Utang Luar Negri dan Praktek Privatisasi BUMN


A. Pendahuluan

Menjadi pertanyaan besar di benak setiap orang kenapa negara dengan aset kekayaan berupa sumber daya alam (SDA) yang begitu kaya, pertumbuhan investasi yang terus meningkat menjadi negara dengan jumlah penduduk miskin yang cukup banyak, negara dengan angka kematian bayi yang cukup besar, kesehatan dan pendidikan yang rendah serta persoalan bencana lingkungan yang cukup akut. Negara yang seharusnya dengan asset berupa kekayaan SDA akan mampu mengangkat kualitas hidup lingkungan dan masyarakat sebaliknya malah terjebak pada problem dimensional, dimana hal tersebut yang kemudian menyebabkan Indonesia ikut menjadi salah satu negara sasaran tujuan pembangunan millennium (MDGs) dengan ditanda tanganinya KTT Millenium tahun 2000.*

Penandatanganan KTT Millenium merupakan bukti bahwa Indonesia masuk kedalam negara miskin, dimana kenyataan tersebut tidak sebanding dengan angka eksploitasi terhadap SDA Indonesia yang begitu tinggi, penguasaan asset SDA oleh kekuatan asing melalui korporat transnasional dan multinasional ternyata tidak signifikan mengangkat rakyat dari problem sosial dan ekonomi yang dihadapi selama ini, fakta bahwa pemerintah Indonesia belum mampu secara signifikan melepaskan rakyatnya dari jurang kemiskinan adalah kenyataan yang merupakan pil pahit ditengah meningkatnya praktek eksploitasi yang ada, dalam laporan perkembangan pencapaian tujuan pembangunan millenium februari tahun 2004 disebutkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara, hanya 46,8% saja dari anak-anak usia pendidikan dasar yang bisa menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar, Hanya 68,4% ibu-ibu yang melahirkan dengan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih, Angka kematian ibu sudah mencapai 307 orang setiap 100.000 kelahiran, Setiap 1000 kelahiran 35 bayi harus meninggal, kemudian 46 dari 1000 balita meninggal karena buruknya pelayanan kesehatan, penduduk dibawah garis kemiskinan nasional, sudah berjumlah 38.394.000 orang dan yang memiliki rumah hanya 32,3%, pengangguran juga meningkat dari 3.738.000 orang tahun 1994 menjadi 9.531.000 orang tahun 2003 (Asian Development Bank - Key Indicators 2004)

Tingginya penguasaan modal asing atas asset berupa SDA dan tidak bertransformasi pada koalitas ekonomi, pendidikan, lingkungan hidup, politik-demokrasi, pengurangan kemiskinan adalah sebuah kenyataan bahwa secara ekonomi-politik Indonesia tidak memiliki daya tawar yang kuat atas penguasaan investasi asing (kapitalisme internasional), atau seperti apa yang diungkapkan oleh Ichsanuddin Noorsy bahwa kemiskinan suatu negara ditengah besarnya investasi yang bermain di negara tersebut adalah sebuah bukti bahwa perekonomian tersebut terjajah, untuk mengetahui bahwa suatu prekonomian dikatakan terjajah terdapat lima indikator. Pertama, kepemilikan sumberdaya, produksi dan distribusi. Kedua, bagaimana suatu bangsa memenuhi kebutuhan sektor pangan, enerji, keuangan, dan infrastruktur. Ketiga, pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder dipasok siapa dan siapa yang mendominasi. Keempat, apakah suatu pemerintahan mempunyai kemerdekaan dan kebebasan mengambil kebijakan ekonomi dan terlepas dari pengaruh penguasa ekonomi dunia. Kelima, bagaimana sumber-sumber pendanaan APBN, dan apakah APBN memberikan hak-hak ekonomi sosial budaya.

dari indikator tersebut dapat dibangun sebuah hipotesis bahwa negara ini (Indonesia) tidak cukup berdaulat dalam mewujudkan satu penguasaan atas sumber daya alam untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini persis seperti apa yang telah diramalkan Soekarno bahwa struktur ekonomi Indonesia berwatak kolonial dengan bukti bahwa, pertama diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju. Kedua, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk negara-negara industri maju. Ketiga, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat dinegara-negara industri maju.

Persoalan trend pembangunan dengan utang luar negri (ULN) juga merupakan salah satu persoalan yang menghantarkan perekonomian Indonesia menjadi satu sistem perekonomian terjajah. Besarnya ULN Indonesia kepada negara kreditor dan lembaga multilateral telah menyebabakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) kerap mengalami defisit karena harus terbebani pembiayaan cicilan utang (pokok dan bunga). data Koalisi Anti Utang (KAU) menunjukan sampai dengan tahun 2006 utang pokok pemerintah Indonesia mencampai 48.748 (juta US $) dimana untuk pinjaman bilateral sebesar 27.853 (juta US $) dan pinjaman multilateral sebesar 20.896 (juta US $).

Besarnya angka ULN Indonesia telah menyebabkan pemerintah menjadi tidak cukup berdaya dalam mengatur negara sehingga keadaan ini menghantarakan Indonesia menjadi negara lemah secara ekonomi dan politik, dimana keadaan ini tentunya menjadi ruang bagi lahirnya penguasaan negara kreditor (kapitalisme internasional) atas Indonesia. Sehinnga ULN yang berasal dari negara kreditor tidak bisa dipandang sebagai alat yang akan menyelamatkan perekonomian bangsa sebaliknya utang merupakan media (alat) bagi kapitalisme internasional untuk melancarkan agenda neo-liberalisasi, neo-kolonialisasi dan neo-imperalisme terhadap Indonesia.

Dikte internasional atas Indonesia telah melahirkan negara ini menjadi pengemis utang kepada negara kreditor dan lembaga multilateral. Hal ini disebabkan karena untuk mengatasi defisit anggaran Indonesia masih menggunkan resolusi IMF yaitu mengajukan utang baru. alih-alih menyelesaikan persoalan sebaliknya resolusi tersebut malah terus menjerat Indonesia kepada semakin besarnya jumlah utang luar negri dan bunga utang yang harus ditanggung Indonesia. Kebergantungan Indonesia atas ULN dalam pembiayaan negara merupakan salah satu sebab lahirnya dikte negara pemberi utang untuk membuka akses liberalisasi di Indonesia dalam bentuk kebijakan, sebut saja Sebut saja Undang-Undang (UU) Sumber Daya Air, UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU BUMN.

Jeratan utang baik yang berasal dari luar dan dalam negri pada akhirnya akan mengancam sektor-sektor publik yang dikuasai oleh negara berupa praktek privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berarti juga akan mengancam kehidupan perekonomian masyarakat.

B. Peran BUMN di Indonesia

Dari sudut pandang ekonomi. peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat tidak hanya bergantung pelaku-pelaku ekonomi swasta dan mekanisme pasar, tetapi juga perlu peranan negara yang berfungsi mengurangi dampak kegagalan pasar, kekakuan harga dan dampak eksternalitas yang timbul dari persaingan-persaingan lembaga ekonomi (Henin, 1989; Kuntjoro-Jakti, 1991). Peranan negara dinyatakan dalam bentuk keterlibatan negara pada usaha-usaha ekonomi lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Paradigma ekonomi laissez-faires memberikan pembenaran atas intervensi negara, yaitu saat mekanisme pasar tidak bekerja dengan baik. Dengan demikian fungsi BUMN dapat digolongkan sebagai salah satu instrumen penyeimbang untuk mengatur bekerjanya mekanisme pasar secara berkeadilan (Baswir, 2002).

Keberadaan BUMN umumnya tidak terhindarkan pada fase awal pembangunan ekonomi sebuah negara ketika kapasitas entrepreneur swasta untuk menggerakkan ekonomi masih terbatas. BUMN juga sering digunakan sebagai instrumen bagi negara untuk menguasai sektor-sektor yang dianggap strategis, seperti bahan pangan, kebutuhan pokok, dan sumber daya alam (Perdana, 2002) serta menyediakan pelayanan-pelayanan bagi publik, misalnya listrik dan air minum. Selain itu, pendirian BUMN dimaksudkan untuk mengelola kekayaan dan memupuk modal nasional sehingga keberadaannya secara normatif dapat menunjang ekonomi negara. Tercatat BUMN memainkan peran yang penting pada ekonomi Indonesia. Bank Dunia (2001a) menyatakan bahwa BUMN menyumbang 70 persen dari GNP (Gross National Product) pada awal 80-an dan masih menyumbang sekitar 40 persen pada saat-saat ini.

Ada sejumlah catatan yang menarik mengenai kehadiran BUMN. Pertama, BUMN generasi pertama (1945-1957) adalah hasil nasionalisasi dari sejumlah perusahaan yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda, antara lain PLN yang merupakan gabungan sejumlah perusahaan listrik lokal, Jawatan Kereta Api, Jawatan Pos dan Telepon yang menjadi cikal bakal Perum Pos dan PT Telkom, dan lain-lain. Pada perjalanannya, pemerintah juga membentuk sejumlah BUMN, dan pemerintah daerah membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) baru seiring dengan dinamika proses politik yang terjadi Indonesia.

Kedua, BUMN dibuat untuk menjadi pioneer dalam sektor-sektor yang tidak menarik bagi swasta, misalnya sektor listrik, air dan telekomunikasi. Pada awal berdirinya negara Indonesia, infrastruktur pada sejumlah sektor ini sangat miskin. Untuk membangunnya dibutuhkan peranan aktif negara dalam hal kebijakan, regulasi dan modal. Dengan tingkat modal yang tinggi tetapi tingkat pengembalian yang rendah pada awalnya, sektor-sektor ini sangat tidak menarik bagi swasta.

Ketiga, sejumlah BUMN (dan BUMD) dirancang untuk menjalankan misi sosial dan juga misi komersial. Fungsi dan peran BUMN menjadi lebih jelas setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan, lewat UU No 9 tahun 1969, mengenai klasifikasi BUMN, yaitu: pertama, Perusahaan Jawatan Negara (Perjan), yang bertugas memberikan pelayanan kepada publik dan tidak dibebani kewajiban mengejar laba, berada dibawah departemen-departemen pemerintah, modalnya berasal dari APBN. Kedua, Perusahaan Umum (Perum) adalah perusahaan yang seluruh modalnya berasal dari negara dan menjadi milik negara, tidak terpisahkan dari kekayaan negara serta tidak terbagi kedalam bentuk saham-saham. FERUM memiliki dua fungsi, yaitu melayani masyarakat dan fungsi sekundernya adalah mencari keuntungan. Pada tingkat tertentu, Perum masih menerima subsidi dari pemerintah. Ketiga, Perusahaan Perseroan Negara (Persero) yang mirip dengan swasta hanya saja sebagian atau seluruh modal dimiliki oleh pemerintah dan terbagi dalam bentuk saham-saham. Persero berstatus badan hukum dan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Persero diharapkan menghasilkan laba dan tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pada prakteknya, bagaimana BUMN menjalankan kedua misi ini, menjadi hal yang ambigu. Hal ini terjadi karena tidak konsisten-nya pemerintah dalam mengelola BUMN serta munculnya gejala korupsi, kolusi dan nepotisme, yang menjadikan BUMN menjadi tempat perburuan rente.

Keuangan pemerintah membaik setelah terjadi ledakan minyak (oil boom) di tahun 1970-an, yang mengakibatkan peran negara yang dimanifestasikan oleh peranan BUMN menjadi semakin kuat. Sejumlah BUMN, seperti Pertamina berkembang dengan banyak anak perusahaan. Pemerintah juga memiliki modal untuk mendirikan sejumlah BUMN baru.Fenomena ini bertahan selama hampir satu dasawarsa, dan berakhir setelah terjadinya krisis keuangan karena jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1983.

Rencana privatisasi BUMN sendiri bukan barang baru tetapi sudah mulai didiskusikan dan menjadi wacana para ekonom dan birokrat sejak pertengahan 1980-an Pada saat itu muncul gagasan deregulasi yang didorong oleh kekuatiran atas sentralisme ekonomi yang sangat kuat pada mase orde baru yang mendorong terbentuknya kapitalisme kroni (Mallarangeng, 2002). Momentum yang tersedia pasca krisis harga minyak mendorong pemerintah Indonesia untuk kembali dengan kebijakan deregulasi untuk menarik kembali investasi asing yang relatif berkurang sejak terjadinya oil boom.

C. Peran WB dan IMF dalam Isu Privatisasi


Sejak akhir 1980-an, privatisasi telah menjadi komponen penting dari berbagai program dana bantuan dari negara-negara donor dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Program privatisasi badan-badan usaha milik negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program penyesuaian struktural (structural adjustment program) yang dilakukan oleh Bank Dunia dan IMF.

Studi dan laporan Bank Dunia pada awal 80-an menyatakan kekecewaan atas buruknya kinerja sektor publik di negara-negara Afrika dan negara-negara berkembang di Amerika Latin. Upaya-upaya Bank Dunia mereformasi sektor publik di negara berkembang, sehingga dapat memiliki kinerja yang lebih baik, pada akhirnya meningkat menjadi rasa frustrasi. Sebagai terobosan untuk situasi ini Bank Dunia melihat pilihan privatisasi sebagai satusatunya jalan keluar. Privatisasi mendapatkan momentumnya pada akhir tahun 80-an saat Margaret Thatcher melakuakan reformasi sektor publik dengan melakukan privatisasi besarbesaran berbagai badan usaha milik negara di Inggris, dari telekomunikasi, transportasi, energi dan air. Kebijakan ini kemudia diikuti oleh pemerintahan Reagan di Amerika Serikat. Pada perkembangan selanjutnya, Bank Dunia dan IMF menjadikan negara-negara Amerika Latin sebagai ‘laboratorium’ percobaan bagi program privatisasi Bank Dunia lewat berbagai program penyesuaian struktural. Privatisasi selanjutnya menjadi ‘obat demam’ (panacea) atas seluruh kesalahan ekonomi di negara-negara maju dan berkembang dan menjadi terapi standar bagi krisis sektor publik yang menimpa seluruh negara berkembang.

Bank Dunia (bersama dengan IMF) menjadikan alasan rendahnya efisiensi dan buruknya kinerja perusahaan-perusahaan milik negara untuk melakukan perubahan kebijakan institusinya. Pada dekade 70-an hingga pertengahan 80-an, kebijakan pinjaman Bank Dunia diarahkan untuk mendukung monopoli negara lewat berbagai badan usaha milik negara yang menguasai berbagai sektor. Menurut Bank Dunia saat itu, kepemilikan dan monopoli negara menjamin tersedianya pelayanan-pelayanan dasar (basic services) bagi publik, seperti energi, air, kesehatan, telekomunikasi, dan lain-lain, dengan harga yang terjangkau. Peran negara pun menguat karena negara adalah pemilik BUMN sekaligus menjalankan fungsi pengaturan (regulasi), pengawasan serta pembuat kebijakan. Perubahan kebijakan Bank Dunia mulai terjadi pada akhir 80-an hingga awal 90-an. Bank Dunia menyatakan bahwa kinerja sektor publik dan krisis keuangan yang semakin buruk disebabkan oleh struktur pasar monopoli dan kepemilikan negara atas utilitas dan perusahaan yang melayani sektor publik. Bank Dunia juga menyatakan bahwa pembiayaan untuk pembangunan sektor publik mengalami peningkatan pesat dan tidak cukup dana publik (dari sumber-sumber Bank Dunia dan Bank-Bank regional lainnya) yang tersedia untuk membiayai berbagai proyek pembangunan tersebut. Sementara itu, sejumlah negara di Afrika dan Amerika Latin pada periode yang sama mengalami berbagai masalah krisis keuangan, yang salah satunya disebabkan oleh kewajiban pembayaran beban utang luar negeri yang luar biasa besarnya kepada negara-negara kreditor, termasuk Bank Dunia sendiri. Hasilnya Bank Dunia kemudian menyarankan negara-negara berkembang melakukan reformasi kebijakan struktural yaitu dengan menerapkan kebijakan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi untuk mengatasi situasi yang ada. Lebih jauh lagi, Bank Dunia dan IMF, diikuti oleh negara dan lembaga-lembaga donor internasional menjadikan reformasi struktural sebagai syarat (conditionality) untuk mendapatkan asistensi, bantuan serta pinjaman dari lembaga-lembaga tersebut.

Menyangkut privatisasi dan partisipasi swasta, pada tahun 2001 Bank Dunia mendiskusikan Strategi Pengembangan Sektor Swasta (Private Sector Development Strategy), yang kemudian diadopsi menjadi kebijakan resmi Bank Dunia pada Februari 2002. PSD Strategy merupakan suatu langkah evolusioner dari Bank Dunia mengenai privatisasi. Walaupun terminologi ‘privatisasi’ sudah jarang digunakan dan diganti dengan terminologi partisipasi sektor swasta (private sector participation) atau kemitraan publik dan swasta (public privatepartnership) tetapi konsep dasarnya tetap sama yaitu perpindahan (transfer) asset-asset di sektor publik ke tangan swasta serta menghilangkan kepemilikan negara atas asset-asset tersebut. Dalam kebijakannya yang baru, Bank Dunia mengusulkan perluasan keterlibatan sektor swasta secara lebih jauh dalam pengambilalihan penyediaan pelayanan-pelayanan dasar, yang dulu dilakukan oleh negara lewat berbagai BUMN; dan pembangunan infrastruktur di negara-negara berkembang.

Pada akhir 90-an, lembaga-lembaga keuangan multilateral, termasuk Bank Dunia dan IMF serta negara-negara kreditor menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai tujuan dari program bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang. Walaupun terjadi pergeseran peran Bank Dunia dan negara-negara donor dari hanya memperbaiki kinerja makroekonomi di negara-negara berkembang menjadi peranan penghapusan kemiskinan, privatisasi tetap menjadi inti dari program penghapusan kemiskinan tersebut. Country Assistance Strategy (CAS) 2001-2003 Bank Dunia untuk Indonesia menyebutkan bahwa tujuan keseluruhan (overarching goal) dari program Bank Dunia adalah pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut Grup Bank Dunia akan memfokuskan pada tiga area yang menjadi prioritas utama, antara lain: sustaining economic recovery and promoting broad-based growth; building national institutions for accountable government; dan delivering better public service for the poor. Prioritas yang pertama meliputi pengembangan sektor swasta yang kompetitif yang salah satu fokusnya adalah pengurangan peran negara melalui privatisasi BUMN.

Kasus-kasus di sejumlah negara Afrika menunjukkan bahwa Bank Dunia menggunakan privatisasi sebagai syarat bagi negara-negara miskin untuk mendapatkan kualifikasi pengampunan utang dibawah inisiatif Highly Indebted Poor Countries (Bayliss, 2002). Kebutuhan untuk memenuhi kondisi untuk pencairan bantuan dan status pengurangan utang serta defisit anggaran belanja negara, telah menjadi insentif utama bagi negara-negara berkembang untuk melakukan privatisasi. Pada prakteknya, program privatisasi dilakukan secara tergesa-gesa dalam rangka mendapatkan bantuan atau menutupi defisit anggaran, tanpa melalui analisa, kajian, serta perencanaan yang matang serta didukung dengan perangkat hukum dan kebijakan yang memadai.

D. Privatisasi Melahirkan Kejahatan Negara

Privatisasi BUMN atau yang kerap disebut swastanisasi pada dasarnya merupakan tindakan yang akan menggelontorkan perekonmian negara yang pada akhirnya memposisikan publik dalam republic sebagai korban seperti yang terjadi saat ini kepentingan publik dalam anggaran telah tercabut melalui penghapusan beberapa subisidi selain itu hak rakyat atas peraturan yang melindungi dirinyapun harus tergadai dengan produk legislasi yang menafikan hak-hak rakyat atas kekayaan alam (deregulasi) dengan lahirnya UU Penanaman Modal Asing (UUPMA), UU Kelistrikan, UU Migas, UU Sumberdaya Air, UU BUMN, UU Keuangan Negara, UU Lembaga Penjaminan Simpanan selain itu swastanisasi pada akhirnya akan menghilangkan perlindungan negara atas rakyat hal ini dipicu bahwa penyerahan pengelolaan sektor-sektor publik kepada swasta (privatisasi) akan menghantarkan system pengaturan negara bergerak berdasarkan skema pasar bebas (free market sceme) yang artinya sama saja negara tidak memiliki kedaulatan.

E. Kesimpulan dan Penutup.

Utang Luar negri dan privatisasi BUMN adalah merupakan agenda besar negara-negara kreditor (kapitalisme internacional) untuk menjadikan Indonesia sebagai penyedia bahan baku kepentingan kekuasaan sector industri yang di idamkan oleh masyarakat dunia, Indonesia menjadi pasar bagi hasil-hasil industri serta tempat pemutaran modal paling efektif.

Privatisasi BUMN (swastanaisasi), liberalisasi SDA merupakan teori yang dikembangkan oleh ekonomi neo-liberal untuk mengamankan asset ekonomi negara-negara maju. Penjualan BUMN menjadi milik swasta merupakan tindakan yang sangat tidak realistic mengingat bahwa fungsi proteksi negara dalam menjamin kehidupan dan kesejahtraan rakyat (salah satu sumber keuangan negara di dapat dari keuntungan BUMN) harus diserahkan pada pengelolaan asing dengan praktek deregulasi. Artinya peran negara dalam skema pasar bebas tidak akan ada selain penyedia kenyamanan modal untuk bergerak dan mendapatkan nilai lebih dengan kebijakan investasi yang ringan.

Selain persoalan utang luar negri yang menyebabkan kebocoran anggaran sehingga Indonesia kerap mengalami defisit APBN juga disebabkan oleh utang dalam negri dalam bentuk surat utang negara (SUN) yang tidak mampu dibayarkan Indonesia dan bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) yang di bawa lari oleh obligor serta adanya praktek pemerintah daerah yang kerap mengubah anggara dana bagi hasil daerah kedalam bentuk sertifikat bank Indonesia (SB) dimana bunga dari SBI tersebut harus di bebankan negara. Pada dasarnya persoalan utang luar negri yang memicu krisis multidimensional persoalan kebangsaan sehingga menyebabkan melemahnya peran negara dapat diatasi dengan cara menegosiasikan pembayaran utang-utang haram orde baru, merubahan perilakau pemerintah daerah yang kerap mengakumulasi modal kedalam SBI serta komitment penegakan hukum terhadap obligor yang membawa lari dana likuiditas Indonesia.

Swastanisasi bukanlah pilihan dalam mengatasi krisis karena kan memasukan Indonesia (rakyat) kedalam jeratan krisis yang lebih menakutkan yaitu penguasaan sumber daya oleh kekuatan asing selain itu, hal ini tidak bisa di lakukan ketika persepsi kita melihat utang adalah seperti yang di inginkan oleh negara kreditor dan lembaga keuangan internasional sebaliknya harus dibangun semangat perlawanan bahwwa dengan kesadaran baru bahwa pada dasarnya utang adalah alat kolonilisasi baru.

Daftar bacaan
Swastanisasi Negara oleh Yongky Karman, Kompas 29 Februari 2008
Ekonomi Terjajah, Mubyarto. Penerbit UGM 2002
Utang, Obral BUMN dan Pengaruh IMF-WB, Didik rachbini, artikel 2005
Kolonialisasi BBM Berlanjut, Awan Ventosa
Mafia Berkley, Revrisond Bazswir, Pustaka Relajar tahun 2002
Privatisasi BUMN : Tinjauan Kasus di Sector Listrik, Fabby Tumiwa, INFID
Membangun dalam Pasaran Hutang,
Politik Ekonomi Utang, Didik Rachbini
UU PMA, UU BUMN
Pengembangan Kebijakan Pemerintah Untuk keterbukaan Informasi Terkait pemanfaatan Pinjaman dan Hibah Luar Negri. Kwik Kian Gee, 2004
Laporan resmi perkembangan MDGs Pemerintah Indonesia pada siding PBB Bulan September 2005
Prof. Dr. Mubyarto, Ekonomi terjajah, Pustaka UGM 2005,

Komentar

Postingan Populer