Penjajahan di Program Revitalisasi Perkebunan

Gambaran Umum Revitalisasi Perkebunan

Pengembangan perkebunan Indonesia dengan konsep Revitalisasi perkebun dimulai pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, yang akan mengusung tiga komoditi yaitu kelapa sawit, karet dan coklat. Program revitalsasi perkebunan yang dicanangkan dalam kurun 4 tahun oleh Pemerintah pada dasarnya adalah merupakan upaya mewujudkan ambisi pemerintah Indonesia yaitu pertama dapat menjadi pengekspor bahan baku CPO terbesar mengalahkan Malaysia, bahan baku tekstil, dan bahan baku pangan, kedua kebijakan revitalisasi perkebunan akan melahirkan sector riil yang mampu mengurangi angka kemiskinan sebesar 5,1 % - 8,2% sesuai dengan RPJM (rencana pembangunan jangka panjang) dari 37,17 juta jiwa atau 17,75 % dari jumlah penduduk Indonesia, hal ini juga didukung kenyataan bahwa 42,61 juta jiwa dari 97,58 juta pekerja banyak terserap disektor pertanian dan perkebunan (kompas 11/12).

Ada enam wilayah yang akan masuk dalam program revitalisasi perkebunan, wilayah I meliputi : Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Banten, dan Bali, wilayah II meliputi : Sumsel, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumbar, Bangka, Belitung, wilayah III meliputi : NAD, Sumatra utara, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, wilayah IV meliputi : Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, wilayah V meliputi : Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Sulawewsi tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Kalimantan tengah dan Kalimantan Timur, dan wilayah VI meliputi: Maluku, Maluku Utara, Papua, Irjabar dengan skema kredit yang berbeda, dengan jumlah satuan biaya per hektar berbeda-beda, untuk wilayah I : Rp. 20.680.000,-- / ha, wilayah II : Rp. 21.481.000.-- / ha, wilayah III : Rp. 22.283.000.--/ ha, wilayah IV : Rp. 22.684.000,--/ ha, wilayah V : Rp. 23.485.000.--/ha, wilayah VI : Rp. 24.688.000.--/ha.

Revitalisai perkebunan akan dilaksanakan dalam waktu 4 tahun dimulai tahun 2007 s/d tahun 2010 memiliki target pengembangan perkebunan seluas 2.000.000 ha, meliputi 1.500.000 ha perkebunan kelapa sawit (1.375 ribu ha perluasan dan 125 ribu ha peremajaan), karet 300.000 ha (perluasan 50 ribu ha, dan peremajaan 250 ribu ha), dan kakao 200.000 ha (perluasan 110 ribu ha, peremajaan 54 ribu ha, dan rehabilitasi 36 ribu ha). Jika melihat data tersebut, tanaman kelapa sawit merupakan komoditas utama program Revitalisasi perkebunan. Hal tersebut didasari karena nilai keuntungan yang didapati dari ekspor kelapa sawit sangat signifikan, hal ini dipengaruhi kebijakan Uni eropa yang akan menggunakan 20 % bahan bakar nabati (BBN) untuk sektor industri dan transportasi dalam upaya pengurangan emisi dan sekaligus mewujudkan satu sistem pembangunan bersih yang merupakan alternaitf mengatasi pemanasan global, selain itu bahan baku pangan, obat-obatan dan kosmetk yang di hasilkan oleh CPO yang merupakan kebutuhan, menjadi sebab yang mempengaruhi sawit menjadi semakin prioritas.


Dari table tersebut diketahui bahwa prioritas program revitalisasi perkebunan sangat meniti beratkan pada pengembangan perkebunan kelapa sawit, hal ini dapat dilihat dari prebandingan jumlah perluasan kebunan tiga komoditi program ini, dari jumlah perluasan kebun 1.535.000 ha, jumlah perluasan kebuan kelapa sawit yang didukung melalui program ini adalah seluas 1.375.000 ha. Dibalik usaha pemerintah mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit ada beberapa catatan penting yang harus menjadi perhatian, yaitu berkaitan dengan persoalan yang selama ini bercokol yang merupakan efek bawaan dari system di perkebunan sawit, system menejemen satu atap yang ditawarkan program revitalisasi serta efek destruktif yang dilahirkan program ini.

Persoalan di Perkebunan Sawit

Beberapa persoalan mendasar di perkebunan sawit yang dihadapi petani, berkaitan dengan kepemilikan (penguasaan) lahan kebun yang berbeda antara pengusaha kebun dan petani yang berbeda (timpang), keterbatasan pabrik ditengah perluasan kebun yang dilakukan secara terus menerus dan praktik monopoli pabrik, serta persoalan tandan buah segara (TBS), adalah beberapa hal yang selama ini menjadi pemicu persoalan yaitu rendahnya kesejahteraan petani sawit (plasma).

Kepemilikan lahan kebun perusahaan sebagai pemilik kebun inti cenderung lebih luas dibandngkan dengan luas lahan kebun yang dimiliki petani kebun plasma dengan perrbandingan 70 : 30 dari luas laan yang ada (data tahun 2005 dari 5,5 juta ha luas perkebunan sawit 35 % perkebunan rakyat). Terbatasnya pabrik sampai pada praktek monopoli pabrik oleh satu perusahaan dalam satu daerah hal ini menyebabkan gagalnya optimaliasasi hasil panen perkebunan, desakan bahwa TBS yang merupakan hasil panen jika tidak dengan segera masuk pabrik kualitasnya menurun dimana hal ini akan menyebabkan harga TBS menjadi rendah sehingga menghimpit petani adalah persoalan yang selama ini menyebabkan posisi tawar dalam penetuan harga menjadi rendah, petani berada dalam dominasi kekuasaan pengusaha perkebunan didikte dan tereksploitasi pada akhirnya.

Praktek kepemilikan lahan dan monopoli pabrik telah menghantarkan petani pada tekanan yang berakhir pada ketidak berdayaan ekonomi dalam membangun posisi tawar berhadapan dengan perusahaan. Bukti nyata bahwa petani akan berdaya dalam mengagkat kesejahteraannya jika kepemilikan petani atas lahan kebun dapat lebih dari 2 ha, kenyataanya sistem yang menjadi praktek di perkebunan hingga saat ini menyulitkan petani untuk dapat memiliki kebun lebih dari 2 ha, pada akhirnya keadaan yang lahir dari sistem tersebut menggerus sebagian besar petani sawit pada ketidakberdayaan.

Menyoal Pengelolaan Kebun Satu Manajemen

Persoalan lain yang harus dicermati di balik isu revitalisasi perkebunan adalah sistem pengelolaan perkebunan satu atap (satu menajemen), dalam pola ini sistem pengelolaan perkebunan tidak dilakukan petani melainkan dilakukan oleh perusahaan yang ditunjuk pihak bank sebagai pelaksana proyek dimana dalam proses pengelolaan kebun dengan pola satu manajemen (satu atap) hak-hak petani atas hasil kebun ditentukan oleh manajemen tersebut petani tidak bisa melakukan intervensi terhadap keputusuan manajemen. Karena semua pengelolaan lahan dari porses penanaman, pemupukan, hingga panen dikelola oleh perusahaan maka hal ini juga akan menjadi satu titik yang akan semakin menjauhkan petani dari hak-hak nya atas kebun. Selain itu sistem pengelolaan kebun dengan satu manajemen akan menimbulkan satu ketergantungan baru dan merupakan praktek jebakan yang akan semakin menjauhkan petani atas-atas hak-haknya yang telah tergadai dan di atur dalam sistem pengelolaan ini.

Sistem pengelolaan satu manajemen adalah merupakan praktek Koporate farming yaitu merupakan satu upaya dimana pengusaha (pemodal) disektor perkebunan menguasai semua hal yang bersentuhan dengan pertanian (perkebunan) dengan berlaku sebagaimana halnya petani, sedangkan petani dalam sistem ini hanya menjadi penyedia lahan dimana pendapatan petani pada akhirnya ditentukan oleh pemiliki modal melalui mekanisme pengelolaan kebun satu manajemen. Perusahaan menjadi penanam, pembibit, pemanen di tanah petani sedangkan petani dalam kondisi ini hanya sebagai penyedia tanah yang tidak berdaulat atas tanah yang dimiliki.

Efek Destruktif Revitalisasi Perkebunan

Melihat implikasi yang akan dilahirkan dari problem perkebunan yang dihadapi petani selama ini dan jika dihadapkan pada total kredit yang begitu tinggi tentunya program ini akan melahirkan konsekuensi logis yaitu kemustahilan bagi petani (perserta revitalisasi) dapat melunasi angka kredit yang menjadi tanggungan. Disisi lain ketikdakmampuan petani dalam melunasi angka kredit tersebut pada akhirnya akan menyebabkan petani kehilangan tanah hal ini, disebabkan karena syarat yang mengharuskan petani peserta program revitalisasi perkebunan menganggunkan (menjaminkan) sertifikat (surat kepemilikan tanah) kepada perbankan, dengan tekanan yang ada tentunya program revitalisasi adalah sebuah mekanisme baru mengambilalih tanah rakyat.

Bukan hanya itu, program revitalisasi pekebunan yang dicanangkan oleh pemerintah adalah merupakan satu usaha untuk menghapuskan masyarakat adat, mengingat syarat peserta program revitalisasi perkebunan adalah harus memilki sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan dimana dalam konteks masyarakat adat bukti kepemilikan tanah adalah bersifar komunal (bukan kepemilikan individu) sehingga syarat ini tentunya akan melahirkan tindakan mengkonfersi kepemilikan tanah ulayat yang bersifat komunal kepada kepemilikan perorangan, pengkonversian tanah adat kepada tanah perorangan samahalnya dengan mengkonvesi entitas dan eksistensi masyarakat adat. Pengkonversian lahan ini dipicu oleh kebutuhan perluasan lahan Program revitalisasi perkebunan seluas 1.535.000 ha. Akan menjadi persoalan besar ketika atas nama program ini pemerintah kamudian melegalkan perubahan kawasan hutan menjadi perkebunan, maka program ini pada akhirnya akan memicu degradasi dan deforestasy yang pada akhirnya akan merambat pada hancurnya kualitas lingkungan dan masyarakat.

Revitalisasi perkebunan memuat pembiayaan yang sama antara perluasan, peremajaan dan rehabilitasi (lihat tabel 1), dalam perhitungan yang ada pembiayaan sebagaimana ditentukan adalah merupakan pembiayaan perluasan yang harus membangun infrastruktur berupa jalan, paret, penebasan lahan sedangkan dalam proses peremajaan dan rehabilitasi kebun, infrastruktur tersebut sudah ada dan anehnya petani peserta program revitalisasi untuk peremajaan dan rehabilitasi harus dikenakan dengan pembiayaan yang sama dengan program perluasan kebun. Ada surplus velue(nilai lebih) yang didapatkan oleh pemberi kredit dari praktek ini, dan bagi petani ini adalah bentuk penindasan nyata.

Revitalisasi perkebunan juga akan menjebak negara kedalam mekanisme utang swasta (utang dalam negri), melalui beban utang petani yang harus ditanggung oleh negara pada akhirnya yaitu berupa beban kredit revitalisasi perkebunan yang tidak mampu dilunaskan petani. ada dua kemungkinan yang lahir pengalihan beban utang petani menjadi beban utang negara kepada swasta atau sebaliknya pengambilalihan lahan petani oleh perbankan.

Harapan vis a vis Kenyataan
Terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara harapan yang akan dicapai program revitalisasi perkebunan dengan kenyataan yang akan hadir pada masyarakat, dengan melihat kenyataan yang ada bahwa praktek perkebunan yang selama ini diterapkan kedalam masyarakat masih menyisahkan permasalahan dan tugas rumah yang tidak pernah ingin diselesaikan, namapaknya.

Pola-pola yang ditawarkan dalam proses revitalisasi perkebunan pada akhirnya tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani dari himpitan ekonomi yang dihadapi saat ini, kenyataan lain bahwa pada akhirnya jeratan utang petani terhadap perbankan dan pengusaha hanya akan mengakibatkan petani kehilangan lahan garapan. Sehingga revitalisasi perkebunan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui pendanaan bank swasta pada dasarnya hanya akan menjerat negara dalam mekanisme utang, pada akhirnya utang tersebut akan menjadi senjata melancarkan praktek liberalisasi ekonomi yang menjadi agenda besar (cita-cita) negara-negara utara terhadap negara dunia ketiga.

Sejarah dan pengalaman petani adalah bukti bahwa sistem di perkebuan yang digunakan selama ini telah menjadi alat yang menjerat petani kedalam ketidakmandirian, kebergantungan dan kemiskinan (struktural) sehingga tidak ada pilihan selain dihapuskannya praktek-pratek tersebut tentunya dengan jaminan regulasi pemerintah. Ketika revitalisasi perkebunan yang dicanangkan pemerintah masih menggunakan pola yang sama (seperti yang telah terjadi selama ini) pada akhirnya hanya akan melahirkan utang pada petani dan negara, yang berujung pada kemiskinan sistematis.

Sebaliknya ketika redistribusi kebun dapat dilakukan pemerintah dengan menekan pengusaha kebun untuk memberikan kepemilikan kebun kepada petani lebih luas sebesar 60 – 80 % dari total kebun yang ada hal tersebut bisa menjadi satu jalan untuk membangun kemandirian terhadap petani. Bukan hanya itu, angka kredit yang teramat tinggi harus disesuaikan dengan kebutuhan riil sebagaimana kebutuhan petani hal ini untuk memudahkan petani dalam proses pengembalian utang terhadap bank swasta. Optimalisasi hasil panen yang selama ini menjadi persoalan petani harus mendapatkan dukungan melalui pengadaan pabrik, hal tersebut untuk menghapus lahirnya sebuah sistem yang akan menyebabkan ketidak berdayaan pada petani dan juga sebagai upaya memutus matarantai penidasan.

tulisan ini pernah termuat dalam harian kaltimpost yang terbagi kedalam dua edisi

Komentar

Postingan Populer