Revitalisasi Perkebunan Dengan Utang

Revitalisasi Perkebunan Dengan Utang

Petaka atau Berkah??

Oleh : Hari Dermanto

Latar Belakang
Tingginya angka kemiskinan yang terjadi pada rakyat Indonesia bertolak belakang dengan tingginya angka eksploitasi terhadap sumber kekayaan alam, yang seharusnya kegiatan tersebut dapat menjadi pendorong kemakmuran, sebuah ironi nyata yang terjadi di negri ini. Realitas tersebut menggambaran bahwa pemerintahan negara tidak cukup berdaya dalam menjamin hak-hak dasar dan hajat hidup rakyat, sehingga tidak heran berangkat dari kenyataan tersebut lahir komentar yang mengungkapkan bahwa kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia ternyata bukan untuk rakyat Indonesia sebaliknya kekayaan alam ini telah dimiliki kekuatan besar yaitu Rezim kapital, negara-negara utara.

Tingginya penguasaan sektor produksi yang menjadi tempat bergantung rakyat oleh rezim kapital seharusnya dapat menjadi aset yang dapat mensejahterakan rakyat sebaliknya jauh panggang dari api. Kenyataan ini salah satunya di picu oleh lemahnya pemerintah dalam hal membangun tatanan regulasi yang berpihak kepada rakyat. Superioritas modal terhadap sistem pemerintahan negara sebaliknya malah melemahkan peran negara yang kemudiaan terkooptasi pada kepentingan rezim ini, kita dapat melihat dari berbagai macam produk regulasi yang terus memberikan kekuatan modal (rezim kapital) berada dalam jalur aman untuk terus mendikte kedaulatan pemerintahan dalam membangun tatanan bernegara dan kedaulatan rakyat dalam tatanan kehidupan yang berkualitas, sehingga tetanan negri porak poranda baik dalam kedaulatan politik dan ekonomi.

Keadaan ini yang kemudian melahirkan lemahnya kualitas masyarakat Indonesia, yang kemudian berimplikasi pada mandeknya pergerakan sektor riil domestik, parahnya untuk menciptakan sektor riil sebagai upaya mengatasi persoalan bangsa, yang dilakukan pemerintah sebaliknya malah menjerumuskan diri kedalam program utang lembaga keuangan international (Worl Bank, ADB dan lain sebagainya). Setelah investasi terhadap sektor kayu, tambang kini investasi utang yang merupakan rekayasa lembaga keuangan international bergerak ke isu perkebunan dalam kerangka Program Revitalisasi Perkebunan yang dicanangkan tahun 2007 (bekerja sama dengan WB) dengan komoditas utama sawit (unggulan), kemudian karet dan kakao.

Kerangka strategis Revitalisasi perkebunan yang dikembangkan pemerintah adalah merupakan upaya untuk menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan sebesar 5.1 % - 8.2 % dari total penduduk miskin yang ada, hal ini dilatar belakangi karena sektor perkebunan merupakan sektor yang dapat membuka lapangan pekerjaan sekaligus menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Pertanyaannya, dengan berbagai persoalan yang lahir akibat pengembangan sektor perkebunan (sawit) yang selama ini telah terjadi, apakah program utang yang berperahukan revitalisasi perkebunan ini dapat tercapai? Atau sebaliknya malah hanya akan memperuncing persoalan yang ada saat ini menjebak negara pada ketergantungan akut yang memang telah menjadi rekayasa lembaga keuangan international (WB, ADB) dan negara utara.

Utang dan Revitalisasi Perkebunan
Program pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur merupakan sektor riil yang menjadi trand ekonomi hal ini dapat dilihat dari antusiasme kebijakan di tingkat pemerintah daerah (kabupaten/kota) terhadap program ini. Dalam angka statistik pengembangan perkebunan kelapa sawit di kalimantan timur selalu meningkat, dimana tahun 2005 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur luas areal perkebunan sawit adalah 175.894 ha, produksi 1.012.789 ton dan menyerap tenaga kerja sekitar 228.662 orang (asumsi penyerapan tenaga kerja di sektor perkebunan, setiap satu ha kebun menggunankan 1-2 orang tenaga kerja).

Meningkatnya pengembangan perkebunan sawit di kalimantan timur tidak hanya di picu pada penyerapan tenaga kerja yang merupakan praktek riil dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan, kondisi eksternal berupa kebijakan negara-negara eropa untuk menggunakan 20% bahan bakar nabati (BBN) di sektor produksi dan transportasi sebagai usaha untuk mengurangi peredaran emisi yang berkontribusi pada pemanasan global, selain itu, merupakan bagian dari kesepakatan protokol kyoto yaitu mekanisme pembangunan bersih (CDM), menjadikan bisnis CPO yang merupakan produk kelapa sawit sangat seksi bagi bisnis utang lembaga keuangan international (WB). Tidak heran WB melakukan investasi melalui utang (pinjaman) untuk pengembangan sektor ini dengan dalih berkontribusi menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran.

Implikasi lain, tingginya permintaan CPO yang merupakan konsekuensi dari bisnis BBN hanya akan menyebabkan banyak pengekspor lebih memilih menjual CPO untuk kebutuhan BBN (mamasok kebutuhan negara-negara eropa) yang sarat akan keuntungan besar, dibandingkan dengan usaha pemenuhan bahan baku untuk kebutuhan bahan pangan seperti minyak goreng dan turunannya, keadaa ini hanya akan menyebabkan lahirnya krisis bahan pangan dan naiknya harga sebagai implikasi turunan terhadap kelangkaan bahan baku pangan yang ujung-ujungnya keadaan ini akan menciptakan kemiskinan, dan kemiskinan akan menjadi objek utang baru tentunya.

Seperti apa nasib petani?
Menurut Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kalimantan Timur, sebelum menjalankan program revitaslisasi perkebunan ada baiknya pemerintah menyelesaikan persoalan-persoalan yang di alami petani di sektor perkebunan kelapa sawit. Lemahnya posisi tawar pertani dalam menentukan harga tandan buah segar (TBS) akibat dari monopoli pabrik oleh PTPN, luasnya kebun inti (milik perusahaan) dibandingkan dengan kebun plasma (milik masyarakat), serta kapasitas pabrik yang tidak sebanding dengan perluasan kebun hanya akan menyebabkan program revitalisasi perkebunan yang menyertakan petani dengan maksud mulia yaitu untuk mengurangi pengangguran dan mangangkat kesejahteraan petani, sebaliknya malah akan menyebabkan petani terjebak pada kemiskinan dan pada akhirnya petani akan terjerat kedalam mekanisme utang.

Seperti yang terjadi di Kabupaten Paser, lemahnya sistem hubungan antara perusahaan dengan petani kelepa sawit menyebabkan program perkebunan sawit terdahulu masih menyisahkan utang petani kepada PTPN. Sistem yang ada telah melahirkan kemiskinan dan menyebabkan petani semakin tidak berdaya. Bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, dalam RTRW Kabupaten Paser tahun 2007 di ungkapkan bahwa sektor perkebunan adalah sektor teratas dalam menyerap tenaga kerja tetapi kenyataan yang ada tingginya penyerapan tenaga kerja disektor perkebunan toh tidak mengangkat kesejahteraan dimana terbukti dalam data BPS Kabupaten paser yang mengungkapkan bahwa sekitar 60 % penduduk paser dalam keadaan miskin (hal ini juga pernah diungkapkan oleh wakil bupati paser). Tentu ada korelasi antara sistem perkebunan yang tidak memihak pada petani dengan jumlah angka kemiskinan. Hal serupa juga terjadi di kabupaten lain yang ada di Kalimantan Timur.

Program revitaslisasi yang menggunakan dana Bank Dunia, hanya akan membuat petani tidak bisa melepaskan diri dari kemiskinan, sebaliknya kemandirian, kesejahteraan dan berkurangnya angka kemiskina hanya sesuatu cita-cita yang utopis pada akhirnya. Jika melihat tekanan-tekanan yang di hadapai petani di bandingkan dengan jumlah platporn kredit program revitaslisasi yang sampai dengan Rp. 130.548.800,00 / kapling untuk satu kepala keluarga.

Selain itu, prasyarat yang mengungkapkan bahwa calon petani program revitalisasi perkebunan harus memiliki sertifikat yang dapat di jadikan jaminan kepada pihak perbankan (BRI) sebagai lembaga keuangan yang memberikan kredit, hal ini tentu akan menimbulkan persoalan, karena banyaknya jumlah petani yang masih terlibat utang (pada periode program sebelumnya). Ini adalah kenyataan yang harus di lihat kembali dimana utang telah menjerat petani dalam lingkaran setan yang mengkondisikan petani secara struktural terjerat pada lubang kemiskinan dan tidak berdaya.

Corporat Farming
Program revitaliasi perkebunan yang menggunakan dana Bank Dunia pada prinsipnya hanya akan menyebabkan petani berada dalam satu sistem lingkaran setan yang memiskinkan dirinya, karena sektor produksi petani di perkebunan telah di ambil alih (reklaiming) oleh Modal melalui PTPN dengan mekanisme yang tercipta. Selanjutnya petani hanya akan menjadi buruh di tanahnya sendiri, dia tidak memiliki kedaulatan atas tanah, kebun dan kemandirian dalam membangun kesejahteraan dirinya dan keturunannya.


Hapus Utang lama
Tolak Utang Baru

Komentar

Postingan Populer