Menyoal Kedaulatan Rakyat dalam Politik

Menyoal Kedaulatan Rakyat dalam Politik
Oleh : Hari Dermanto
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Balikpapan

Kedaulatan rakyat dalam hubungan dengan negara hadir dalam bentuk pengakuan hak rakyat oleh negara, dimana pengakuan kedaulatan rakyat memuat kewajiban-kewajiban negara atas rakyat, tetapi yang terjadi di Indonesia sebaliknya, berbagai macam kepentingan rakyat tidak terakomodasi dalam kebijakan negara, selain itu banyakanya persoalan yang di alami rakyat dimana seharusnya negara dapat mengambil peran dalam proses penyelesaian malah sebaliknya berlarut-larut dan tidak menuai solusi lihat kasus Lumpur lapindo yang hingga saat ini masih berlangsung, naiknya harga minyak makan, kelangkaan pupuk bagi petani, impor beras yang menimbulkan masalah bagi petani lokal dan berbagai persoalan lain yang menuntut tanggun jawab negara. Melihat banyaknya persoalan yang bertubi-tubi menghantam dan menimbulkan beban bagi rakyat serta minimnya penaganan yang dilakukan oleh pemerintah adalah merupakan satu bukti nyata bahwa pengakuan terhadap kedaluatan rakyat oleh negara hanya sebatas pada pengakuan konstitusional bukan pada pengakuan hakiki dimana rakyat merasakan secara real hak-haknya. Pengakuan kedaulatan rakyat secara semu bahkan di perparah dengan tidak di akomodirnya berbagai gejolak rakyat dalam berbagai gerakan menuntut tanggung jawab negara terhadap berbagai persoalan yang dihdapi saat ini.

Hubungan antara pemerintah (negara) dengan rakyat seperti yang terjadi saat ini dimana kedaulatan rakyat hadir dalam bentuk kedaulatan semu pada titik nadir akan memberi implikasi bagi lahirnya bentuk-bentuk pembangkangan publik berupa ketidak percayaan publik terhadap pemerintah, yang lahir dalam bentuk demonstrasi, gerakan massa dan atau seperti yang terjadi pada pemilihan presiden tahun 2004 dimana sekitar 40% jumlah pemilih tidak menggunakan hak suaranya (golput), barangkat dari kekecewan karena tidak adanya perubahan substansial yang dilakukan pemerintah terhadap persoalan rakyat, berbagai krisis dalam bentuk naiknya harga BBM, busung lapar, kemiskinan dan inflasi. Tidak sampai disitu, tidak adanya pengakuan terhadap kedaulatan rakyat secara hakiki tentunya akan melahirkan negara dengan rakyat lemah dan tidak berbudaya dalam politik, lebih jauh ketika gerak kesadaran rakyat mengalami transisi menjadi semakin melemah, tentunya ini akan berefek pada terjadinya transisi sistem politik negara dari sistem demokrasi kepada sistem politik baru bisa jadi sistem otoriter, totaliter atau sistem alenatif berupa pemerintahan dengan sistem otoriter, totaliter yang bersembunyi di balik kedok demokrasi. Seperti yang diungkapkan oleh Eep Saefullah Patah pengamat politik Uniersitas Indonesia, bahwa ketika dalam praktek politik negara yang menggunakan sistem demokrasi terjadi bentuk-bentuk pelanggaran hak publik berupa pembatasan proses partisipasi politik yang menyebabkan lahirnya bentuk kedaulatan semu, tingginya represi terhadap gerakan yang bersifat oposan terhadap pemerintah, lahirnya produk kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat dan langgegnya praktek pemerintahan yang tidak transparan dan akuntabel ini merupakan ciri bahwa telah terjadi transisi sistem politik secara substansial, keadaan ini yang menjadikan sistem demokrasi yang dijalankan di negara tersebut adalah sistem demokrasi semu, dan tidak bisa dipungkiri hal ini terjadi di Indonesia.

Adalah wajar jika kemudian lahir hipotesis bahwa eksistensi rakyat dalam negara seperti Indonesia tidak lebih hanya merupakan kelompok massa politis, maksudnya adalah massa yang hanya diakui keberadaanya pada moment politik berdasarkan kepentingan elit kekuasaan (partai politik) yaitu saat pemilihan umum (eksekutif dan legislatif) tetapi ketika moment politik tersebut selesai maka selesai juga pengakuan hak-hak rakyat. Kedaulatan rakyat diakui hanya pada hal-hal yang mendukung kepentingan kekuasaan (elit politik) macam pemilu dan ketika anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) atau pimpinan pemerintahan (negara dan daerah) yang dipilih oleh rakyat digugat eksistensinya karena tidak miliki keberpihakan terhadap rakyat, yang kerap terjadi dengan alasan mekanisme kepartaian apa yang dilakuka rakyat menejadi mustahil sehingga rakyat tidak memiliki hak politik dalam mencabut mandate elit politik yang menyalahgunakan kepercayaanya sebagai anggota DPR atau pimpinan pemerintah (negara dan daerah). Tidak semudah ketika rakyat menggunakan hak suaranya untuk memilih. Sungguh miris, pengakuan terhadap hak politik rakyat hanya terjadi ketika bersentuhan dengan kepentingan politik kekuasaan partai politik, sebaliknya ketika untuk segala sesuatu yang bersentuhan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat dengan sertamerta hak-hak rakyat dikebiri, diminimalisir bahkan sampai pada peniadaan jika itu perlu.

Membangun Kedaulatan Politik Rakyat

Seharusnya ketika ada pemilihan umum (pemilu) sebagai sebuah mekanisme dan wadah bagi rakyat dalam menyalurkan hak politiknya untuk memilih atau tidak orang-orang yang akan mewakilinya di DPR dan menjadi pemimpin di tingkat pemerintahan negara dan daerah, seharusnya ada mekanisme yang diciptakan (terwadahi dalam konstitusi) bagi rakyat untuk memiliki kedaulatan mencabut mandat orang-orang yang menjabat sebagai DPR atau pempinan pemerintahan bukan dengan mekanisme rapat partai yang terkadang tidak sesuai dengan kehendak rakyat, di beberapa negara metode ini dikenal dengan referendum. Referendum tidak hanya dilakukan berkaitan dengan pencabutan mandat anggota dewan saja, di beberapa negara latin macam Bolivia referendum dijadikan perangkat politik negara dalam memberlakukan kebijakan dimana rakyat diberikan kewenagan untuk menilai apakah produk kebijakan tersebut dapat diberlakukan atau tidak. Pengalaman yang sama juga dilakukan Iran Paska di Gulingkannya pemerintahan Pahlevi tahun 1979 melalui revolusi bunga Ayattullah Khomeini yang merupakan pemimpin Revolusi melakukan referendum untuk menentukan sistem politik dimana pada akhirnya 93 % rakyat Iran pada saat itu memlih sistem pemerintahan Islam sebagai sistem negara. Dengan adanya referendum rakyat menjadi memiliki kedaulatan dalam politik, ini menjadi satu upaya politik yang dapat memutus mekanisme kepartaian yang cenderung membodohi rakyat.

Dalam konteks ke Indonesiaan pada dasarnya lahirnya gerakan makar politik yang dilakukan rakyat dalam bentuk golput (tidak menggunakan hak suara) dalam proses pemilihan umum seharusnya menjadi catatan bagi partai politik bahwa kedaulatan rakyat belum terwadahi dalam sistem politik yang ada saat ini. Sehingga penting kiranya ketika ada gerakan makar politik (golput) tidak lagi menjadi cibiran oleh partai politik atau bahkan jika boleh kita mengutip usulan Bawono Kumoro Seorang peneliti politik UIN Syarif Hidayatullah mengungkapkan bahwa seharusnya gerakan golput mendapatkan ruang untuk bertransformasi menjadi gerakan politik, sehingga ini memungkinkan bagi lahirnya reformasi sistem politik khususnya pada partai politik (elit politik) dalam berkomunikasi dengan rakyat.

Komentar

Postingan Populer