Pentingnya Berfikir Liberal dalam Memahami Islam

Pentingnya Berfikir Liberal dalam Memahami Islam

Oleh : Hari Dermanto

Beberapa tahun terakhir perkembangan pemikiran Islam Indonesia mengalami titik dinamis, mindstrem berfikir yang kaku dalam memaknai Islam dengan kecenderungan adanya monopoli agama oleh Ulama, eksklusifitas memahami Islam pada masyarakat Islam dan tertutupnya ruang diskursus kritis melihat Islam dalam ranah sosial tergugat dengan lahirnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam atau yang kerap disebut sebagai gerakan neo-modernis Islam hal ini tidak terlepas peran tokoh-tokoh pemikir Islam terdahulu macam alamarhum Nurcholis Majid, Ahmad Wahib dan Abdurahman Wahid (sebut Gus Dur) dan juga Jaringan Islam Liberal (JIL) yang merupakan kelompok-kelompok muda gerakan post-tradisional NU.

Gerakan pembaharuan pemikiran dalam memahami islam secara liberal banyak mengalami penetangan dan tantangan isu sekulerisme, pluralisme dan liberalisme merupakan isu yang dilekatkan pada gerakan ini, bukan hanya itu penolakan terhadap pemkir neo-modernis Islam sampai pada titik yang sangat akut dimana mereka dianggap kafir. Sayangnnya polemik yang timbul antara gerakan neo-modernitas dan kontra neo-modernitas tenggelam begitu saja dengan satu kesimpulan di masyarakat bahwa mereka adalah komunitas yang telah jauh dan melenceng dari ajaran Islam tanpa ada satu proses yang mengedepankan dialog yang rasional dan komunikatif. Sebaliknya proses penghukuman terhadap gerakan neo-modernitas sebagai gerakan yang dianggap meresahkan ini lebih mengedepankan komunikasi dengan kekerasan, intimidasi yang melibatkan massa banyak sebagai usaha menekan gerakan neo-modernitas, dalam pespektif psikologi massa jenis komunikasi yang kerap menggunakan kekerasan (intimidasi, presur massa) sebagai upaya untuk merubah pandangan orang lain kepada pandangan kelompok atau keyakinan tertentu disebut komunikasi primitif, dan tentunya ini menjadi satu bukti bahwa pendekatan dalam proses transformasi Islam di Indonesia masih sangat primitif dan kaku.

Pemikiran liberal yang di usung oleh JIL dan tokoh-tokoh neo-modernis yang menimbulkan berbagai reaksi diluar dari proses dialog pada dasarnya menjadi bukti bahwa keberagamaan umat Islam Indonesia jauh dari proses intelektual sebaliknya hal tersebut menggambarkan bahwa eksistensi Islam sangat erat dengan sistem feodal (kekuasaan) yang telah dibentuk para ulama. Dalam artian, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama sebagai reaksi terhadap keberadaan gerakan neo-modernisme Islam tidak lebih sebagai upaya untuk mempertahankan status quo. Ada kecenderungan banyak ulama takut kehilangan pengikut atau jemaah disebabkan pola hubungan ulama dengan pengikutnya adalah merupakan pola hubungan produksi (ekonomis) selain itu kesadaran pengikut tentunya akan menyebabkan ulama jauh dari ”kekuasaan (penguasa)”yang berarti secara ekonomis ulama akan termiskinkan. Gerakan JIL-neo modernitas yang sangat mengedepankan proses-proses transformatif-intersubyektfitas dan proses dialog tanpa penguasaan (dimana nilai dikemukakan berdasarkan kaidah-kaidah rasional) merupakan satu sistem yang akan menggugat sistem feodal yang dibangun ulama selama ini.

Berfikir liberal dalam memaknai Islam pada dasarnya adalah satu proses kritis melihat realitas dan determinisme sejarah terhadap pemahaman Islam hari ini dan implikasinya terhadap umat dengan menggunakan pendekatan rasional-komunikatif . Jika kita tarik pada usaha melihat Islam hari ini, beragamnya aliran kepercayaan dalam Islam, klaim-klaim kebenaran dalam memahami agama antara satu dengan yang lain, tindakan kafir-mengkafirkan, tiadanya budaya dialog komunikatif dalam klaim kepercayaan terhadap ”Islam” yang satu dengan ”Islam” yang lain adalah merupakan sekelumit latarbelakang kenapa pemikrian liberal harus dihidupkan dalam memaknai Islam.

Sebagaimana kita ketahui bahwa peradaban Islam hari ini adalah merupakan kosekuensi dialektika sejarah yang mana memungkinkan Islam sebagai sebuah nilai hidup manusia mengalami intimidasi dari kekuasaan yang bermain dalam sejarah dan tentunya itu menjadi potensi terdistorsinya Islam dari kemurnian ajaran yang sebenarnya, perubahan kualitas peradaban manusia tentunya memberikan efek bagi ”Islam” sehingga adalah keharusan dilakukannya sebuah penafsiran ulang tentang Islam bukan sebaliknya menerima nilai Islam begitu saja tanpa satu kritik (telaah kritis). Bukan hanya itu pemikiran liberal adalah satu syarat untuk membangun kritik terhadap nilai-nilai Islam yang berkembang dan memastikan kebenaran nilai-nilai tersebut sehingga kita tidak terjebak pada nilai Islam yang merupakan bagian dari konspirasi kekuasaan atau komoditas politik kelompok tertentu yang menjadikan Agama sebagai alat yang sarat dengan nilai-nilai yang membodohkan, melemahkan dan menyisihkan umat Isam dari persoalan sosial-kemasyarakatan.

Berkaitan dengan konspirasi agama dengan kekuasaan yang telah melahirkan pandangan Agama yang melemahkan manusia, dikemukakan oleh Friedrich Neitzsche (1844-1900) bahwa Agama justru mengajarkan nilai-nilai yang melemahkan, bertentangan dengan nilai hidup manusia yang terus bergerak, mengalir, meretas dan menentang bahaya. Jika pandangan ini ditarik kedalam perkembangan Islam saat ini pandangan tentang sabar dan kepasrahan terhadap takdir sebagai satu nilai moral dalam Islam benar-benar melemahkan serta mensubordinasi akal manusia dalam hidupnya sehingga manusia menjadi mahluk yang pasif dan lemah dalam menghadapi hidup. Tidak hanya sampai disitu, agamapun (Islam) juga telah berubah menjadi candu dan alat peredam gejolak yang timbul dimasyarakat akibat kebijakan negara yang cenderung merugikan dirinya.

Adanya upaya untuk membatasi pemikiran liberal Islam yang notabene sangat jauh berbeda dengan kultur keIslaman indonesia dalam memaknai konsep keIslaman adalah bukti nyata ketidakdewasaan masyarakat dalam melihat perbedaan dan perkembangan, bukankah perbedaan itu akan menjadi rahmat ketika dengan perbedaan melahirkan dialog antar perbedaan (dialog peradaban) yang dibangun untuk menemukan agumentasi-argumetasi yang benar-benar dapat menjadi justifikasi kebenaran untuk menjadi sebuah keyakinan sehingga kita tidak terjebak seperti apa yang diungkapakan Nurcholis Majid yaitu kita menjadi bagian dari manusia yang meyakini sesuatu (berkesimpulan tentang kebenaran) mendahului pengetahuan (pembuktian tentang kebenaran)yang seharusnya menjadi dasar keyakinan, sebaliknya bukan dengan dialog-primitif yaitu dengan berbondong-bondong membawa masa untuk merepresi dan menekan orang atau kelompok yang berbeda faham untuk tunduk dan mengakui kebenaran yang kita pahami.

Komentar

Postingan Populer