RUU Pornografi Vs Ekonomi Libido

RUU Pornografi Vs Ekonomi Libido
Hari Dermanto
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Balikpapan

Rancangan Undang-Undang (RUU) pornografi yang saat ini sedang digodok dewan perwakilan rakyat (DPR) telah melahirkan banyak reaksi sosial baik dalam bentuk dukungan ataupun penolakan. Berbagai pemikiran untuk mengantitesa RUU ini sehingga gagal menjadi UU terus di dorong dengan melibatkan masyarakat luas. Reaksi kontra RUU pornografi tersebut melahirkan kesan tersendiri bahwa budaya bangsa ini sudah sedemikian pornonya sehingga harus didikte dengan sebuah aturan pornograpi yang saat ini masih dalam bentuk RUU, atau pemikiran lain yang ingin saya tawarkan kepada kita semua dalam melihat realitas RUU tersebut yaitu RUU pornografi yang diharapkan dapat lolos menjadi UU tersebut dapat dihadirkan sebagai sebuah antitesa terhadap penguasaan ideologi dan budaya oleh kapitalisme global melalui industrialiasi seksual dalam format pasar ekonomi yang dibentuk oleh kekuatan modal yang selama ini sukses mendikte arus budaya sehingga menyebabkan masyarakat begitu porno dan terfragmentasi lantas dikuasai.

Hasrat seksual (libido) adalah merupakan komoditi yang paling laku keras di masyarakat, berkembangnya industri media menyebabkan pendistribusian libido sudah masuk kerumah-rumah tidak hanya di kota bahkan sampai pelosok desa, tidak hanya orang tua daya serap libido juga tercerna dalam alam berfikir anak-anak. tidak heran begitu RUU pornografi dimunculkan arus deras protes mulai bermunculan, karena akan banyak iklan, sinetron, dan berbagai acara televisi, pemberitaan koran dan bahkan majalah plus-plus dan turunan ekonomi lainya harus tercekal bahkan tutup hal ini disebabkan perdagangan sinetron, film, budaya, prodak orang tua sampai dengan produk anak-anak bisa diterima dimasyarakat karena menempatkan libido sebagai ujung tombak marketing. Bahwa hasrat seksul lebih mampu membuka akses pasar menjadi lebih luas itu adalah trend perdangan hari ini sehingga terapi pengendalian libido melalui RUU ini akan melahirkan masyarakat sakau.

Masyarakat berada dalam ketegangan kerana aliran pemuasnya (iklan, sinetron, film, gosip selebritas) diputus, rumah-rumah produksi (iklan, sinetro dan film) yang selama ini mereproduksi dan mengkomoditikan libido akan mengalami kebangkrutan maklum bahwa pekerja seni kita tidak mampu menciptakan karya seni yang tanpa menjual sensualitas, bali akan kekurangan pengunjung. Seolah-olah Indonesia akan mengalami kebangkrutan nasional jika RUU pornografi ini disetujui dalam eksekusi di DPR menjadi UU. Kepentingan siapa sebenarnya yang terancam di balik RUU pornografi ini, masyarakatkah atau “elit politik” dan para pemilik modal?.

Ekonomi libido, Politik Penguasaan dan Alienasi Sosial

Seks menjadi alat kekuasaan menurut pemikir post modernitas, bahwa reproduksi hasrat seksual menjadi komoditas industri pada akhirnya akan menghantarkan masyarakat kepada satu tahap alienasi, yaitu hilangnya kesadaran akan kenyataan yang sebenar-benarnya menghimpit kemudian bertransformasi pada kesadaran palsu yaitu kebergantungan terhadap komoditas seksual yang disajikan oleh industri media dan variannya, atau tepatnya terjadi pergeseran kesadaran terhadap sesuatu yang awalnya dikritik sebagai sesuatu yang semu saat ini telah menjadi absolut.

Jika kelompok prgresif pada awalnya pernah mengangkat kritik terhadap keberadaan agama sebagai candu karena alienasi yang disebabkannya, maka hari ini kritik tersebut harus dilancarkan kepada eksistensi komoditi seksual yang telah mengalihkan kesadaran masyarakat atas hak-hak publiknya sebagai sebagai manusia dalam satu sistem pemerintahan dalam negara. Seksualitas sebagai komoditi yang terus mengkungkung kesadaran masyarakat pada awalnya adalah sebuah ketabuhan, tetapi karena terus menerus di injeksi kedalam kesadaran sehingga menjadikan sebuah kebutuhan baru.

Ada politik penguasaan yang melemahkan dan bahkan mengkungkung kesdaran massa selama ini, pertama bentuk politik penguasaan elit atas rakyat, dalam sudut pandang politik penguasaan komoditi seksual memberikan keuntungan dengan secara tidak langsung ekonomi libido menjadi instrumen dalam melanggengkan kekuasaan karena hilangnya kesadaran kritis dimasyarakat yang berpotensi sebagai kekuatan control vertikal rakyat atas kekuasaan elit, kalo boleh berteori skema kekuasaan seperti ini saya sebut sebagai soft otoriter dan kedua bentuk politik penguasaan kekautan modal atas proses eksploitasi yang terus menerus sehingga pada dasarnya menolak RUU pornografi sama dengan melanggengkan kekuasaan modal untuk secara terus menerus mendikte dan menghisap struktur dan kultur masyarakat.

Bahwa ekonomi libido tidak hanya sekedar menghisap keuangan masyarakat ataupun individu-individu yang ada didalamnya, melainkan praktek pembiaran terhadap ekonomi libido juga telah melahirkan satu sistem penghisapan atas nilai-nilai kemanusian, ideologi, dan pandangan dunia manusia, hal ini yang menyebabkan revolusi kultural dan struktural republik ini menjadi terkesan lambat dan tertatih-tatih karena tidak sedikit masyarakatnya telah teralienasi, antek kekutan modal tidak hanya berada di barisan elit terhadap isu RUU pornografy banyak rakyat yang menjadi bemper bagi keberlanjutan penguasaan elit dan kekautan modal secara terus menerus.

Dialektika Historis Menuju Ekonomi Etik

Mungkin harapan saya terlalu jauh bahwa dengan disahkannya RUU Pornografi menjadi UU akan menjadi jembatan membendung arus modal yang selama ini terus mereproduksi seksualitas sebagai komoditi yang kemudian mengalienasi kemanusiaan manusia atas dirinya, atas ideologi dan pandangan dunia terhadap cita-cita masyarakat etik. Sebagaimana dalam pandangan seorang tokoh ekonomi yang mengungkapkan bahwa ketika sistek ekonomi dibangun oleh homo ethicus (masyarakat etik) maka akan melahirkan satu sistem ekonomi yang berkemanusiaan, bahwa dengan seperti itu ekonomi tidak lagi berbicara tentang nilai lebih dan subordinasi seperti yang tergambar dalam sistem ekonomi hari ini.

Pada dasarnya RUU pornografi dalam dialektika historis merupakan satu upaya mengkudeta dominasi ekonomi liberal yang selama ini menjadi penentu terhadap arus perubahan manusia dan masyarakat. Sekarang tinggal kita tunggu bagaimana proses sisntesis dari dialektika tersebut mengkerucut pada ekonomi etik yang dibangun oleh masyarakat yang tidak teralienasi atas persoalan riil yang dihadapinya. Terakhir Semoga Allah Memberikan jalan atas segala uapaya mendorong keadilan bagi kemanusiaan.

Komentar

  1. hehe... nuwun banget,nemu waktu mepet mau ujian nih... dapat dari sini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer