadi. Menjadi persoalan yang dilematis pada akhirnya ketika untuk memnuhi pasokan bahan bakar nabati (BBN) yang dianggap sebgaisolusi mengatasi degradasi malah merambah kawasan hutan yang merupakan penyangga manusia dari bencana akibat perubahan alam, berkontribusi besar dalam penyerapan karbon dan ekonomi masyarakat lokal.

Salah satu pemicu yang kemudian melahirkan keinginan kuat negara dunia ketiga mendorong pengembangan komoditi yang dapat dijadikan bahan baku BBN adalah terkait dengan kesepakatan negara-negara eropa untuk mengurangi emisi gas melahirkan solusi penggunaan 20 % BBN dalam kandungan bahan bakar minyak untuk transportasi dan industri hal tersebut juga adalah merupakan bagian usaha mewujudkan satu mekanisme pembangunan bersihan (CDM, *clean development mekanisme*). Tetapi solusi tersebut ternyata bukan solusi ketika harus mengorbankan kawasan hutan negara-negara dunia ketiga khususnya Indonesia sebagai penyuplai bahan baku BBN.

Usaha mendorong terwujudnya pembangunan bersih dengan mengurangi penggunaan minyak dan gas alam sebagai upaya pengurangan emisi dan degradasi bumi sebaliknya telah menjadi pemicu yang akan menyebabkan permintaan harga minyak sawit mentah (CPO, *cruid palm oil*) di pasaran international menjadi tinggi, konsekuensi dari kebijakan tersebut yang pada akirnya menyebabkan pasokan CPO banyak di jual untuk kepentingan BBN sedangkan untuk kepentingan pangan berupa minyak goreng dan kebutuhan pangan lain yang berasal dari CPO pasokannya terbatas hal ini yang pada akhirnya menjadi sebab terjadinya kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu. hukum pasar berlaku terhadap peristiwa tersebut adalah naiknya harga minyak goreng ditengah keterbatasan dan tingginya permintaan terhadap produk ini tidak bisa dihindari telah melahirkan sederet implikasi yang akhirnya sukses meletakan masyarakat sebagai korban.

Dilihat dari sisi makro ekonomi Indonesia pengembangan perkebunan sawit untuk BBN memang akan sangat menguntungkan, tingginya nilai ekspor yang akan didapat dan implikasi bagi ekonomi yang dihasilkan dari pengembangan CPO keIndustri hilir merupakan salah satu penyebab pemerintah menjadi sangat longgar dalam hal membangun kebijakan pengembangan perkebunan untuk BBN, sehingga deforestasy jika untuk pengembangan BBN menjadi sah-sah saja.

BBN Bukan solusi

Pengembangan BBN bukan solusi yang dapat di benarkan dalam mengatasi degradasi alam, selain menyebabkan pengurangan kawasan hutan Indonesia dan menjadi faktor penyebab degradasi alam sebaliknya BBN hanya menguntungkan kekuatan modal yang berinvetasi disektor ini selain itu BBN adalah merupakan bentuk komunikasi politik negara utara untuk mendapat klaim sebagai pendukung kebelanjutan lingkungan dengan penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan dan juga merupakan strategi politik ekonomi untuk mengakumulasi modal dari negara dunia ketiga yang selama ini hanya menjadi korban atas rekayasa ekonomi untuk memenuhi kepentingan negara-negara utara.

Pada dasarnya hutan yang di miliki Indonesia adalah merupakan energi alternatif yang sustainable bagi masyarakat, pengembangan listrik terbarukan melalui pemanfaatan sumber air yang eksistensinya berasal ari eksistensi hutan dapat di dorong dalam pemenuhan keterbatasan energi seperti yang terjadi saat ini. Dan praktek pengembangan dengan pemanfaatan energi yang berasal dan bergantung pada eksistensi hutan tersebut merupakan tesis perlawanan terhadap ambiguitas solusi yang kerap dipraktekan negara-negara utara yang pada dasarnya hanya sebuah uapaya untuk merampas kedaulatan negara ketiga atas hak-hak hutannya.

Pengembangan energi terbarukan dengan microhydro yang dipraktekan masyarakat adat Muluy yang berdiam Gunung Lumut, Kecamatan Muara Komam Kabupaten Paser adalah merupakan tesis hidup, tentang eksistensi hutan dapat berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat adat Muluy dan eksistensi masyarakat adat muluy akan menjadi penjamin terhadap eksistensi hutan gunung lumut. Dialektika masyarkat dengan hutan yang dipraktekan masyarakat adat Muluy digunung lumut yang kemudian melahirkan pemikiran alternatif dalam penjagaan kawasan hutan dalam bentuk pengembangan energy alternatif mikrohidro adalah merupakan sebuah solusi memutus paradigma eksploitasi hijau dalam bentuk pengembangan BBN ataupun praktek advokasi hutan yang melahirkan penyingkiran masyarakat akan akses ekonomi berupa hasil hutan non kayu (HHNK) dan juga biodeversity.

Disisi lain praktek pengembangan energy alternatif seperti yang dilakukan masyarakat adat muluy adalah merupakan upaya nyata melawan praktek-praktek yang akan menyebabkan percepatan degradasi bumi, dan juga hal ini menjadi satu solusi alternatif pengembangan pola ekonomi ekologi yang dapat melahirkan ketahanan masyarakat tentunya melahirkan penguatan pada ekonomi mikro.

*Durung alam taka lati alas danum tana ente pea lae sori ene jenaga buen-buen ente pea taka bolum kolat ente olono sampe ninnatu turun temurun* Filosofi Masyarakat Adat Paser

Komentar

Postingan Populer