Konservasi Rakyat Vs Pemerintah

Konservasi Rakyat Vs Pemerintah
“Belajarlah Pada Masyarakat Adat”

Sering kali kita temukan pandangan yang mengungkapkan bahwa masyarakat tidak memiliki kebudayaan dalam mengelola alam, sehingga perlu diatur oleh pemerintah. Pada dasarnya pandangan ini tertolak oleh eksistensi masyarakat yang berdiam disekitar atau di areal hutan yang ternyata merupakan komunitas yang mendukug terhadap eksistensi Hutan yang ada. Kita bisa ambil contoh dari masyarakat Adat Muluy yang berdiam di Gunung Lumut, Kabupaten Paser eksistensi masyarakat ternyata tidak memiliki pengaruh destruktif [tatanan sosial yang merusak] terhadap hutan justru sebaliknya komitment masyarakat adat Muluy dalam menjaga hutan yang telah dilakukan secara turun temurun telah menjadikan masyarakat adat Muluy sebagai komunitas yang juga menjaga terhadap eksistensi hutan yang ada di Gunung Lumut, Kabupaten Paser Kalimantan Timur.



Pandangan Yang Berbeda Soal Hutan.
Komitment dalam menjaga Hutan adat, tidak hanya dipertahankan oleh masyarakat adat Muluy, jika kita melihat sejarah masyarakat adat yang ada di Paser nampak jelas bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki sistem kebudayaan dalam menjaga hutannya. Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan pada umumnya Masyarakat adat Paser membagi hutan kedalam dua jenis yaitu hutan keramat dan hutan biasa. Hutan keramat adalah hutan yang secara eksistensi tidak boleh dimanfaatkan hasil-hasil hutanya baik berupa kayu ataupun hasil hutan non kayu oleh masyarakat dan ada kepercayaan pada masyarakat bahwa memanfaatkan hasil-hasil hutan yang terdapat dalam hutan keramat dapat mendatangkan bencana tidak hanya pada Individu yang mengambil tetapi juga kepada masyarakat yang hidup disekitar hutan.

Sedangkan hutan biasa adalah jenis hutan yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam sekala tertentu dan biasanya hasil hutan yang boleh dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat hanya berupa hasil-hasil hutan non kayu berupa madu, buah-buahan, rotan, gaharu, damar sedangkan hasil hutan berupa kayu hanya dimanfaatkan secara terbatas, jika dilakukan penebangan terhadap hutan secara ilegal maka akan ada hukum adat yang diberlakukan terhadap pelaku pelanggaran.

Kebudayaan masyarakat dalam mengelola hutanya dengan mengelompokan hutan kedalam dua tipe yaitu hutan keramat dan hutan biasa, merupakan satu jawaban terhadap pernyataan yang kerap kali menyudutkan dan menempatkan masyarakat sebagai aktor bagi kehancuran hutan, pada dasarnya masyarakat memiliki kepedulian yang luar biasa terhadap keberlanjutan eksistensi dirinya dan generasinya, dengan sistem pemanfaatan hutan seperti ini. Bila kita kaji lebih jauh berkaitan dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat Paser dalam mengelola hutan bisa dikatakan bahwa kesadaran untuk memelihara hutan dipahami tidak hanya sebagai pelindung manusia dari bencana alam (yang didapat dari eksistensi hutan keramat) melainkan juga sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi untuk keberlanjutan komunitasnya (yang didapat dari hutan biasa). Paradigma pemanfaatan hutan yang kerap dilakukan oleh masyarakat adat sering juga disebut sebagai paradigma ekologi-ekonomi (dalam pengertian sekarang), dimana pengelolaan dan penjagaan hutan secara lestary pada dasarnya akan memberikan efek ekonomis dan ekologi kepada masyarakat yang berdiam disekitar hutan khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Pandangan konservasi yang menjadi satu sistem kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat Adat yang ada di Paser sangat berseberangan dengan pandagan konservasi yang coba diterapkan oleh pemerintah. Konsep hutan sebagai areal konservasi yang coba didorong kedalam masyarakat cenderung tidak sesuai dengan sistem kebudayaan masyarakat sehingga tidak heran ketika pemerintah melakukan kebijakan pengukuhan perubahan status kawasan hutan (masyarakat) menjadi hutang lindung selalu mendapatkan penentangan dan berakhir dengan konflik.

Faktor yang melatar belakangi lahirnya konsep hutan lindung dengan kecenderungan adanya pembatasan akses masyarakat terhadap hutan sehingga melahirkan konflik sosial antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang, yaitu adanya pemanfaatan hasil-hasil hutan secara berlebihan (skala besar) untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi kayu pulp-papper, playwood dan lain sebagainya, pemenuhan bahan baku untuk industri perkayuan yang kemudian banyak menyebabkan terjadi perubahan kawasan kehutanan menjadi areal terbuka.

Tidak hanya sampai disitu, usaha untuk memenuhi permintaan pasar dunia dan harapan bahwa negara akan mendapatkan pemasukan yang tinggi melalui industri perkayuan pada akhirnya memberikan satu konsekuensi yaitu mudahnya ijin diberikan untuk pengembangan industri perkayuan dengan perluasan hak pengelolaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) dengan mengkonversi hutan-hutan rakyat (keramat) sebagai bentuk dukungan terhadap industri perkayuan.

Kepentingan ekonomi yang didapat dari proses pemenuhan permintaan pasar dengan pola perluasan hutan produksi dengan mengkonversi hutan-hutan rakyat menyebabkan areal tutupan hutan semakin berkurang. Meminjam seperti yang di kemukakan oleh Emil Dhurkheim bahwa kecendrungan konflik antara kebudayaan masyarakat dan investasi (pragmatisme ekonomi) telah menyebabkan masyarakat lokal atau mereka yang berdiam disekitar hutan terfragmentasi kedalam beberapa komunitas, pertama komunitas yang masih menjunjung tinggi kebudyaan leluhurnya yang kemudian tersisih kedalam hutan, kedua komunitas masyarakat yang berafiliasi pada pola kehidupan ekonomi baru yang ditawarkan oleh industri perkayuan dan tambang dengan menjadi buruh dan ketiga komunitas masyarakat destruktif, pada umumnya sektor ekonomi mereka berasal dari aktivitas ilegal seperti pembalak kayu atau penambang ilegal.

Disadari atau tidak fragmentasi masyarakat tersebut disebabkan karena adanya penguasaan (kapitalisasi) atas areal produktif masyarakat dalam hal ini adalah ”hutan biasa” dimana hal tersebut berarti memutus akses ekonomi masyaraat atas hasil hutan non kayu yang selama ini menjadi jaminan kehidupan mereka sehingga menumbuhkan perilaku (budaya) baru pada masyarakat yang berdiam disekitar hutan.

Meluasnya perkembangan industri perkayuan, ditambah dengan berkembangnya perkebunan monokultur (sawit), dan pertambangan batu bara yang terdapat di areal hutan, pada akhirnya semakin mendekatkan manusia dengan bencana alam yaitu banjir, longsor, gempa bumi, krisis bahanbaku air, kehancuran biodeversity dan lain sebagainya. Kondisi ini yang kemudian menyebabkan tumbuh inisiatif pemerintah untuk menjaga hutannya dengan cara manahan laju percepatan pembukaan hutan dengan mengukuhkan hutan-hutan yang menjadi kawasan tinggal masyarakat adat menjadi hutan lindung dengan cara menutup akses masyarakat terhadap hutannya. Paradigma kebijakan tersebut dikarenakan stigma yang menyudutkan masyarakat bahwa yang menjadi penyebab kerusakan hutan adalah masyarakat yang selama ini tinggal di kawasan hutan, yang kerap melakukan perdaganan kayu ilegal (illegaloging).

Masyarakat menjadi kambing hitam terhadap krisis kehutanan yang ada, padahal jika kita kaji lebih jauh ternyata ekonomi pasar yang diterapkan oleh pemerintah dengan meliberalisasi sektor kehutanan dan kekayaan yang ada didalamnya yang ternyata menjadi penyebab krisis ekologi.

Serahkan Ngurus hutan pada ”masyarakat adat”!!!
Hutan dan masyarakat adat adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena kebudayaan, spiritualitas, norma-norma sosial terbangun dari hubungan tersebut. Menyerahkan kelola hutan kepada masyarakat adat saat ini dianggap sebagai sesuatu yang sangat sulit karena melihat kenyataan yang ada tentang eksistensi masyarakat adat ternyata hanya menjadi alat bagi kepentingan oligarki politik yang kerap mengatasnamakan lokalitas untuk mendapatkan tempat di kekuasaan.

Harus disadari pula bahwa cukup banyak komunitas adat yang hanya memiliki cerita kebudayaan tetapi tidak memiliki eksistensi kebudayaan, atau lebih tepatnya kebudayaan yang mereka tampilkan hanya dalam cerita tentang kearifan masyarakat dalam menjaga hutan, mengelola sumber daya alam, penentangan terhadap pelaku pengrusakan alam, dan lain sebagainya tetapi hanya sebatas cerita (kenangan) bukan sesuatu yang membudaya di dalam individu-individu masyarakat.

Pada dasarnya roh msyarakat adat ada pada komitment tegas dalam menjaga dan mempertahanan apa-apa saja yang telah diwariskan oleh leluhurnya kepada mereka, tetapi apa yang terjadi, pengaruh eksternal yang hadir dalam bentuk berbagai macam kepentingan politik dan investasi pada akhirnya menggeser komitment masyarakat adat kedalam arena politik kepentingan segelincir orang. sehingga tidak heran banyak masyarakat adat yang larut kedalam arena yang diciptakan oleh kekuatan oligarki yang mengatasnamakan masyarakat adat.

Jika kita telusuri keberadaan komunitas adat yang ada di kalimantan timur, akan kita temukan komunitas adat yang masuk dalam kategori ini yaitu komunitas adat yang jauh dari eksistensi kebudayaanya (adatnya), mereka berbicara tentang hak ulayat, berbicara tentang hak masyarakat adat atas wilayah kelola adat tetapi tidak memiliki komitment dalam menjaga dan mengelola hak-hak tersebut, parahnya hutan-hutan yang diklaim sebagai hutan adat banyak yang telah berubah menjadi areal pertambangan, hutan produksi dan sebagainya dengan mengatasnamakan adat, saat ini tidak sedikit komunitas adat yang berperan seperti makelar tanah (tuan tanah), mencari keuntungan untuk dirinya sendiri.

Bukan komunitas adat yang tidak kenal adat yang dapat mengelola sumber daya alam yang telah diwariskan secara turun temurun, bukan juga orang-orang yang hanya menjadi tuan tanah dengan titel keturunan dari punggawa-punggawa adat terdahulu, sebaliknya komunitas adat yang pantas melakukan kelola adat dan memiliki klaim terhadap sumber daya alam adalah mereka yang memiliki sikap tegas dalam menjaga dan mengelola hutan bukan hanya untuk kebaikan komunitasnya tetapi juga yang dapat bermanfaat untuk orang lain. Kearifan masyarakat adat dalam menjaga, mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam seharusnya tidak hanya hadir dalam bentuk cerita tentang kearifan-kearifan komunitas terdahulu seperti yang kerap penulis temukan di beberapa komunitas adat sebaliknya eksistensi kearifan masyarakat adat melekat dalam segala perilakunya.

[Hari Darmanto]
tulisan ini pernah di publikasikan di harian tribun kaltim

Komentar

Postingan Populer